Bermain-main transdisiplin.

Memaknai Ulang Peran Intelektual dari Edward Said 

Amos Ursia

4 min read

Edward Said dikenal dengan tesis “orientalisme” yang menghebohkan pada masanya. Tapi, ada banyak gagasan penting Said soal posisi intelektual, politik pengetahuan, dan kritisisme pada pola kesarjanaan arus utama.

Indeed, Said uses the image of exile or migrancy elsewhere in his work to characterize the role of the intellectual in the late twentieth century. He argues that the intellectual should be a marginal or migrant figure who helps to produce new types of knowledge as well as to criticize abuses of power and the obfuscations and distortions of official discourse.”

(Terjemahan bebas: Said memakai imaji tentang eksil dan migran dalam karya-karyanya untuk menjelaskan peran golongan intelektual dalam abad 20 akhir. Dia berargumen bahwa golongan intelektual harus menjadi sosok marjinal yang memproduksi pengetahuan dengan cara baru, selagi melakukan kritik pada kesewenangan kuasa, pengaburan, dan distorsi dalam wacana dominan)

Kutipan itu adalah cuplikan pengantar Valerie Kennedy terhadap pemikiran Edward Said. Sebagai pembelajar sejarah, saya membaca pikiran-pikiran Said. Pembacaan ini membawa saya menuju perenungan yang cukup meresahkan.

Pertanyaan demi pertanyaan menjadi hantu epistemik paling mengerikan, bagaimana memikirkan peran intelektual seorang sejarawan? Apakah sejarawan hanyalah penulis naskah akademik yang seumur hidup mengeram dalam universitas? Bagaimana membayangkan peran sejarawan dalam kesenjangan sosial, krisis politik-ekonomi, dan kekerasan kultural?

Sejarawan sebagai Pemegang Kuasa Pengetahuan

Edward Said memberi gagasan penting untuk memaknai ulang peran intelektual dalam era ini, bahwa seorang intelektual bukanlah sosok yang mengeram dalam kubangan kemapanan kelas dominan, tetapi bertempat pada posisi marginal dalam sebuah struktur masyarakat yang timpang.

Hal ini penting untuk dipikirkan, terutama dalam memaknai posisi sejarawan. Jika kita membaca “sejarah intelektual” dari para sejarawan Indonesia, kita melihat pola relasi antara sejarawan dengan penguasa, di mana sejarawan secara sosial-politik berada dalam posisi “juru tulis istana”. Peran pujangga dalam pusat kekuasaan adalah sentral, pujangga bisa disebut sebagai golongan elite-intelektual yang dikendalikan para penguasa. Ia bisa menjadi seorang penasehat, pengatur kebijakan, hingga pembuat “kampanye” legitimasi politik yang berpengaruh bagi masyarakat luas. Fungsi dan perannya yang sentral ini bisa dilihat dalam berbagai kerajaan hingga kesultanan di wilayah Indonesia pra-modern.

Baca juga:

Misal, kita bisa melihat posisi intelektual dan sosial dari Empu Prapanca, penulis Nāgara-Kěrtāgama. Faktanya ia adalah seorang pujangga sekaligus pemimpin agama (dharmadyaksa kasogatan). Dalam birokrasi Majapahit, posisi dharmadyaksa kasogatan sangat sentral untuk menghubungkan raja dengan rakyat, dunia penguasa dengan dunia sosial akar rumput. Pola sejarah yang terjadi dalam masa kerajaan dan kesultanan terulang kembali, terutama ketika sejarawan akhirnya menjadi pujangga istana, menjadi juru tulis, juru bicara, dan penulis dari dongeng-dongeng politik buatan penguasa. Dalam Babad Tanah Jawi, Kitab Pararaton, Negarakertagama, dan berbagai karya historiografi lainnya kita melihat pola historis ini.

Sebagai pola historis, saya pikir mode produksi pengetahuan “pujangga istana” ini bisa ditemukan dalam berbagai era. Kuasa dan pengetahuan adalah fenomena sepanjang abad. Tetapi, ada fenomena penting yang terjadi pada era Orde Baru, seakan pangkat juru tulis istana dan dharmadyaksa kasogatan terulang kembali dalam bentuk lain.

Dogma dwifungsi ABRI membawa dampak serius dalam produksi pengetahuan. Penulisan sejarah terjebak pada militerisasi historiografi, atau dalam istilah Katharine McGregor, penyeragaman narasi sejarah. Buku-buku sejarah menjadi seragam dan hanya tentang mereka yang “berseragam”. Peran pahlawan militer, angkatan bersenjata, dan peperangan menjadi sumber dari gerak sejarah manusia Indonesia. Pada pola seperti itu, kita sulit menemukan pahlawan nasional dari kalangan seniman, jurnalis perempuan, atau kelas pekerja. Padahal, sejarah bergerak karena andil dan peran orang banyak. Mustahil sebuah peperangan melawan Agresi Militer Belanda dilakukan tanpa pasokan pangan dari tangan ibu-ibu di dapur umum, tanpa kurir surat, dan tanpa pemudi-pemuda yang mengangkut logistik perang.

