Kuasa Modal Bukan Takdir, Politik Hijau Bukan Utopia

Abdurrahman Asmawi

3 min read

Saya akan mulai dengan mengutip ucapan Najwa Shihab dalam salah satu video di kanal Youtube miliknya, “Kita (rakyat) itu dianggap cuma penonton, semua deal-deal (politik) yang dilakukan itu di ruangan tertutup”. Sebuah pernyataan yang rasanya cukup tepat menggambarkan situasi politik tanah air saat ini, yakni hilangnya kuasa rakyat Indonesia sebagai subjek politik.

Kuasa tersebut meliputi keterlibatan dan keikutsertaan rakyat dalam menentukan pilihan-pilihan politik yang diambil oleh wakil-wakil kita di atas sana, terlebih jika pilihan-pilihan politik itu berdampak terhadap hajat hidup orang banyak. Apa yang terjadi justru sebaliknya, tanpa kuasa, rakyat hanya menjadi penonton proses-proses pengambilan kebijakan yang “ajaib” oleh para wakil rakyat.

Apa boleh buat, sistem perwakilan memang mengharuskan kita memilih sekelompok orang untuk menjadi wakil dalam mengelola negara, termasuk rakyat di dalamnya. Melalui pemilu, kita melimpahkan kekuasaan negara kepada para pejabat eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang begitu besar untuk mengelola serta mengatur keberlangsungan negara.

Baca juga:

Hak Suara

Walaupun kekuasaan negara sudah dilimpahkan kepada wakil-wakil eksekutif dan legislatif yang kita pilih melalui pemilu, bukan berarti kuasa politik kita juga ikut berpindah seluruhnya. Mereka memang punya hak untuk mengelola dan mengatur keberlangsungan negara, tetapi kita juga masih memiliki apa yang disebut dengan hak suara.

Hak suara tentu saja bukan sekadar hak untuk memilih saat pemilu. Hak suara bukan cuma hak yang wujudnya sebatas lembar-lembar kertas suara yang kita coblos. Lebih dari itu, hak suara meliputi pula jaminan dan kepastian bahwa suara–aspirasi atau kritik–dari kita didengar dan ditanggapi dengan serius sebagai pertimbangan dalam setiap pilihan yang dibuat oleh para wakil rakyat.

Beberapa peristiwa politik tanah air yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang justru menjadi sinyal bahwa kita berada di situasi sebaliknya. Di tahun 2019, siapa yang tidak ingat bagaimana proses revisi terhadap undang-undang KPK yang mendapat banyak respons penolakan tetap dilakukan oleh wakil-wakil kita di DPR? Kala itu, banyak kalangan menilai revisi terhadap undang-undang KPK justru akan membuat proses pemberantasan korupsi semakin lemah. Terbukti, KPK kini seakan mati suri, koruptor-koruptor pun semakin bernyali untuk menggarong uang negara.

Contoh lain adalah upaya pemerintah untuk merevisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terkesan dipaksakan agar bisa buru-buru disahkan. Kita tentu masih ingat bagaimana respons masyarakat terhadap aksi pemerintah dan DPR itu: demonstrasi paling besar yang pernah terjadi pasca Reformasi. Mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum di berbagai daerah yang khawatir terhadap pengesahan RKUHP turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan. Namun, apa hasilnya? Nihil. Pembahasan RKUHP tetap berjalan, bahkan beredar desas-desus bahwa dekat-dekat ini RKUHP akan disahkan.

Sikap abai pemerintah dan DPR terhadap suara tidak setuju itu menunjukkan bagaimana elit politik memahami hak suara yang kita miliki. Agenda revisi undang-undang yang tetap berjalan meski ditolak oleh publik menimbulkan pertanyaan: suara siapa yang didengar?

Baca juga:

Ketika Modal Melemahkan Demokrasi

Jika suara kita sebagai rakyat yang dalam sistem demokrasi dianggap memiliki kekuatan paling tinggi saja ternyata tidak didengar, maka suara siapa yang menurut para wakil rakyat punya kekuatan lebih tinggi lagi? Siapa pun itu, tentu mereka adalah orang-orang yang merasa terancam dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Mereka juga adalah orang-orang yang anti terhadap kritik sehingga mendukung pasal-pasal bermasalah masuk dalam draf revisi KUHP. Lalu, untuk menghadapi situasi ini, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita perlu masuk menjadi bagian dari eksekutif atau legislatif agar bisa langsung bersuara dan ikut menentukan pilihan-pilihan politik?

