Gerakan menyelamatkan bumi tak akan berhasil jika media massa hanya fokus pada kesalahan individu dan upaya-upaya kecil yang dilakukan individu.
Kesadaran masyarakat terhadap dampak lingkungan beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya isu ini diangkat ke ruang publik, baik dalam bentuk opini pribadi hingga gerakan sosial (social movement). Di berbagai negara, ada gerakan School Strike for Climate yaitu aksi para pelajar turun ke jalan menuntut perubahan kepada pemerintah dan masyarakat untuk peduli lingkungan. Gerakan ini diinspirasi oleh seorang pelajar asal Swedia bernama Greta Thunberg.
Selain turun ke jalan secara langsung, gerakan sosial untuk menyelamatkan bumi juga terjadi melalui media sosial (media social movement) dengan tagar #climatestrike. Gerakan Climate Strike atau Pukul Mundur Krisis Iklim ini semakin terasa genting karena berbagai riset menunjukkan bahwa ini adalah momen terakhir bagi kita untuk dapat mengubah cara hidup kita, khususnya dalam hal mengganti penggunaan sumber daya energi menjadi energi terbarukan.
Berdasarkan Emmisions Gap Report dari United Nations Environtment Programme (UNEP), jika kita tidak berhasil mengurangi emisi hingga 2030 atau minimalnya sesuai yang dijanjikan saat konferensi cuaca PBB COP26 tahun ini di Galsgow, maka kita tidak akan dapat menghindari dampak kerusakan iklim terburuk.
Baca juga Editorial: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?
Maka itu, gerakan sosial baik itu di jalan maupun di media sosial yang juga merupakan ruang publik digital sangatlah penting. Opini yang berlangsung di ruang publik dapat membuka diskursus isu lingkungan hidup. Diskursus tersebut dapat menimbulkan perubahan yang besar bagi kesadaran kolektif kita dalam melihat persoalan dampak lingkungan.
Dalam tulisan yang dipublikasi oleh Journal of Environmental Psychology, penelitian Belinda Xie dkk. menunjukkan bahwa gerakan ini dapat mengaktfikan faktor psikologis yang paling penting di kepala masyarakat guna memerangi perubahan iklim.
Menumbuhkan rasa genting akan dampak lingkungan ini adalah tugas bersama, bukan hanya menjadi tugas orang per orang. Hal ini yang membuat media sosial yang berasal dari perorangan maupun komunitas saja tidak cukup. Kita membutuhkan alat yang memiliki kekuatan jangkauan yang tinggi di masyarakat. Inilah mengapa media massa sangat penting dalam mengemban tugas ini.
Tetapi, perubahan ini tetap tidak akan berhasil jika media massa hanya menyorot kesalahan yang sifatnya perorangan atau individu. Tanpa menyorot pemain-pemain besar yang ada di balik kerusakan lingkungan.
Menyoroti Kesalahan Produsen
Kerusakan lingkungan sering sekali dianggap sebagai masalah personal yang disebabkan oleh kesalahan individu. Seperti contoh tidak buang sampah pada tempatnya atau tidak bijak menggunakan listrik di rumah.
Tak jarang kita lihat saat media massa memberitakan mengenai fenomena dampak lingkungan, fokus utama dalam pemberitaannya adalah menyorot perilaku konsumen. Subjek yang bertanggung jawab akan dampak lingkungan langsung dilimpahkan kepada masyarakat umum atau konsumen. Hal yang jarang dilakukan media massa yakni menempatkan korporasi besar atau produsen sebagai subjek atas dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Beberapa media massa bahkan aktif menerima undangan peliputan dari korporasi besar yang mengadakan berbagai acara yang mencitrakan dirinya sebagai perusahaan yang ramah lingkungan. Mereka menurunkan berita peliputan ini tanpa mencoba untuk mengkritisi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan tersebut seperti over production dan limbah produksi.
Baca juga Mandalika Mendunia, Untuk Siapa?
Padahal, upaya menyelamatkan bumi ini juga tidak hanya dapat dilakukan melalui suara-suara kecil di jalan dan media online, tetapi juga membutuhkan suara dari kalangan pers. Pers memiliki kekuatan yang besar karena termasuk bagian dari suara yang dianggap kredibel.
Jika dilihat dengan lebih jernih, masyarakat sudah melakukan banyak usaha untuk dapat menyelamatkan bumi seperti contoh gerakan diet kantong plastik atau memperpanjang siklus penggunaan wadah dari plastik. Bahkan anak muda di generasi ini sangat aktif dalam menyebarkan kesadaran lingkungan, terlebih karena mereka merupakan golongan paling terkena dampak krisis iklim ini.
Baca juga Dari Rumah, Kami Dipaksa Mencintai Bumi
Indonesia sendiri masih memiliki kaum adat yang masih menjaga nilai-nilai kearifan lingkungan. Meskipun keadannya terus tergerus, tetapi dengan kesadaran lingkungan yang meningkat, diharapkan kehidupannya akan terus terjaga kedepannya. Media massa perlu untuk merefleksikan kembali hasil kerja-kerja mereka selama ini. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara narasi yang dibawa oleh media massa kepada bagaimana masyarakat menyikapi permasalahan lingkungan hidupnya.
Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk tidak hanya menyoroti perilaku konsumen (masyarakat) saat meliput dampak lingkungan tetapi juga memberikan porsi yang lebih besar kepada para produsen atau pemangku kekuasaan atas kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Kita yang menutut perubahan, tidak hanya menuntut masyarakat umum atas dampak lingkungan tetapi juga menuntut para perusahaan untuk bertanggung jawab atas dampak-dampak lingkungan kepada dunia yang kita tempati ini. Jika tidak, maka akan percuma saat kesadaran lingkungan sudah diinternalisasi kepada masyarakat dan konsumen tetapi kerja-kerja kejurnalistikan masih tidak jernih melihat permasalahan yang ada.
Baca juga Semua Salah Cuaca?
Perlu diingat seperti yang terdapat pada buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme oleh Fred Magdoff dan John Bellamy Foster, “sebagian besar persoalan-persoalan gawat lingkungan hidup yang kita hadapi disebabkan atau diperparah oleh tata kerja sistem ekonomi kita.”
Membangun kesadaran ekonomi berarti turut membangun kesadaran terhadap lingkungan, terlebih saat kapitalisme mengatur seluruh aspek kehidupan.
Kekuatan Media
Korporasi menggunakan kekuatan ‘halus’ untuk menginternalisasi nilai. Dalam upaya menginternalisasi nilai tersebut perusahaan menggunakan kekuatan atau power.
Power itu dapat berupa ‘kekuatan lunak’ atau soft power. Dalam Public Diplomacy and Soft Power oleh Joseph Samuel Nye terdapat soft power yaitu, kemampuan memengaruhi orang lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui daya tarik daripada paksaan atau pembayaran.
Kekuatan lunak ini dapat dilakukan dengan menggunakan pengaruh dari media massa. Melalui media massa perusahaan dapat membentuk citra bahwa mereka merupakan perusahaan yang bersih dan arif terhadap lingkungan; melalui media massa perusahaan bahkan dapat menunjukkan bahwa perusahaannya tidak terkait dengan dampak lingkungan yang kita rasakan sejauh ini.
Lanjut baca Suara Bumi dalam Perikemanusiaan