sejarawan, penyair picisan

Serba-serbi Metode Tafsir Sejarah

Muhammad Alif Ichsan

4 min read

Sejarah sebagai disiplin keilmuan dianggap perlu memiliki metode tertentu untuk membuktikan kebenaran yang ditawarkan dari tesis yang diajukan. Ilmu-ilmu alam atau eksakta telah terlebih dahulu menggunakan metode-metode ini dan kemudian menorehkan pencapaian yang mendulang pujian, utamanya pada abad ke-18.

Hal itu kemudian mendorong David Hume, seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia, merumuskan sebuah model yang bernama CLM (covering law model). Ide awalnya ialah bagaimana agar metode-metode yang sukses digunakan pada ilmu-ilmu eksakta dapat diaplikasikan pula pada bidang keilmuan yang pusat perhatiannya pada perbuatan manusia. Hal itu juga yang dipahami oleh Comte dengan terminologi positivismenya.

Model yang diajukan Hume pada dasarnya terdiri atas dua elemen yang menerangkan perbuatan manusia dalam peristiwa pada kajian sejarah. Kedua elemen itu ialah eksplanan dan eksplanandum. Eksplanan secara sederhana didefinisikan sebagai penjelasan. Sementara itu, eksplanandum merupakan objek maupun peristiwa yang dijelaskan atau membutuhkan penjelasan. Model ini mensyaratkan adanya hukum umum yang memayungi sebuah penjelasan atas suatu peristiwa. Pola hukum ini yang kemudian diharapkan dapat menjadi dasar dalam menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi.

Pola ini juga secara sederhana mewujud dalam hubungan kausalitas atau sebab-akibat. Akan tetapi, pola hukum ini masih memiliki fleksibilitas; sejalan dengan pernyataan Hempel bahwa pola hukum umum merupakan sesuatu yang universal sekaligus kondisional, maknanya sewaktu-waktu dapat berubah tergantung pada pengamatan empiris.

Baca juga:

Sementara CLM berkembang, beberapa perbaikan dilakukan agar model tersebut tepat guna dengan kajian sejarah. Selama perkembangannya, ada jarak yang terbentuk antara CLM dan sejarah. CLM yang ketat dan terikat pada pola hukum umum berhadapan dengan sejarah di seberangnya yang cenderung longgar dan memiliki ragam bentuk (polimorf).

Sumbang saran awal ialah substitusi pola hukum universal yang diyakini pada CLM kepada keterangan probabilistis dalam kajian sejarah. Hal tersebut dilakukan karena pada kajian sejarah sering kali terdapat kebocoran pemakaian pola hukum universal sebagai akibat dari adanya pengecualian sejarah. Oleh karena itu, Gardiner mengusulkan agar para sejarawan mencari pola umum dan kekhasan secara bersamaan untuk dapat menghasilkan pola hukum yang dapat menerangkan eksplanandum.

Sementara itu, perbaikan yang ditawarkan oleh Schriven dan White agak menyimpang dari CLM yang asli. Bagi Schriven dan White, premis pertama sebagai pola hukum umum tidak terikat pada peristiwa atau keadaan yang diterangkan (eksplanandum). Menurut mereka, kajian sejarah tidak pernah mengandung acuan berupa pola hukum tertentu, baik secara nyata maupun tersembunyi.

Alhasil, solusi paling “tepat” dalam memaknai CLM adalah dengan mengakui bahwa dalam kajian sejarah tidak mengapa dan tidak perlu ragu atas sebuah pernyataan historis, meskipun gagal dalam menerangkan pola hukum yang memayunginya. Namun, yang pasti, dalam kajian sejarah selalu disebutkan sebab dari kejadian atau peristiwa tertentu.

Kritik terhadap CLM

Selain upaya perbaikan, ada pula kalangan sejarawan yang lebih memilih untuk mengabaikan. Pengabaian ini dilancarkan melalui beberapa kritik yang pada garis besarnya menganggap sejarah adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Kendatipun pertunangan CLM dan sejarah mulai populer, perlawanan atasnya juga berkembang. G.R. Elton, misalnya, berpandangan bahwa keumuman sejarawan tidak perlu pusing atas penggunaan pola-pola hukum umum itu.

Kemudian, W.H. Dray mempermasalahkan jarak antara eksplanans dan eksplanandum. Ia berpandangan bahwa kelemahan CLM ialah sebuah peristiwa yang tidak pernah diterangkan secara kompleks dan hanya dicarikan deskripsi yang paling tepat saja. Lalu, ada pula keberatan terhadap pola hukum probabilistis. Alasannya, pola hukum yang demikian tidak dapat menerangkan kejadian-kejadian yang bersifat individual.

Kritik lainnya terkait dengan sifat formal yang terdapat dalam CLM. Dalam bentuknya yang formal, CLM dianggap tidak mampu menyinggung keadaan de facto atau yang sesungguhnya terjadi. CLM semata-mata cukup dengan bagaimana suatu keterangan dapat diterima.

