Pejabat Indonesia paling jago dalam urusan memberi testimoni baik untuk menutupi masalah koleganya. Baca saja bagaimana Mahfud MD menuliskan sisi humanis Luhut Binsar Panjaitan yang sangat menghormati teman, menyayangi anak miskin, dan menghargai ART-nya.
Artikel tentang Luhut:
Di Indonesia, bahkan testimoni pejabat mampu mengangkangi dunia medis berbasis ilmu pengetahuan. Ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memegang teguh pengobatan berbasis bukti / Evidence-based Medicine (EBM), dan berdasarkan itu pula memecat mantan Menteri Kesehatan Terawan dari keanggotaannya setelah proses yang panjang, para pejabat negeri ini langsung pasang badan.
Berbondong-bondong mereka membanting setir dari persoalan etik kedokteran yang dilanggar Terawan, ke arah patriotisme dan nasionalisme anak bangsa. Mulut mereka berbusa-busa memberi testimoni ala Klinik Tong Fang tentang keberhasilan pengobatan cuci otak Terawan.
Wakil Ketua Komisi IX (yang ruang lingkupnya mencakup kesehatan), Nihayatul Wafiroh, membuat thread panjang yang isinya segala kebaikan Terawan kepada dirinya. Saya yang membaca tulisannya melihat beliau seperti sedang membongkar borok aibnya sendiri, tentang segala nepotisme yang ia terima. Entah setan apa yang merasukinya.
Segala testimoni pejabat tadi menjadi bermasalah sebab berangkat dari satu titik yang bercabang: pengalaman personal. Dan ketika mereka mengkampanyekan testimoni itu di ruang publik, mereka ingin kita yang membacanya merasa memiliki pengalaman yang sama. Betapa egoisnya?
Pengalaman personal tidak bisa dijadikan sandaran umum karena mengandung banyak kemungkinan yang berbeda bagi tiap orang. Dan pengalaman itu punya bias penafsiran.
Misalnya, seorang bos tambang meraup untung ratusan miliar dari merampas lahan hidup orang banyak, lalu memberi beasiswa pendidikan kepada beberapa pelajar kurang mampu. Seseorang bisa saja menafsirkan itu sebagai bentuk menyayangi anak miskin, yang lain menafsirkannya sebagai orang pelit nan munafik.
Selain itu, testimoni pribadi hanya mengaburkan kita dari akar permasalahan, mengalihkan kita dari isu utama. Tentu tidak ada kaitannya antara Luhut yang menyayangi anak miskin dan menghargai ART-nya, dengan sesumbarnya tentang big data masyarakat yang ingin menunda pemilu, atau dugaan keterlibatannya di tambang Blok Wabu.
Apa juga hubungannya antara Terawan yang melakukan prosedur pengobatan ilegal dan mematok harga selangit, dengan dirinya yang “enak diajak ngobrol dan sangat cepat bila dimintai pertolongan anggota dewan“?
Kalau begitu cara mainnya, siapa pun bisa masuk ke ruang sidang apa pun sebagai saksi di pengadilan, dan alih-alih bersaksi tentang perkara yang disidangkan, kita bisa mulai sesumbar bahwa orang yang duduk di kursi terdakwa pernah meminjami uang tanpa pamrih.
Makanya, saya percaya testimoni itu paling cocok ditulis sebagai obituari, untuk mengenang orang mati. Adapun para pejabat yang masih hidup, orang-orang di pemerintahan, yang dibayar dengan pajak rakyat, mari kita adili dengan kritik terhadap kebijakan yang mereka lakukan, bukan dengan testimoni terhadap sifat personal mereka.
Semua orang punya sisi baik, juga jahat. Maka dari itu ada konsep tentang malaikat dan setan sebagai perwakilan dari sisi masing-masing. Bahwa setiap penjahat pasti pernah berbuat baik, sama seperti setiap orang juga pernah berbuat jahat. Selama manusia memiliki akal, tidak ada yang benar-benar suci, atau, benar-benar kotor.
Sisanya, tinggal kita memilih untuk melihat kejahatan dan kebaikan itu dari pihak yang mana? Seorang koruptor yang memberi penghidupan layak dan pendidikan yang tinggi untuk keluarganya, tentu akan dipandang baik oleh istri dan anak-anaknya. Namun, di mata ratusan juta rakyat yang uang pajaknya dirampas diam-diam, ia hanya seorang penjahat.
Dalam kasus tersebut, testimoni dari keluarga koruptor dan teman-temannya tentu tidak akan mengembalikan uang rakyat. Sama seperti pengobatan yang harus berbasis bukti, keadilan juga tidak dapat dinilai berdasarkan testimoni semata.
Jakarta, 2022