Kerja-Kerja Kepengangguran dan Puisi Lainnya

Selo Rasyd Suyudi

2 min read

Cuih, Anjing

Dingin-dingin setelah mandi, aku pergi ke kamar pakai baju. Hujan turun. Matahari rebahan malas di atas seprai. Aku meludahi foto orang-orang berengsek. Orang-orang pesakitan. Aku benci mereka. Anjing, cuih.

Satu setelan sudah kukenakan. Baju, celana, juga daleman. Aku duduk di depan kipas angin. Mengeringkan rambut dan bernyanyi. Aku lihat namamu di atas layar hapeku yang bercahaya, kau banyak mengobral dan indoktrinasi. Ditambah ndakik-ndakik tak berisi. Cuih. Aku meludah ke kiri. Semoga ini hanya mimpi. Amin.

Aku berjalan keluar. Mencari makan dan beli rokok ketengan. Di langit tanpa awan, aku melihatmu. Menarik-narikku ke atas, tentu sekuat tenaga kutolak. Di atas sana, kadar oksigen lebih kecil, kawan, lirihku. Lagi pula, tempat istirahatku di tanah. Bukan di langit. Aku bukan Munir atau Al-Masih. Aku juga bukan burung. Aku bukan bintang pula atau semacamnya. Kamu masih mengerti.

Setelah gelap datang. Kamu turun ke bawah. Di atas sana lebih menakutkan dari yang dikira. Tak ada warkop atau penjual gorengan. Kamu minta tidur di kamarku. Baiklah. Okelah.

Di beranda, kamu meracau soal pencapaian dan penciptaan. Ngalor soal teori-teori yang masih relevan hingga sekarang. Ngidul soal percakapan tahun lalu yang masih dipegang hingga kini dan tak ayal kaupuja mujarabnya.

Aku hanya mendengar. Kupingku pengang. Bisakah kita bicara yang lebih menyenangkan saja? Aku tak peduli soal martabak politik atau bagi-bagi kue, atau apalah itu. Lebih baik, ceritakan Odysseus, Tragedi Yunani, lomba lari antara kura-kura dan kelinci, dan ayo bernyanyi, dan menari.

Kamu tak hiraukan keluhku. Oh, bangsat. Cuih, anjing.

(2023)

Kuda Bohong

Kuda bohong mengamuk di meja rias
saat kota papa ditata dengan antusias.
Kepada mata, anak-anak bertanya:
“Apa waktu terlahir dari jam-jam mahal itu, Ma?”

Lalu kuda lari ke kamar mandi
menenteng air segalon tanpa busana.
Kepada kaca, kini orang tua balik bertanya,
“Bisakah kita berhenti selama 8 jam,
dan duduk di ruang bersama-sama?”

(2023)

Morat-Marit G

G banyak cuap-cuap soal senin.

hari di mana selama 12 jam di dalam teori.
hari di mana G bongkar-pasang pikirannya.
seperti biasa, G akan mengumpati seisi hari:

dosen [as*] cabul, teman yang punya suara monyong lima senti, jargon mahasiswa yang [aduh] begitu melengking, pelajaran logika yang bikin pening kepala, dan semacam pertanyaan yang umum dilontarkan; mengapa AC di kelas G tk lagi menyala? pedahal SPP setiap tahunnya membengkak—pedahal setiap tahunnya gaji bapak masih masih segitu-gitu aja—dan pedahal dia sudah memasukkan SKTM saat pendaftaran, mengapa masih juga berada di golongan tertinggi pembayaran?

oh, Rektorat Mahatahu bukan Mahabangs*t, dan Tuhan Mahabaik, bahwa tagihan yang didapati tak akan memberati hambanya. OoOoo. Dan tiap semester pastilah bisa dilunasi. OoOoOOO. Entah lewat tabung hijau yang terjual, ataupun tv tabung yang lelah, yang mesti bolak-balik jadi jaminan ke tetangga.

pasti bisa.
ayo bisa.
bisa, bisa, bisa.
basi!

(2022)

Kerja-Kerja Kepengangguran

Selalu menyenangkan kerjakan kerja-kerja kepengangguran dengan hati yang lapang. Lunasi perut lewat acara-acara penuh berkat—bergerak klandestin menuju kondangan, dan pengajian, hingga jumatan. Besok makan apa, setan pun tak tahu. Tuhan yang kasih, sebab sudah tanggung jawab-Nya selama hayat masih dikandung badan.

Selalu menyenangkan jadi pengangguran yang siap terima uang kapanpun mereka datang. Menertawai kocak-gemink-nya lowongan kerja yang gak ngotak kualifikasinya—hp xiomay bahkan minder dibuatnya. Juga menggeluti setiap serabutan demi perpanjang umur kontrakan. Uang dari Tuhan tak ditransfer lewat m-banking, iya ‘kan?

Tapi selalu ada keluhan bagi para pengangguran di seluruh dunia. Orang rumah akan marah-marah bila kami hanya terlihat rebahan. Tetangga akan mengejek di belakang muka. Pacar akan minta putus saat tahu kami lebih buruk dan gabut ketimbang teman-temannya yang paling budug dan butut. Teman-temanku, hmm sedang apa ya mereka? Info lokernya dong, kawan.

(2023)

Kamu II

Kamu larut di dasar gelas-gelas
gamang yang dipertaruhkan,
kesepian yang merajalela,
kepergian yang merajam rela.

Kamu peluk semuanya.
Berharap pada sebagian tangisan,
kekecewaan akan segera selesai.

Kamu teguk segelas anggur.
Lalu kembali merutuk-mengutuk
segala hal dari buruknya melantur.

Tapi misalkan
punya mesin waktu
untuk kembali ke masa lalu,
kamu mau, ‘kan?

(2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Selo Rasyd Suyudi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email