Foucault mengajukan keberatan pada aspek sensasi sejarah atau rasa yang dihadirkan. Menurutnya, seorang sejarawan baru mencapai keberhasilan jika mampu menyadarkan pembaca bahwa masa lampau merupakan sesuatu yang memiliki tabiat yang lain sekali dari masa kini, sesuatu yang asing, yang tidak kita batasi dengan apa-apa yang sudah kita kenal.

Ahli sejarah juga merespons pendekatan lain dalam menafsir sejarah, yakni hermeneutika. Hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher dalam memahami ayat-ayat Injil. Hermeneutika berasal dari kata bahasa Yunani hermeneus yang berarti penerjemah. Cara kerjanya berbeda dengan CLM; metode ini mengandalkan pengalaman pribadi dan pengetahuan terhadap keadaan tertentu sebagai alat bantu dalam memahami apa yang terdapat pada teks sejarah.

Secara sederhana, metode ini merupakan bentuk pengamatan atau penyelidikan ke dalam. Dalam menggunakan metode ini, seseorang harus mengira-ngira bagaimana dia akan berpikir sebagaimana penulis yang akan dia terjemahkan maksudnya. Hal ini berbeda dengan positivisme yang berangkat dari pola hukum umum, atau teori argumentasi yang memerlukan diskusi sehingga menemukan landasan dasar bersama. Hermeneutika dapat menjembatani alam pikir pengarang pada masa lampau dengan bagaimana seseorang harus memahaminya pada masa kini.

Hermeneutika awal-awal berkembang di Jerman, Inggris, dan Amerika. Dilthey dan Gadamer yang mengusung metode ini di Jerman. Dilthey menggunakan tiga buah konsep dalam penerapan metode ini, yakni Erlebnis, Ausdruck, dan Verstehen. Erlebnis merupakan pengalaman sejati, sedangkan Ausdruck ialah objektivasi koherensi dalam Erlebnis, dan Verstehen mengacu pada keadaan seorang peneliti sejarah yang sudah dapat memahami perbuatan dan perilaku sejarah itu. Dengan begitu, tugas seorang peneliti sejarah ialah mengerti (Verstehen) ungkapan (Ausdruck) mengenai Erlebnis manusia dulu.

Gadamer menyimpang dari jalur Dilthey. Gadamer mengeluarkan hermeneutika dari basisnya pada kerangka ilmu pengetahuan kepada ontologi sebagai unsur tersendiri dalam keberadaan manusia. Gadamer tidak mempersoalkan maksud pengarang yang asli. Hal inilah yang membuat karyanya yang orisinil dan berangkat dari luasnya pengetahuan yang dia miliki menuai kritik.

Di Inggris, muncul nama R.G. Collingwood. Dia dengan terang membantah sikap skeptis bahwa sejarah tidak dapat diandalkan karena kejadian pada masa lampau tidak dapat dialami kembali. Collingwood menyatakan bahwa sejarah dapat diulang kembali dalam batin kita dan ini memerlukan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang berangkat dari hermeneutika.

Dalam bahasa yang paling sederhana, pemikiran Collingwood ini diistilahkan sebagai re-enactment, yaitu menghayati kembali situasi seorang tokoh sejarah dengan mengandalkan imajinasi. Pemikiran ini memengaruhi W.H. Dray, filsuf sejarah di Kanada, secara lebih longgar dalam memahami hermeneutika. Dray tidak menuntut hasil re-enactment itu sama persis dengan pemikiran sang tokoh sejarah, melainkan cukup dengan memperoleh alasan kuat mengenai apa yang dapat dipikirkan seorang tokoh sejarah itu.

Di pihak yang sama sekaligus berbeda, P.Winch melirik bahasa sebagai alat dalam menerapkan hermeneutika. Dia berpandangan bahwa melalui bahasalah pengalaman batin pelaku sejarah dapat ditelusuri dan dihayati.

Baca juga:

Kritik bahwa hermeneutika sepandangan dengan Descartes dan pengandaian dari CLM sudah dibantah. Kritik yang utama ialah soal metode hermeneutika yang bersifat terbatas dan—sama halnya dengan CLM—dapat tergelincir pada kurangnya kesadaran historis di dalamnya. Selalu ada upaya mencapai kesamaan antara pemikiran tokoh sejarah pada masa lalu dengan peneliti di masa kini. Masa silam, sebagaimana yang disampaikan Foucault, hendaknya dimaknai sebagai sesuatu yang asing.

Akhirnya, kita tiba pada pandangan H. White bahwa masa silam hendaknya dimaknai sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, tugas peneliti sejarah ialah mengalihkan teks itu dalam penulisan sejarah yang masuk dari pendekatan bahasa. Akan tetapi, pandangan ini lebih tidak lepas dari kritik. Penyamaan masa silam dengan teks belum bisa dibenarkan. Maka, ide yang dibawa oleh White hanya sampai pada sebuah metafora yang menarik saja.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Alif Ichsan
Muhammad Alif Ichsan sejarawan, penyair picisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email