Bermain-main transdisiplin.

Memperjuangkan Dekolonisasi Pengetahuan

Amos Ursia

5 min read

Fakta bahwa kawasan Indonesia dijajah, ditaklukkan, dan diinvasi adalah kenyataan sejarah yang tak bisa ditolak. Penjajahan yang dilakukan di kawasan Indonesia sangat berlapis. Memang ada penjajahan politik yang dilakukan dengan armada perang, tetapi ada juga penjajahan berbasis pengetahuan. Puncaknya pada abad 19, tanah jajahan Hindia Belanda dipantau dan didata oleh para ilmuwan dengan kecanggihan segala perangkat pengetahuan. 

Mendata, meneliti, dan melakukan penelusuran saintifik di Hindia Belanda adalah bentuk penjajahan epistemik, yaitu ketika pena dan kertas jadi senjata baru untuk menaklukkan. Mulai dari etnologi hingga kajian botani, kesarjanaan kolonial menjadikan segala hal di tanah jajahan sebagai objek penelitian dan pengamatannya. Kajian etnologi, proyek membuat peta, pendataan flora dan fauna, hingga kajian bahasa lokal memuncak pada abad 19. Oleh karena itu, bagi beberapa sejarawan, abad 19 adalah puncak dari penjajahan berbasis pengetahuan atau penjajahan epistemik. 

Penjajahan tak kasat mata melalui pengetahuan membuat benak kita tak benar-benar merdeka. Secara politik mungkin 17 Agustus 1945 adalah momen penting, tapi puluhan tahun setelahnya apakah kemerdekaan politik mendorong kita pada kemerdekaan pikiran dan mental? Atau sebenarnya kita hanya memiliki kemerdekaan politik dan benak kita masih terbelenggu dalam formasi pengetahuan kolonial? 

Baca juga:

Data, Formasi Pengetahuan Kolonial, dan Benak Terbelenggu

Dalam formasi pengetahuan kolonial, data dan informasi yang dikumpulkan para peneliti kolonial tidak pernah bebas nilai, apalagi hasil penelitiannya. Data selalu melewati seleksi, pemangkasan, komentar, tafsir, dan penilaian. Data selalu bermuara pada pikiran manusia yang menilainya. Farish Noor dalam Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900, menuliskan bahwa kolonialisme dimulai dari hasrat untuk mengetahui dan memantau. Farish Noor mengibaratkan subjek terjajah dan ruang hidupnya adalah kupu-kupu yang mati karena terjebak dalam gelas kaca. Dalam produksi pengetahuan kolonial, ada sebuah penjara yang menjerat subjek terjajah, penjara itu membuat tubuhnya dipantau, dikuliti, dan didefinisikan atas nama penelitian ilmiah. 

Formasi pengetahuan kolonial ini berupaya mempertahankan klaim bahwa sang peneliti dari universitas di Eropa lebih paham segala hal tentang masyarakat terjajah lebih dari apa pun. Maka, puncak dari penjajahan epistemik ini adalah hasrat untuk mengubah, memperadabkan, dan membuat subjek terjajah menjadi “masyarakat beradab”. Masyarakat tanah jajahan yang diklaim secara saintifik sebagai liar dan tak berabad perlu diberi pencerahan oleh peradaban adiluhung dari Eropa.

Syed Husein Alatas memiliki istilah soal benak terbelenggu (captive mind), di mana subjek terjajah terbelenggu dan mengamini formasi pengetahuan kolonial. Mental inferior, ketergantungan akademik, dan fenomena kegagapan untuk menciptakan teori-teori baru dalam konteks lokal adalah contoh kecil dari benak terbelenggu. Subjek terjajah dibelenggu pikirannya oleh formasi pengetahuan kolonial. 

Upaya untuk merdeka dari benak terbelenggu adalah titik berangkat kajian pascakolonial dan dekolonial. Kajian pascakolonial atau pascakolonialisme merupakan kajian kritis terhadap pemikiran kolonial yang melampaui “era kolonial”. Istilah “pasca” dalam pascakolonial bukan berarti melihat kolonialisme sebagai fenomena masa lalu yang selesai begitu saja, melainkan pembacaan kritis terhadap struktur, siklus, dan sistem yang melanggengkan kolonialitas hingga kini. 

