CIPP JETP: Bukti Lemahnya Diplomasi Iklim Indonesia

Firdaus Cahyadi

2 min read

Setelah sempat mengalami penundaan, akhirnya Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) meluncurkan draf Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pada awal November ini.

CIPP merupakan tindak lanjut dari keberhasilan Indonesia menggalang pendanaan untuk transisi energi dari negara-negara kaya yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang di sela-sela KTT G20 di Bali 2022 lalu. Singkatnya, Indonesia harus membuat dokumen CIPP untuk bisa mengakses pendanaan transisi energi tersebut.

Negara-negara kaya yang lebih dahulu dan besar dalam mencemari atmosfer dengan gas rumah kaca (GRK) tentu sangat menunggu munculnya dokumen ini. Dengan munculnya CIPP, mereka dapat memilih menu proyek transisi energi yang akan didanai untuk mencuci dosa ekologisnya terhadap bumi.

Sekretariat JETP tentu sangat paham dengan penantian negara-negara kaya itu sehingga peluncuran draf CIPP ini pun lebih diprioritaskan dengan menggunakan bahasa Inggris, bahasa yang dipakai mereka yang menjadi donor JETP. Peluncuran dengan menggunakan bahasa Indonesia dilakukan belakangan, setelah dokumen CIPP dalam bahasa Inggris diluncurkan. Padahal, masyarakat Indonesia yang nantinya akan terdampak dari kebijakan energi, termasuk transisi energi dalam skema JETP ini, sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, bukan Inggris.

Peluncuran draf CIPP dengan memprioritaskan penggunaan bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia ini bukan persoalan teknis semata. Ini menunjukkan orientasi dari transisi energi dalam dokumen CIPP JETP, yakni untuk melayani negara-negara industri maju. Dengan kata lain, masukan-masukan dari masyarakat Indonesia menjadi prioritas kesekian. Bisa saja Sekretariat JETP berkilah bahwa ini hanya persoalan teknis, tapi sejatinya bila dilihat dari diplomasi iklim, ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia lemah.

Lemahnya posisi Indonesia dalam diplomasi iklim juga tampak dalam komposisi pendanaan transisi energi dalam draf CIPP tersebut. Dalam dokumen itu, disebutkan bahwa komposisi dana hibah hanya 0,3 miliar dolar AS dari total pendanaan 21,5 miliar dolar AS. Dengan kata lain, lebih dari 95% pendanaan JETP berupa utang luar negeri.

Dilihat dari sudut manapun, komposisi pendanaan yang didominasi utang ini tentu sangat tidak mencerminkan keadilan iklim. Bagaimana tidak, negara-negara yang lebih dahulu kaya dan besar dengan mencemari atmosfer justru membebani Indonesia dengan utang baru atas nama transisi energi!

Di tengah krisis iklim, negara berkembang seperti Indonesia harus melakukan mitigasi dan adaptasi secara hampir bersamaan. Kedua kegiatan itu tentu membutuhkan anggaran yang cukup besar. Beban utang baru atas nama transisi energi akan mengurangi kapasitas anggaran pemerintah dalam melakukan adaptasi.

Hilangnya spirit keadilan iklim dalam dokumen CIPP JETP juga terlihat dalam orientasi pendanaan untuk energi terbarukan. Dalam dokumen CIPP JETP, sangat terlihat bahwa orientasi pendanaan pengembangan energi terbarukan diarahkan kepada pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan skala besar saja. Sementara itu, energi terbarukan berbasis komunitas tidak diperhatikan sama sekali.

Padahal, energi terbarukan berbasis komunitas ini bisa membuka akses warga miskin, utamanya yang berada di kawasan terpencil, terhadap listrik. Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan. Hak atas energi atau listrik adalah bagian dari hak atas pembangunan. Konsekuensi dari hak atas pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Namun, dalam dokumen CIPP JETP, terlihat sekali pemerintah seperti enggan untuk memenuhi hak warga atas pembangunan tersebut. 

Dari Sabang hingga Merauke, energi terbarukan berbasis masyarakat sudah ada. Salah satunya di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem. Di desa tersebut terdapat PLTS  yang menyuplai listrik rumah tangga. Terdapat 17 kepala keluarga dan 3 fasilitas umum yang menjadi penerima manfaat listrik tenaga surya ini.

Tak hanya di Bali, energi terbarukan berbasis masyarakat juga ada di Jawa Barat, tepatnya di Kasepuhan Ciptagelar. Di kawasan masyarakat adat ini terdapat pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Bahkan, masyarakat adat di Ciptagelar telah memanfaatkan aliran air Sungai Cisono dan Cibareno untuk menghasilkan listrik sejak tahun 1988.

Itu baru dua contoh penggunaan energi baru dan terbarukan dalam skala komunitas. Masih ada banyak lagi penggunaan sumber energi alternatif yang diinisiasi dan dikelola oleh warga. Di situasi ini, JETP harusnya menjadi pintu masuk bagi negara untuk melipatgandakan energi terbarukan berbasis komunitas ini. Namun, pemerintah masih menggunakan paradigma usang dalam melihat masyarakat, yakni menempatkan masyarakat hanya sebagai konsumen energi terbarukan, bukan warga negara yang juga bisa menjadi produsennya. Paradigma usang inilah tepatnya yang membuat CIPP kehilangan spirit keadilan iklim.

Bila kita membaca draf CIPP, kita tidak akan menemukan cerita tentang Indonesia yang menyelamatkan bumi melalui transisi energi. Dalam dokumen tersebut, kita justru akan menemukan cerita-cerita dari negara-negara kaya yang ingin mengalihkan tanggung jawabnya atas dosa-dosa ekologis di Indonesia. Draf CIPP tak ubahnya sebuah buku putih (white paper) yang berisi pengakuan atas diplomasi iklim Indonesia yang kecolongan.

 

Editor: Emma Amelia

Firdaus Cahyadi

One Reply to “CIPP JETP: Bukti Lemahnya Diplomasi Iklim Indonesia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email