Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Merasakan Krisis Iklim dari Pinggir Sungai

Madno Wanakuncoro

4 min read

“Duh, ikan di Jogja ini sudah pada sarjana, Mas. Wong kota pelajar, og, udah pada pinter ikan-ikannya,” keluh bapak-bapak pemancing dengan tawa jenaka. Yang saya cerap, gurauan itu bercampur nada getir. Saya mendengarnya ketika kami bertemu di tepi sungai Opak, Yogyakarta.

Sebagai sesama pemancing, saya mengangguki ungkapan bapak-bapak bertopi dan bercelana jins yang sudah dirobek model tiga perempat itu. Kalau sempat, coba Anda tengok pula kanal para pemancing di YouTube. Baik dari kalangan sesepuh maupun generasi muda, mereka sama bersaksi bahwa ikan-ikan di sejumlah sungai Yogyakarta semakin sulit dipancing.

Baca juga:

Gejalanya beragam. Mulai dari selera ikan yang sudah menyerupai selera manusia, populasi yang menurun drastis, hingga kontur dan topografi sungai yang berubah akibat aktivitas sapiens kota budaya ini. Soal racikan umpan, ikan-ikan di sekitar sini banyak yang lebih memilih roti, olahan tempe-masako-telur-bawang putih, jajanan pasar, sampai mi instan—saya biasanya pakai EkoMie yang murah dan jitu (bukan endorse). Cacing dan ulat kandang pakan burung, sebagai pakan alami mereka, tak lagi payu.

Sementara itu, perubahan sungai terjadi karena aktivitas penambangan pasir, pengangkutan batu-batu dan kerikil, hingga pembabatan rumpun pohon di pinggiran kali. Unsur habitat sungai dan tepiannya tempat ikan bernaung dan berkembang biak semakin lama semakin raib. Kesemua ini, ironisnya, juga ditopang oleh pengabaian pemerintah yang berwenang mengawasi ekosistem. Pun, kesadaran warga setempat masih amat minim.

Multitragedi ini lantas berkonfigurasi secara akumulatif sehingga berkontribusi pada menurunnya jumlah ikan di ekosistem air tawar. Belum lagi jika menyebut suhu panas yang bertambah setiap waktu akibat vegetasi yang makin botak.

Dampak Krisis Iklim terhadap Sungai

Penasaran dengan problem tersebut, saya mencari tahu lebih dalam. Pemanasan suhu bumi nyatanya ikut menancapkan jejak pada sungai-sungai kita. Studi dari ETH Zurich yang dipublikasikan jurnal Science menganalisis data aliran sungai dari 7.250 stasiun pengamatan di penjuru bumi. Hasilnya, aliran sungai berubah drastis dari 1971 sampai 2010. Lembaga American Rivers pun menyingkap bahwa imbas krisis iklim terhadap sungai secara umum berakibat pada kekeringan, suplai air jernih berkurang, tercemarnya kualitas air, sampai banjir tak tertebak akibat curah hujan berlebih.

Kita berkaca ke Mesir, misalnya, debit aliran Sungai Nil turun dari 3.000 m3/detik menjadi 2.830 m3/detik. Dampaknya tentu tidak sepele. Persediaan air menjadi berkurang, lalu menyebabkan persaingan untuk mengakses air, terutama di kalangan pelaku agribisnis. Sebagian dari mereka bahkan mengimpor air untuk kebutuhan pangan lokal seperti tomat dan timun. Padahal, Mesir menyumbang 30-40 persen produksi pertanian nasional. Tentu perubahan ini memukul berat dan memperburuk kesejahteraan para petani lokal dan masyarakat seluruhnya selaku konsumen.

Lantas, bagaimana dengan di Tanah Air? Kondisi di sini ternyata tidak lebih baik.

Aktivis lingkungan dan peneliti sungai, Cak Prigi Arisandi, pernah mewanti, “Sungai-sungai kita ini bisa dibilang sudah sekarat, hampir kiamat.” Itu karena, secuil contoh, banyak sekali sungai-sungai di Indonesia yang menjadi tumpuan rantai pasok kebutuhan air jernih. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pun bergantung padanya. Namun, kondisi air sungai yang rusak dan tercemar memunculkan satir dari warga, “Kini PDAM berubah menjadi Perusahaan Daerah Air Mandi, bukan Air Minum lagi.”

Ungkapan itu bukan tanpa dasar. Acuannya, banyak perusahaan nakal yang membuang limbahnya ke sungai-sungai—kadang di kala dini hari. Masyarakat kita pun tidak sedikit yang melempar sampah aneka jenis ke aliran kali, mulai dari popok bekas, sampah organik, hingga plastik dan sabun. Saya seringkali menyaksikan live dengan mata bugil ketika memancing: orang-orang blang-bleng melempar sampah dari jembatan. Ingin misuh, tapi KTP saya bukan warga Jogja—ups.