Anita Loomba menyebutkan poskolonialisme sebagai titik temu antara dekolonisasi yang berupaya melampaui warisan kolonial dengan pengembangan konseptual dalam kajian lintas disiplin. Maka, salah satu fokus utama dalam kajian poskolonial adalah memahami relasi antara proses material sosio-ekonomi dan hubunganya dengan teks, produksi pengetahuan, budaya, hingga politik. 

Salah satu upaya utama dalam kajian pascakolonial dan dekolonial adalah membongkar formasi pengetahuan kolonial yang dilanjutkan, diinternalisasi, dan menubuh dalam diri subjek terjajah.

Pernahkah kita melihat iklan-iklan kosmetik di televisi atau papan jalan? Mengapa banyak dari model iklan tersebut yang berkulit putih dan memiliki rambut pirang? Mengapa seorang turis mancanegara dari Amerika Serikat atau Eropa diistimewakan? Mengapa aksi rasial di Eropa dan Amerika Serikat kini selalu menyerang imigran Asia atau Afrika? Mengapa teori akademisi dari luar negeri dirasa lebih sahih dari akademisi Indonesia? Mengapa pemeringkatan universitas tingkat dunia selalu didominasi universitas raksasa dari Eropa dan Amerika Serikat? 

Pertanyaan-pertanyaan itu adalah contoh kecil dari fenomena yang dibahas dalam kajian pascakolonial dan dekolonial, dari soal fenomena keseharian sampai dinamika budaya global yang dilihat dengan pendekatan kritis. Dekolonisasi pengetahuan adalah upaya membongkar konstruksi pengetahuan kolonial dan pola produksinya yang masih dilanggengkan. Melalui konteks itu, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, seberapa besar upaya kita untuk mengupayakan dekolonisasi pengetahuan? Sejauh apa ilmu sosial dan humaniora Indonesia memperjuangkan dekolonisasi pengetahuan?

Pribumisasi Ilmu Sosial dan Dekolonisasi yang Utuh

Pola umum dekolonisasi pengetahuan dalam ilmu sosial Indonesia bisa dibaca dengan istilah pribumisasi ilmu sosial. Saya memahami bahwa istilah “pribumisasi” merupakan penerjemahan istilah indigenization, tetapi beban makna istilah “pribumi” dalam lanskap politik Indonesia juga memuat masalah serius. Terjemahan lebih akurat saya pikir adalah ulayatisasi atau indigenisasi ketimbang pribumisasi. 

Beban makna “pribumi” ini terhubung sekali dengan primordialisme politik kewarganegaraan, sebuah masalah yang tak usai sejak era kolonial. Bambang Purwanto dalam Praktik Kewarganegaraan Indonesia menjelaskan secara historis siapakah pribumi atau “orang Indonesia asli” itu. Peran penting Liem Koen Hian dan Edward Douwes Dekker jelas membuktikan tak ada hubungan antara identitas pribumi dan nonpribumi dalam proses menjadi Indonesia. Istilah pribumi kemudian berbahaya jika dipahami secara parsial, ia menjebak pemakainya dalam wacana kolonial soal segregasi rasial. 

Problem etnosentrisme dan primordialisme ini telah dilampaui oleh para intelektual progresif Indonesia era perjuangan antikolonial, sebut saja visi politik Indische Partij tentang inklusivitas Indonesia yang melampaui identitas rasial. Tjipto Mangunkusumo memiliki istilah penting tentang “nasion bukanlah perserikatan rasial”. Isu kewarganegaraan tentang segregasi rasial sejak era kolonial ternyata masih menjadi hantu politik pada masa kini. Bahkan, produksi pengetahuan dalam ilmu sosial dan humaniora dirasuki hantu politik yang merupakan siluman dari wacana kolonial. 

Baca juga:

Melalui berbagai konteks soal politik kewarganegaraan dan masalah konseptual soal istilah pribumi, saya perlu mengajukan dua pertanyaan: dalam wacana arus utama itu, apakah dekolonisasi pengetahuan hanya dilihat sebagai proyek penyuaraan siapa yang disebut “orang Indonesia asli” alias pribumi? Lalu, apakah proyek “pribumisasi” ini telah menyiratkan wacana arus utama ilmu sosial kita masuk jebakan paradigmatik dari nativisme? 

