Warna hijau yang identik dengan Nahdlatul Ulama tidak hanya dimaknai sebagai representasi Islam, tetapi juga keberpihakannya terhadap lingkungan hidup. Keberpihakan NU terhadap kelestarian lingkungan hidup sebenarnya adalah sebuah keniscayaan. Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi. Namun, itu dulu. Kini warna hijau NU kian pudar dan berubah menjadi kelabu debu beracun batu bara.
Tiba-tiba PBNU seperti melupakan rekam jejaknya berada satu barisan dengan rakyat yang tak ingin sumber-sumber kehidupannya dirampas oleh keserakahan segelintir oligark. Pernyataan Ketua PBNU yang tidak menolak konsesi tambang, bahkan berterima kasih kepada Jokowi, bukan hanya menyakiti hati korban kerusakan lingkungan, tapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Batu Bara dan Krisis Iklim
Krisis iklim bukan lagi sebuah wacana. Berbagai bencana iklim sudah terjadi di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Kantor Pengurangan Risiko Bencana PBB (UNDRR), krisis iklim telah menyebabkan lonjakan bencana alam selama 50 tahun terakhir dan berdampak besar pada negara-negara miskin.
Baca juga:
Dampak krisis iklim di Asia cukup mengkhawatirkan. Menurut data dari Emergency Events Database, pada tahun 2023, di kawasan Asia telah terjadi 79 bencana iklim. Bencana iklim itu mayoritas (80%) berupa banjir dan badai. Bencana iklim di Asia itu telah menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa.
Berbagai bencana iklim yang terjadi di Asia itu juga dirasakan Indonesia. Berdasarkan laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang berjudul Data Bencana Indonesia 2023, bencana yang terjadi pada tahun 2023 didominasi oleh kejadian hidrometeorologi akibat krisis iklim dengan 5.365 kejadian. Artinya bencana yang terjadi di Indonesia selama 2023 didominasi oleh bencana yang diakibatkan krisis iklim.
Penyebab krisis iklim adalah pemakaian energi fosil yang tak kunjung diakhiri. Salah satu energi fosil itu adalah batu bara. Tak heran beberapa perbankan internasional enggan mendanai proyek batu bara. Mereka tidak mau ditinggalkan nasabah yang kesadaran lingkungan hidupnya mulai meningkat.
Batu bara bukan hanya menyebabkan krisis iklim, tetapi juga kerusakan alam di wilayah sekitar tambang. Batu bara memiliki karakteristik mengubah bentang alam. Akibatnya tambang batu bara akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, mengancam keanekaragaman hayati, serta memicu pencemaran lingkungan lainnya di sekitar area tambang.
Baca juga:
Daya rusak tambang batu bara tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah operasi, tambang ini menyisakan lubang. Di Kalimantan Timur misalnya, menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), pada tahun 2021 di provinsi tersebut terdapat 1.735 lubang bekas tambang. Lubang tambang itu telah menelan puluhan korban jiwa yang didominasi anak-anak.
Ironisnya, di tengah krisis iklim itulah pemerintahan rezim Jokowi lagi-lagi membawa kabar buruk. Kabar buruk itu adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu. Regulasi ini merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Salah satu regulasi baru itu mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Seperti gayung bersambut, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, berjanji akan segera memberikan izin usaha pertambangan atau IUP kepada Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Salah satu alasan rencana pemberian izin usaha tambang ke PBNU adalah menyejahterakan rakyat melalui ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Ironisnya, alih-alih menolak jebakan rezim Jokowi untuk mengelola tambang, PBNU justru berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, seperti ditulis Tempo.co pada 3 Juni 2024, mengungkapkan bahwa PBNU memberikan apresiasi yang tinggi atas kebijakan afirmasi Jokowi untuk memberikan konsesi dan izin usaha pertambangan kepada ormas-ormas keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama.
Baca juga:
Menagih Komitmen NU
Yahya Cholil Staquf lupa bahwa pada 2017, melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdatul Ulama (Lakpesdam PBNU), NU telah menerbitkan buku berjudul Energi Surya untuk Komunitas: Meningkatkan Produktivitas Masyarakat Pedesaan Melalui Energi Terbarukan. Buku itu merupakan perwujudan komitmen ormas Islam terbesar di Indonesia itu terhadap energi terbarukan.
Bahkan sebelumnya, pada tahun 2015, peserta Bahtsul Masail PBNU mengeluarkan putusan haram terhadap eksploitasi kekayaan alam yang menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahatnya. NU saat itu benar-benar berada di barisan yang sama dengan rakyat, utamanya korban kerusakan alam akibat tambang.
Kenyataan bahwa batu bara itu merupakan bisnis kotor yang merusak alam harus terus menerus disuarakan. Dengan suara-suara itu, publik tentu berharap Tuhan yang Maha Kuasa membuka mata hati para petinggi PBNU. Terbukanya mata hati para petinggi PBNU akan membuat mereka sadar bahwa mereka tengah dijerumuskan ke pusaran bisnis kotor batu bara. NU terlalu besar untuk jatuh ke kubangan beracun tambang batu bara yang merusak alam. Publik berharap NU kembali berwarna hijau, bukan kelabu.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Memudarnya Warna Hijau Nahdlatul Ulama”