Meramal Nasib Warisan Buruk Jokowi di Bidang Transisi Energi

Firdaus Cahyadi

2 min read

Indonesia akan memiliki presiden baru. Banyak tugas yang sudah menanti presiden baru itu, salah satunya adalah transisi energi. Transisi energi menjadi persoalan penting di Indonesia karena Indonesia sangat tergantung pada energi fosil sekaligus produsen batu bara. Di situasi ini, akan seperti apa peta jalan transisi energi bagi Presiden Indonesia yang baru?

Untuk mengetahui peta jalan transisi energi, kita perlu mengetahui bagaimana peninggalan Joko Widodo dalam hal transisi energi. Salah satu peninggalan Presiden Jokowi tersebut adalah skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Presiden Jokowi begitu membanggakan JETP yang diluncurkan saat KTT G20 di Bali tahun 2022 itu. Bahkan, di acara APEC Economic Leaders’ Informal Dialogue and Working Lunch yang digelar di Amerika pada November tahun lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa skema JETP dan energy transition mechanism dapat jadi model yang kian diperluas jangkauannya.

Nah, pertanyaannya kemudian adalah apakah skema pendanaan JETP yang sangat jargon itu bisa menjadi pijakan bagi peta jalan transisi energi ke depannya? Untuk menjawabnya, kita harus menelisik dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Ironisnya, jika merujuk pada dokumen CIPP JETP, justru terlihat bahwa pendanaan transisi energi dalam skema itu justru menunjukan lemahnya diplomasi energi Indonesia.

Bagaimana tidak, dalam dokumen itu disebutkan bahwa komposisi dana hibah hanya 0,3 miliar dolar AS dari total pendanaan 21,5 miliar dolar AS. Artinya, lebih dari 95% pendanaan JETP berupa utang luar negeri. Dalam dokumen CIPP JETP, kita tidak akan menemukan cerita tentang peran Indonesia dalam melakukan mitigasi GRK melalui transisi energi. Di dokumen itu kita justru menemukan cerita tentang negara-negara kaya yang lebih dahulu dari mencemari atmosfer melakukan jebakan utang atas nama transisi energi kepada Indonesia.

Hilangnya spirit keadilan iklim dalam dokumen CIPP JETP juga terlihat dalam orientasi pendanaan untuk energi terbarukan. Dalam dokumen CIPP JETP, terlihat sekali bahwa orientasi pendanaan pengembangan energi terbarukan diarahkan kepada pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan skala besar saja. Sementara itu, energi terbarukan berbasis masyarakat tidak diperhatikan sama sekali.

Padahal, energi terbarukan berbasis komunitas ini bisa membuka akses warga miskin, utamanya yang berada di kawasan terpencil, terhadap listrik. Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan lainnya. Hak atas energi listrik adalah bagian dari hak atas pembangunan. Konsekuensi dari hak atas pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Dalam dokumen CIPP JETP terlihat sekali pemerintah seperti enggan untuk memenuhi hak warga atas pembangunan tersebut. Jika arah ke pembangunan energi terbarukan berbasis masyarakat saja tak digubris, hak warga untuk ikut berperan dalam pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas jelas nihil.

Apakah skema pendanaan JETP yang tidak mencerminkan keadilan iklim ini yang akan diminta oleh Jokowi untuk diperluas? Apakah skema pendanaan JETP yang akan membebani Indonesia ke depannya dengan jebakan utang baru itu yang disebut bagian dari upaya memastikan terwujudnya peta jalan kemajuan Indonesia? Besar kemungkinan jawabannya adalah iya bila melihat Jokowi sebegitu getol mempertahankan kekuasaannya pasca habis masa jabatan.

Selain JETP, Presiden Jokowi juga melakukan upaya “iklim” yang diklaim sebagai bagian dari mitigasi emisi GRK dengan mengapresiasi penggunaan carbon capture storage (CCS). Pada November tahun lalu, beberapa media massa mengabarkan bahwa Presiden Jokowi telah menemui bos perusahaan migas multinasional asal Amerika Serikat. Pertemuan tersebut membahas mengenai rencana kerja sama dekarbonisasi melalui pembangunan kilang petrokimia hijau dan CCS.

Pertanyaannya, jargon apa lagi CCS itu? CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi GRK dengan cara mengurangi emisi karbon dioksida ke atmosfer. Apabila ditelisik lebih jauh lagi, CCS merupakan solusi palsu transisi energi karena penggunaannya akan memperpanjang penggunaan energi fosil dan menghalangi pengembangan energi terbarukan.

Bukan hanya itu, CCS sejatinya juga masih menghasilkan emisi GRK. Penerapan CCS menghasilkan emisinya sendiri, tapi sering tidak diperhitungkan karena konsumsi energi berlangsung ketika proses penangkapan. Bahkan, laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sedangkan biayanya akan sangat tinggi. Dengan biaya yang tinggi itu, harusnya investasinya langsung diarahkan ke pengembangan energi terbarukan.

Warisan buruk Presiden Jokowi terkait transisi energi semestinya tidak perlu dilanjutkan. Presiden Indonesia yang baru perlu merancang ulang peta jalan bagi transisi energi Indonesia. Skema pendanaan transisi energi dalam JETP, misalnya, bila ingin terus dilanjutkan, harus dinegosiasikan ulang dan diimplementasikan dengan cara baru.

Presiden baru Indonesia perlu melakukan negosiasi ulang terkait komposisi utang dalam skema JETP. Dilihat dari sisi manapun, beban utang baru dari negara-negara kaya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak mencerminkan keadilan iklim.

Presiden Indonesia yang baru pun harus mengubah cara dalam menyusun kebijakan energi. Selama ini, kebijakan energi, termasuk JETP, dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sebagai pembayar pajak. Ke depan, cara-cara ini tidak boleh terjadi.

Rencana investasi CCS juga harus dikoreksi oleh Presiden Indonesia yang baru. Penggunaan CCS ini akan mempertahankan penggunaan energi fosil. Konsekuensinya, CCS akan menghambat penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Penggunaan solusi palsu transisi energi seperti CCS bukan hanya membuat transisi energi jalan di tempat, tapi juga mundur ke belakang.

Singkat kata, Presiden Indonesia yang baru perlu imajinasi dan juga keberanian untuk tidak lagi melanjutkan warisan Jokowi dalam hal transisi energi. Namun, melihat hasil pemilihan presiden, ada kemungkinan harapan tersebut hanya tinggal harapan.

 

Editor: Emma Amelia

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email