Seiring dengan respon positif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait kebijakan pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara untuk ormas keagamaan, kritik terhadap organisasi Islam terbesar di Indonesia itu pun bermunculan.
Salah satu kritik itu berupa petisi di change.org yang berjudul Ketua PBNU: Kelola Energi Terbarukan Bukan Tambang batu bara. Petisi yang diluncurkan bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia, 5 Juni 2024, itu hingga artikel ini ditulis telah ditandatangani 436 orang.
Hal yang sama juga terjadi di Muhammadiyah. Saat ini sebagian elit di Muhammadiyah juga mulai menunjukkan sinyal tergiur dengan tawaran pemerintah mengelola industri kotor batu bara. Sinyal buruk itu kemudian mendapat perlawanan dari kaum muda Muhammadiyah. Salah satu perlawanan kaum muda Muhammadiyah juga diekspresikan melalui petisi. Petisi itu berjudul Anak Muda Muhammadiyah Menolak Persyarikatan Terlibat Tambang’. Hingga artikel ini ditulis, sudah 400-an orang menandatangani petisi itu.
Baca juga:
Dibandingkan Muhammadiyah, elit PBNU yang terlebih dahulu menerima tawaran pemerintah terkait tambang mendapatkan kritik yang bertubi-tubi dari masyarakat. Kritik yang paling keras di media sosial bahkan hingga mengubah lambang NU. Ikon bumi di lambang NU diganti menjadi alat berat untuk menambang. Bukan hanya itu, akun itu juga mengubah nama NU menjadi UN, kependekan untuk Ulama Nambang. Warna hijau dalam lambang NU pun diganti dengan warna merah.
Perubahan lambang ini membuat geram sebagian orang. Kegeraman itu kemudian yang memicu seseorang melaporkan pihak yang mengkritik NU ke pihak kepolisian. Pelapor berdalih bahwa laporannya ke polisi tersebut merupakan bentuk kepeduliannya sebagai warga NU sekaligus santri KH Sholahuddin Azmi, yang merupakan cucu pencipta lambang NU, KH Ridwan Abdullah. Namun, media berhasil mengungkap bahwa pelapor jugalah seorang calon legislatif dari partai pendukung Jokowi.
Ada yang pro dan kontra terhadap pelaporan ke polisi atas kritik terhadap NU. Namun, bila kita telisik secara lebih mendalam, pelaporan ke pihak kepolisian atas kritik terhadap NU itu menandai bergesernya wacana.
Sebelumnya, wacana yang mengemuka dalam persoalan tambang untuk NU adalah wacana lingkungan hidup dan politik balas budi pasca Pilpres 2024. Namun, dengan adanya pelaporan itu, wacananya bergeser ke wacana agama: membela lambang NU. Apakah ini kebetulan?
Untuk menjawabnya, kita perlu meminjam kacamata Michel Foucault. Pemikir dan cendekiawan Prancis abad ke-20 itu mengungkapkan bahwa wacana memiliki relasi dengan kekuasaan dan pengetahuan. Ia juga mengungkapkan bahwa politik kepentingan dapat dibangun melalui wacana. Politik kepentingan yang ada dalam wacana juga akan berpengaruh pada menyempit atau meluasnya ruang demokrasi.
Dengan meminjam kacamata Michel Foucault itu kita dapat melihat secara jernih bahwa pergeseran wacana dari lingkungan hidup dan politik ke agama dalam persoalan tambang untuk NU bukan sebuah kebetulan. Pergeseran wacana itu sudah didesain dari awal dan akan semakin mulus bila elit Muhammadiyah juga mengikuti jejak NU untuk ikut masuk dalam kubangan industri kotor batu bara.
Selama ini, wacana yang digunakan pemerintah untuk membela industri kotor batu bara adalah narasi nasionalisme. Kritik terhadap daya rusak tambang batu bara selalu ditangkis dengan isu kedaulatan ekonomi dan politik. Namun, tampaknya itu tidak lagi efektif karena korban tambang batu bara jugalah masyarakat lokal sendiri.