Lebih lanjut, kita melihat program Ekspedisi 3 Sungai kolaborasi Ecoton dan Watchdoc (2021-2022). Isinya menyingkap betapa baku mutu air sungai yang dijadikan sumber oleh PDAM sudah tidak layak konsumsi. Itu terjadi antara lain di Sungai Brantas, Citarum, dan Bengawan Solo—mewakili tiga sungai besar di Jawa. Konsekuensinya terlampau mahal. Dalam riset di Hongkong, ada indikasi kalau semakin tercemar suatu sungai, semakin besar kadar emisi gas rumah kacanya. Ini tentu saja memperburuk krisis iklim global.

Hilangnya Ikan-Ikan Asli di Sungai Kita

Di program ekspedisi yang masih sama, ada temuan lain yang mengejutkan. Penelitian Ecoton membongkar bagaimana limbah mikroplastik itu berbahaya bagi organisme hidup. Ikan-ikan di sungai yang mengonsumsinya bisa mengalami interseks. Kandungan mikroplastik mengganggu sistem hormon ikan-ikan yang mengakibatkan mereka berubah jenis kelamin. Hasilnya, banyak ikan pejantan berubah menjadi betina dan ini mengganggu ekosistem serta siklus reproduksi para ikan.

Kemudian, pada Maret 2021, Ecoton bekerja sama dengan DAS Citarum, Ciujung Institute, dan Ciliwung Institute menginventarisasi biodiversitas jenis ikan di sungai-sungai Jawa. Aktivitas demikian disebut “sensus ikan”. Hasilnya menampar telak: Bengawan Solo kehilangan 20 jenis ikan dan 35 jenis ikan di Kali Brantas lenyap dalam 30 tahun terakhir. Sedang di sungai Cisadane, survei 1910 mendata 150 jenis ikan yang lantas turun dramatis menjadi kurang dari 50 jenis pada 2010. Meskipun belum menemukan data sensus ikan di sini, tetapi peristiwa serupa telah saya rasakan di Yogyakarta.

Di sekujur daerah istimewa ini, banyak tergurat sungai-sungai besar dan kali-kali kecil. Kali Opak, Sungai Oya, Kali Progo, hingga Gajah Wong dan Kali Code menjadi ekosistem tempat ikan-ikan itu berumah. Yang menggetirkan hati adalah keberlimpahan sampah di sungai-sungai itu. Juga, rumpun bambu di tepiannya banyak yang sudah lenyap. Pasir dan kerikil tempat beberapa ikan berkembang-biak sudah raib, dirampok oleh bangsa kita sendiri.  Padahal, daya serap emisi karbon per rumpun bambu itu bisa mencapai 1.662 ton CO2 per m3. Kini, karena ketiadaannya, kesejukan di tepi sungai menjadi barang mewah. Ia semakin sulit didapat. Terik panas justru membakar tubuh para pemancing dan menghilangkan keanekaragaman hayati di pinggiran kali.

Baca juga:

Tubuh Kedua yang Terluka

Beranjak dari rentetan tadi, sebenarnya kehilangan banyak spesies ikan di bumi Nusantara ini hanyalah sebintik kecil dari bulatan besar kepunahan massal skala global. Data Living Planet Report (2022) dari WWF dan Zoological Society of London mencatat bahwa populasi binatang di seluruh dunia mengalami penurunan tajam sebesar 69% sejak 1970. Ikan-ikan di sungai kita termasuk di dalamnya. Ikan mahseer, belida, nilem, bahkan wader pari pun berkurang drastis. Para pemancing semakin jarang berjumpa dengan mereka. Malah seringnya dapat ikan sapu-sapu lagi, spesies alien invasif—karena muka dan sisiknya yang menyeramkan—asal Amerika Latin.

Himpunan fakta tersebut menyodorkan rasa pedih langsung di hadapan mata saya. Alam, sebagai “tubuh kedua” kita, tengah terluka. Meminjam konsep Daisy Hilyard (2018), tubuh kedua merepresentasikan keterhubungan manusia dengan alam sebagai wujud lain dari tubuh mereka. Dalam pohon trembesi itu, ada jejak napas kita yang diserapnya, begitupun dengan embus napas pohon itu—merasuk ke lubuk paru-paru kita.

Ironisnya, tubuh kedua ini sedang sakit, rompal, bahkan batuk-batuk dan ringkih. Agaknya, kita perlu insaf, bahwa kesakitan itu juga menimbulkan kesakitan yang sama pada tubuh kita sendiri. Perlu kita bercermin pada kebijaksanaan lawas dari masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik yang berkata, “Hutan adalah bapak, tanah itu ibu, dan air sungai adalah darah kami.”

Jika tidak, bukan cuma kita yang akan kehilangan ikan-ikan sungai tawar di Tanah Air. Anak-cucu kita kelak pun hanya akan menikmati ikan-ikan itu lewat buku gambar, foto-foto di internet, atau bahkan hanya dari cerita lisan, tanpa sempat menyentuh secara langsung di habitat asli mereka.

 

Editor: Emma Amelia

Madno Wanakuncoro
Madno Wanakuncoro Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email