Salah paham yang mereduksi hak suara menjadi sebatas angka pemilih menjadi celah untuk menggeser esensi politik demokratis berpaling ke arah politik transaksional. Semakin banyak suara pemilih yang bisa dibeli, jalan menuju singgasana politik semakin terbuka lebar. Paradigma politik transaksional semacam itu pada akhirnya membuat ongkos politik menjadi besar.

Ongkos politik menjadi indikator yang membuat tidak semua dari kita punya kesempatan sama untuk bisa masuk ke lingkaran eksekutif atau legislatif. Modal dianggap sebagai syarat penting untuk bertarung mendapatkan suara pemilih. Tidak sedikit dari para politisi yang kalah berakhir di rumah sakit jiwa. Politik elektoral adalah pertaruhan besar yang hampir mustahil untuk kita lakukan.

Hanya orang-orang dengan modal yang punya peluang besar untuk masuk ke lingkaran eksekutif dan legislatif. Temuan penelitian Merepus Corner pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 55% anggota DPR memiliki latar belakang pengusaha di berbagai sektor. Ini adalah sebuah kenyataan pahit tentang bagaimana kuasa modal menggerus esensi politik demokratis.

Pada hakikatnya, tidak harus susah payah berebut kursi terlebih dahulu untuk bisa menggunakan hak suara kita. Masalahnya justru ada pada bagaimana politik modal sangat dominan dalam sistem demokrasi, bahkan sampai “mengorupsinya”. Perlu ada perspektif baru agar penerapan sistem demokrasi di Indonesia lebih ideal.

Politik Hijau dan Holakrasi

Konsep hijau digunakan untuk memperkenalkan sebuah perspektif baru dalam politik yang mengutamakan keselarasan serta keseimbangan antara aspek sosial dan alam dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah prinsip, politik hijau menggunakan pendekatan ekologis dalam melakukan kajian politik dengan keadilan dan kelestarian sebagai tujuan akhir.

Holakrasi adalah salah satu konsep yang diusung dalam politik hijau sebagai upaya menghadirkan keadilan bagi warga negara pada konteks kuasa politik dalam demokrasi. Holakrasi merupakan perspektif baru yang melengkapi sistem demokrasi dengan mengusung desentralisasi ketimbang sentralisasi kekuasaan pada beberapa pihak saja.

Desentralisasi diharapkan mampu menghilangkan eksklusivitas elit politik dan merombak struktur kekuasaan hierarkis, serta menerapkan struktur kekuasaan heterarki (semua pihak memiliki kedudukan sama). Dalam holakrasi, tak ada lagi kesenjangan kekuasaan antara elit politik dan rakyat.

Penerapan holakrasi akan menutup celah dalam penerapan demokrasi yang memungkinkan elit politik mereduksi kekuasaan rakyat menjadi sebatas angka pemilih untuk kemudian memakmurkan politik transaksional yang ketergantungan terhadap modal. Namun, apakah politik hijau dan holakrasi mungkin untuk diterapkan?

Baca juga:

Membayangkan politik hijau diterapkan oleh negara mana pun dalam kurun waktu empat atau lima tahun ke depan mungkin adalah sesuatu yang utopis. Konstitusi, struktur ketatanegaraan, paradigma, dan kultur politik mustahil berubah seketika. Sebab, mengubah sesuatu yang besar dan kompleks tidak pernah cepat dan mudah. Jalan yang paling mungkin adalah memulai perubahan itu secara perlahan, dari hal-hal kecil.

Tak bisa ditunda-tunda lagi. Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai mengenalkan dan memasyarakatkan politik hijau agar esensi demokrasi beserta kuasa politik rakyat seperti kita tegak kembali. Kita bisa memulainya dengan menerapkan prinsip-prinsip politik hijau di lingkungan dan organisasi yang paling dekat dengan kita. Setahap demi setahap, kita wujudkan bersama-sama harapan untuk menyudahi dominasi politik modal.

 

Editor: Emma Amelia

Abdurrahman Asmawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email