Maraknya slogan “setop bayar pajak” dan “jangan lupa bayar pajak” di media sosial akhir-akhir ini adalah tanda keprihatinan, kemarahan, dan gugatan masyarakat atas sistem pengelolaan keuangan negara.
Ajakan ini muncul setelah rekening gendut dan kekayaan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak terbongkar di jagat maya. Ajakan ini tampak semakin masif saat Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Masyarakat menggunakan berbagai cara untuk menyuarakan kegelisahan dan protes mereka. Salah satunya lewat media sosial, baik yang ditujukan secara langsung kepada pemegang otoritas atau menggunakan gaya satire. Bahkan komentar-komentar itu langsung diajukan ke akun Presiden Jokowi, Mahfud MD, Sri Mulyani, serta akun media arus utama.
Baca juga:
Tidak perlu menunggu aksi-aksi yang lebih besar untuk berbenah diri. Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus punya kemauan dan kesadaran untuk menjawab tuntutan masyarakat melalui aksi nyata.
Selain menunggu aksi nyata Kementerian Keuangan, tentu saja masyarakat juga menunggu transparansi dari para pengelola keuangan negara di sektor lain. Hal ini tentu untuk mencegah potensi penyelewengan dana negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki andil dalam pencegahan juga dituntut untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Kebangkitan Masyarakat Sipil
Fenomena gerakan masyarakat pada era digital menjadi tanda perubahan zaman. Aksi “setop bayar pajak” atau “jangan lupa bayar pajak” hanyalah sindiran atau bentuk lain dari kebangkitan masyarakat sipil untuk bersuara lewat ruang publik. Aksi protes terhadap pajak juga pernah terjadi di zaman kolonial, seperti yang dilakukan oleh Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli. Dia melakukan protes lewat tulisan, hingga lahirlah novel berjudul Max Havelaar.
Max Havelaar terbit dari kegelisahan Multatuli atas sistem tanam paksa, sistem yang dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup defisit keuangan negaranya sekitar tahun 1820-1887. Multatuli juga sangat menentang korupsi dengan menggunakan jabatan, seperti saat dia bertugas di Lebak. Pada Januari 1856, Multatuli langsung bertindak dengan melaporkan Bupati Lebak, Adipati Karta Natanagara, ke Residen Banten Brest van Kempen. Laporan itu juga dilayangkan setelah dia menerima laporan terkait dugaan penyelewengan dana yang dilakukan pejabat tersebut. Namun, bukannya menindaklanjuti laporan itu, Banten Brest van Kempen justru memecat Multatuli dari jabatan sebagai Asisten Residen Lebak.
Selain itu, pada tahun 1908, di beberapa daerah di Sumatera Barat juga terjadi protes atas pajak. Para penolak pajak melawan pemerintah kolonial. Dan pada 1940, seorang pegawai Kesultanan Ternate dibunuh dan satu orang lainnya terluka saat menagih pajak.
Pada era kemerdekaan, di mana sistem pemerintahan belum stabil, sistem perpajakan masih menggunakan warisan kolonial. Hal ini mengakibatkan rasa keadilan dalam penerapan pajak tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Presiden Soekarno membentuk Panitia Peninjauan Pajak pada tahun 1951. Kepanitiaan tersebut bertugas mempelajari banyaknya jenis pajak yang ditangani oleh jawatan pajak. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto kembali menyusun ulang organisasi pajak. Beberapa UU Perpajakan diganti. Hingga pada masa reformasi, perubahan kebijakan pajak kembali dilakukan.
Jika pada masa kolonial masyarakat menggugat karena beban pajak dianggap tidak manusiawi dan sangat memberatkan, gugatan pada zaman ini berbeda. Pada saat ini, pajak memang menjadi bagian dari pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat menggugat perilaku pemerintah yang tidak transparan dalam mengelola keuangan negara. Sudah semestinya sejak zaman dulu hingga yang akan datang pajak dan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan negara harus diawasi bersama.
Pentingnya Keterlibatan Masyarakat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengajak seluruh masyarakat untuk mengawal pajak dan seluruh unit di Kemenkeu. Artinya, Sri Mulyani memang menyadari bahwa keterlibatan masyarakat sangat penting dan sudah seharusnya dilakukan. Dengan begitu, pemerintah harus lebih berbenah diri dalam membuka informasi ke publik, jujur dalam melaporkan harta kekayaan personal pengelolanya tanpa harus menunggu ada pemantik seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca juga:
Tulisan ini bukan ajakan untuk menolak bayar pajak atau mengampanyekan bayar pajak, melainkan sebuah bentuk penyuaraan hak-hak masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintahan, seperti transparansi pengelolaan anggaran.
Sesungguhnya kecurigaan bukan berarti menuduh, melainkan bagian dari fungsi pengawasan masyarakat sekaligus desakan untuk transparansi dan gerakan bersih-bersih di semua sektor.
Jika dalam proses itu ditemukan dugaan penyelewengan uang atau harta tidak wajar, hal tersebut harus ditindaklanjuti ke pihak berwenang hingga tuntas. Namun, jika hasilnya ternyata harta wajar, ya berarti tidak jadi persoalan sehingga kita tidak selalu berada di ruang abu-abu dan saling mencurigai. Hal itulah yang disebut sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi pemerintahan, bukan menunggu pemantik dan ribut-ribut baru ditindaklanjuti.
Jika ingin Indonesia bersih dari praktik-praktik korup, dibutuhkan keseriusan dan kesadaran penuh semua pihak untuk sama-sama mengawal keuangan negara dan menindak tegas jika ada penyelewengan dana. Setidaknya kita harus mengedepankan moral, etika, dan tanggung jawab dalam sistem. Semoga.
Editor: Prihandini N