Singkatnya, batu bara tidak hanya menyebabkan krisis iklim, tetapi juga kerusakan alam di tingkat lokal. Krisis air, udara, dan pencemaran lainnya sulit dipisahkan dari operasional tambang batu bara. Terkait itulah wacana nasionalisme harus diubah.
Wacana agama adalah pilihan untuk mengganti wacana nasionalisme dalam rangka mencuci dosa ekologi batu bara. Terlebih, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius. Dalam konteks inilah tawaran pemerintah kepada ormas agama untuk mengelola tambang menemukan relevansinya.
Argumentasi pemerintah bahwa tawaran kepada ormas agama untuk mengelola tambang untuk meningkatkan kesejahteraan umat adalah kamuflase untuk mengaburkan motif ekonomi-politik guna mencuci dosa ekologi industri kotor batu bara. Dari sisi bisnis, keuntungan adalah segalanya. Untuk itu, segala cara bisa dilakukan, termasuk menjebak ormas keagamaan agar menggunakan narasi agama agar pemerintah dan pebisnis dapat mencuci dosa ekologi dari tambang batu bara.
Dalam konteks NU, misalnya, intelektual sekaliber Ulil Abshar Abdalla pun harus rela berperan seperti layaknya juru bicara untuk menggeser perdebatan terkait izin tambang batu bara. Dengan berbagai argumentasi yang diklaim sebagai fikih, Ulil membenarkan elit NU yang menerima jerbakan pemerintah untuk mengelola tambang batu bara. Padahal, sebagai seorang intelektual, Ulil Abshar Abdalla harusnya melihat fakta terkait daya rusak tambang batu bara yang mengancam keselamatan manusia.
Ancaman keselamatan manusia itu terjadi di tingkat lokal dan global. Di tingkat global, ancaman batu bara adalah krisis iklim. Inilah yang membuat bank-bank internasional mulai enggan mengucurkan kredit ke industri kotor itu.
Sejak 2022, beberapa bank mulai meninggalkan pendanaan ke industri kotor batu bara. Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris, telah menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Langkah itu disusul oleh bank terbesar Singapura, DBS. Bukan hanya itu, bank asal Malaysia, Malayan Banking Berhad (Maybank), juga menghentikan pembiayaan untuk aktivitas tambang batu bara.
Bank-bank di Indonesia memang belum memutuskan untuk menghentikan pendanaan ke batu bara, tetapi mereka sudah mulai membatasinya. Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023 mengungkapkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah membatasi porsi pendanaan sektor batu bara di bawah 3% sejak Mei 2022. Pembatasan porsi pendanaan ke batu bara juga dilakukan oleh Bank Negara Indonesia (BNI). Pada sebuah acara public expose di 2022, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengungkapkan komposisi kredit pendanaan proyek batu bara hanya sebesar 2 persen. BNI akan selektif melakukan pendanaan ke batu bara ke depannya.
Baca juga:
Selain untuk memenangkan perdebatan di media, penggunaan wacana agama juga untuk mempersempit ruang demokrasi. Dengan bergesernya wacana dari ekologi ke agama, pihak yang berdebat pun akan semakin terbatas. Penggunaan wacana agama juga akan menjadi pijakan untuk membungkam pihak-pihak yang memiliki pendapat berbeda. Penyempitan ruang demokrasi itu akan menggunakan pijakan pasal-pasal karet tentang penistaan terhadap simbol-simbol keagamaan dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah publik akan diam melihat wacana agama digunakan untuk membela kepentingan elit ekonomi-politik pendukung batu bara? Semoga saja cepat atau lambat publik akan bersuara atas penggunaan wacana agama untuk menyelamatkan kepentingan tambang batu bara ini.
Di mana-mana, kesadaran kolektif atas lingkungan hidup tidak bisa dibendung lagi. Bila bank-bank besar dunia saja bisa didesak untuk lebih peduli kelestarian lingkungan, maka ormas keagamaan pun semestinya bisa.
Kesadaran kolektif itu akan muncul pula di Indonesia. Kini, rakyat Indonesia, bukan hanya umat Islam, menunggu elit di kedua organisasi Islam itu siuman dan menyadari bahwa mereka sedang dalam jebakan mematikan untuk berperan menjadi tumbal industri tambang batu bara.
Editor: Emma Amelia