Pejabat di negara kita sepertinya memang gemar menghabiskan dana untuk hal yang sia-sia. Mereka gemar membangun berbagai macam tugu atau patung yang kemudian hanya menjadi simbol-simbol mati saja.
Kegemaran membangun patung ini juga merasuki Wali Kota Makassar, Danny Pomanto. Pak Danny berencana ingin membangun patung-patung Presiden RI di perempatan Bukit Tamalanrea Permai (BTP). Bagi yang belum tahu, perempatan BTP merupakan salah satu titik kemacetan di kota Makassar dan ide pembuatan patung sudah membuat saya merinding membayangkan kemacetan seperti apa yang akan ditimbulkannya.
Pak Danny juga telah menyiapkan anggaran sebesar 10 miliar untuk merealisasikan pembangunan patung tersebut. Beliau tinggal menunggu izin dari Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) XIII dan Pemprov Sulsel. Hal ini karena lokasi tempat patung akan dibangun berada di Jalan Perintis Kemerdekaan yang merupakan kewenangan BBPJN XII.
Baca Editorial:
Prioritas
Anggaran pembuatan patung yang telah tersedia menunjukkan keseriusan Pemkot Makassar untuk merealisasikan proyek ini. Padahal, ada banyak hal lain yang seharusnya lebih diseriusi dibanding sekadar membangun simbol. Pemkot seharusnya dapat menentukan skala prioritas untuk direalisasikan.
Pak Danny berkali-kali menegaskan bahwa Makassar sudah menuju kota dunia. Bahkan, baru-baru ini, ia mengatakan kalau Makassar sudah menuju kota metaverse. Saya rasa masih terlalu cepat seratus tahun untuk mengklaim hal tersebut.
Makassar masih memiliki segudang permasalahan yang harus diselesaikan sebelum menuju kota dunia. Jangankan mendapat sebutan kota dunia, menyebut Makassar sebagai kota layak huni pun masih bisa kita perdebatkan. Berdasarkan kriteria kota layak huni yang dirumuskan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), Makassar setidaknya belum memenuhi pada aspek lingkungan dan infrastruktur.
Pada aspek lingkungan, Makassar gagal mencegah reklamasi untuk pembangunan Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 hektar, bahkan dalam kurun waktu tujuh bulan itu, total pasir yang telah ditambang sebanyak 21.300.000 m3 pasir laut.
Selain reklamasi yang menggerus pasir pantai, Makassar juga masih kesulitan dalam menangani permasalahan sampah. Semua orang yang hidup atau pernah hidup di Makassar pasti tahu bahwa sampah yang ada di TPA Tamangapa sudah semakin banyak dan menggunung. Kegagalan pengelolaan sampah ini menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan baik udara, air, dan tanah. Pencemaran air tanah bisa dilihat dari bakteri coliform pada air sumur sekitar wilayah TPA Tamangapa yang berkisar antara 460 hingga 2400 MPN/100 ml.
Bahkan pada 2019 lalu, TPA Tamangapa terbakar dan menimbulkan pencemaran udara selama 15 jam lamanya. Cemaran udara yang dihasilkan saat terbakarnya TPA Tamangapa menimbulkan emisi karsinogenik dan non karsinogenik yang berdampak buruk pada kesehatan. Kejadian yang sama bisa saja terulang lagi jika Pemkot Makassar tidak kunjung serius mengatasi persoalan sampah.
Makassar juga gagal dalam penyediaan ruang dan infrastruktur yang memadai bagi warganya Pada tahun 2019, hasil kajian spasial dari Walhi Sulsel menunjukan bahwa sekitar 11.432,55 hektar atau 65,04% dari luas Kota Makassar merupakan lahan terbangun. Tingginya pembangunan ini tidak dimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau dan daerah resapan air yang memadai sehingga menimbulkan masalah banjir dan kekeringan kronik yang tak terselesaikan.
Dibandingkan membangun sebuah patung sebagai simbol sejarah, masalah di atas masih lebih penting untuk diprioritaskan. Kalau pun masih tetap ingin membangun simbol cobalah dimulai dengan menyelesaikan pembangunan Stadion Barombong atau membangun ulang Stadion Andi Mattalatta yang merupakan simbol sekaligus rumah bagi PSM Makassar. Hal itu masih lebih berarti dibanding melihat patung-patung presiden di tengah kemacetan.
Alternatif Lain
Pak Danny menuturkan bahwa patung Presiden RI dibangun dengan tujuan untuk menambah keindahan kota sekaligus memberikan warga kota edukasi sejarah. Tujuan yang sebenarnya baik, namun, pembangunan patung bukanlah solusi yang tepat untuk itu. Pembangunan patung hanya akan menimbulkan kemacetan yang lebih parah, baik saat proses pembangunan maupun pasca pembangunan nantinya.
Edukasi sejarah bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya dengan pemaksimalan fungsi museum kota. Hal yang saya rasa masih kurang diperhatikan oleh pemerintah. Anggaran untuk itu pun saya yakin lebih sedikit daripada yang dibutuhkan untuk membangun patung.
Saat ini, Makassar memiliki dua museum yaitu Museum Kota Makassar yang terletak di Jalan Balaikota dan Museum La Galigo yang terletak di dalam kawasan Benteng Rotterdam. Sayangnya, kedua museum itu keberadaannya antara ada dan tiada. Tiap hari, kunjungan ke museum pun terbilang makin berkurang. Makin berkurangnya kunjungan ke museum menjadi pekerjaan rumah bagi pihak yang berwenang.
Baca juga:
Museum Kota Makassar masih kalah pamor dibanding Pantai Losari, coto Makassar atau pisang epe yang sering menjadi tujuan orang-orang mengunjungi Makassar. Padahal, di dalam museum, terarsip banyak jejak sejarah Makassar dari zaman lampau. Ada segudang pengetahuan yang tersimpan, namun tidak ada yang menjemput pengetahuan itu. Keberadaan dan kebermanfaatan Museum Kota Makassar harus terus gencar disosialisasikan kepada semua masyarakat.
Kalau museum masih saja minim perhatian dan pengunjung, warga kota Makassar harus bersiap melihat puluhan tugu dan patung lain akan berdiri kokoh di tengah kota. Simbol-simbol mati akan terus dibangun untuk mengingatkan mereka yang masih hidup.