Saya pikir masalah pengistilahan “pribumisasi” ini bukan soal kesalahan penerjemahan saja, tetapi problem paradigmatik. Dalam On the lndigenization of Academic Discourse, Syed Farid Alatas secara tegas menuliskan indigenisasi atau ulayatisasi berbeda dengan etnosentrisme berbasis identitas lokal, dalam istilahnya indigenous ethnocentrism atau nativisme. Masalah “pribumisasi” dalam diskursus ilmu sosial arus utama menyiratkan kegagalan memahami unsur interseksionalitas dalam dekolonisasi pengetahuan. 

Syed Farid Alatas menuliskan pentingnya melihat indigenisasi ilmu sosial sebagai produksi pengetahuan yang membebaskan subjek terjajah dari rezim kuasa dominan. Bukan hanya hegemoni pengetahuan Eropasentris, rezim kuasa dominan ini juga soal sektarianisme dan supremasi politik berbasis identitas. Interseksionalitas memungkinkan kita memandang proyek pembebasan sebagai solidaritas lintas batas, baik secara rasial, gender, identitas, dan segala batas lainnya. 

Produksi pengetahuan dalam ilmu sosial dan humaniora Indonesia tak bisa dipisahkan dari upaya dekolonisasi pengetahuan. Mengupayakan pengetahuan mandiri (autonomous knowledge) berbeda dengan sikap etnosentris, sektarian, dan tertutup. Oleh karena itu, pola umum soal pribumisasi ilmu sosial perlu dibaca ulang, khususnya dalam kajian pascakolonial dan dekolonial. 

Dekolonisasi dan Interseksionalitas

Interseksionalitas adalah unsur penting yang selalu digaungkan para intelektual dari kajian pascakolonial dan dekolonial. Gayatri Spivak melalui teori subaltern, Ramon Grosfuguel dalam konsep heterarchy, Maria Lugones melalui coloniality of gender, dan pemikir lainnya mengupayakan rumusan yang tepat untuk mengurai lapisan penindasan. Selalu ada yang terkalah dari kumpulan subjek kalah dalam siklus penindasan, maka dekolonisasi pengetahuan perlu merengkuh semua. 

Dekolonisasi pengetahuan tanpa interseksionalitas adalah kegagalan. Melihat dekolonisasi pengetahuan sesederhana melawan musuh tunggal yang disebut “Barat” untuk kembali pada kaum bernama “pribumi” adalah masalah serius. Benak yang terbelenggu kemudian tak bisa meraih pembebasan yang utuh, sebab ia kembali dikerangkeng oleh kuasa dominan. Ketertutupan terhadap isu-isu nyata hari ini dan sekadar memakai topeng primordialisme adalah bukti dari kegagalan meraih dekolonisasi secara utuh.

Kolonialisme sering dianggap telah selesai sebagai sejarah, tapi siklus kuasa dan cara kerjanya masih dilanggengkan. Maka, kajian pascakolonial dan dekolonial memungkinkan refleksi mendalam terhadap konteks kekinian, apakah “negara-bangsa” merdeka itu benar-benar merdeka? Apa “negara-bangsa” merdeka itu hanya melanggengkan struktur kuasa kolonial dan menggantinya dengan wajah politik yang baru? 

Dalam konteks ilmu sosial dan humaniora Indonesia, kita perlu mengurai benang kusut dari masa lalu dan masa kini secara bersamaan. Arsip Gubernur Jenderal van den Bosch, kekerasan terhadap transgender, penggusuran tanah adat, hingga kemiskinan struktural di Papua adalah hal yang tidak terpisah. Dekolonisasi pengetahuan bukan hanya membahas struktur kolonial di era Hindia Belanda, tetapi proyek kritis ini berusaha menjelaskan bagaimana siklus kuasa bekerja melampaui batas antara masa kini dan masa lalu. 

Dalam konteks Indonesia, pandangan bahwa “penjajahan telah selesai sejak 17 Agustus 1945” telah menjadi pandangan absolut. Indonesia seakan selesai dengan tetek bengek kolonialisme karena kemerdekaan telah diproklamasikan. Padahal dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 tercantum: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”

Mungkin, dekolonisasi politik hanya membuat subjek terjajah sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Lalu, apa sekarang kita masih berdiam diri di depan pintu gerbang kemerdekaan itu? Atau kita hanya duduk santai di depan pintu itu dan gagal memasuki ruang kemerdekaan yang sejati? 

 

Editor: Prihandini N

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

One Reply to “Memperjuangkan Dekolonisasi Pengetahuan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email