Penulisan sejarah yang demikian terjebak dalam pengultusan sosok, peran tunggal, dan biasanya androsentris. Abainya penulisan sejarah untuk memahami gerak sejarah orang banyak adalah isu serius dalam politik pengetahuan. Mudah sekali sebuah mode penulisan sejarah dikooptasi penguasa untuk melegitimasi kultus politiknya dan penunggalan ‘kebenaran’. Aktor intelektual dalam militerisasi historiografi ini adalah Nugroho Notosusanto, ia seorang sejarawan yang dekat sekali dengan Orde Baru Soeharto, bahkan beberapa kali ia menjadi menteri.

Karya-karya Nugroho kebanyakan adalah proyek intelektual yang didanai dan disokong penuh oleh Orde Baru, sehingga secara naratif, penulisan kanon sejarah nasional Indonesia mengarah untuk melegitimasi klaim-klaim politik penguasa. Puncaknya, dicetak massal serial buku babon Sejarah Nasional Indonesia enam jilid. Buku ini menjadi kanon paling utama dalam proyek historiografi Orde Baru dan Nugroho Notosusanto, memuat sejarah ribuan tahun Indonesia yang beberapa bagian sentralnya adalah historiografi penyeragaman.

Kanonisasi dan penyeragaman ini membuat apa yang tak sesuai narasi tunggal penguasa dan juru tulisnya dianggap bukan sejarah. Pertanyaannya kemudian, apakah pangkat dharmadyaksa kasogatan setara dengan pangkat Brigjen TNI (Purn.) yang terdapat pada bagian depan gelar Prof. Nugroho Notosusanto?

Memikirkan Ulang Posisi Intelektual Sejarawan 

Pola historis yang ada menunjukkan sejarawan sebagai pujangga istana, ia adalah aparatus ideologi penguasa. Secara sosial politik ia bertugas sebagai penghubung atau mediator, bahwa penulisan sejarah dalam situasi ini menjadi medium legitimasi politik dari wacana dominan, sejarawan adalah aktor dalam berbagai bentuk politik pengetahuan. Fenomena ini kemudian penting dibicarakan melalui pikiran Edward Said, bahwa seorang sejarawan hari ini harus hadir pada posisi yang margin, ia tidak bisa menjadi penulis wacana-wacana dominan dan dongeng politiknya. Sejarawan dituntut menyelinap dalam jalan tikus epistemik untuk membongkar dan mendekonstruksi wacana dominan.

Baca juga:

Citra tentang seorang intelektual sebagai “eksil” dan “imigran” yang selalu terasing dari struktur dominan bisa menjadi refleksi penting. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, kita melihat bagaimana intelektual-intelektual antikolonial diasingkan dan ditempatkan pada rumah tahanan dengan pengawasan ketat. Pengasingan paling masif adalah penjara khusus bagi para intelektual antikolonial di Boven Digul, Papua. Belum lagi para intelektual Indische Partij yang diasingkan ke Belanda, begitu pula Hatta, Syahrir, dan Iwa Kusumasumantri yang tinggal bertahun-tahun di pulau Banda dalam rumah tahanan.

Sosok Tan Malaka juga menghabiskan hampir seumur hidupnya sebagai eksil, dengan selalu berpindah negara dan mencari tempat aman untuk bertahan hidup. Dalam sejarah politik Indonesia juga kita melihat ratusan dan ribuan golongan intelektual diasingkan dan dilarang kembali ke Indonesia oleh pemerintah Orde Baru, sebab mereka menganggap golongan intelektual ini akan mengancam stabilitas yang dibangun Orde Baru setelah G30S.

Pertanyaan penting bisa diajukan, siapakah intelektual penting di masa awal republik ini yang tak pernah menjadi eksil? Genealogi “Indonesia” sebagai ide lahir dari bilik penjara dan rumah pengasingan. Mustahil memisahkan sejarah intelektual Indonesia dan para intelektual eksil sebagai produsen gagasan. Para eksil inilah yang berusaha Edward Said gambarkan, mereka dipaksa berdiam pada margin dan sisi paling luar dalam masyarakatnya.

Mode produksi pengetahuan kritis semacam ini adalah tawaran penting, eksil akhirnya bukan legenda dalam kitab-kitab sejarah atau fakta historis yang sudah lalu. “Intelektual eksil” adalah metafora sekaligus landasan etik bagi sebuah mode produksi pengetahuan. Jika mode produksi pengetahuan para sejarawan selalu dianggap bebas nilai dan objektif, lalu apa jaminannya ia tidak menjadi juru tulis istana? Toh, fakta-fakta soal relasi kuasa dan pengetahuan dalam historiografi Indonesia tak pernah bisa dihindari.

Memang ada hal yang luput dalam penulisan sejarah, produksi wacana, hingga pendidikan sejarah di perguruan tinggi, yaitu perbincangan tentang posisi intelektual sejarawan. Membicarakan posisi intelektual dan komitmen sosialnya dianggap tak penting untuk dimuat pada kurikulum resmi di universitas. Dalam kondisi ini, mode produksi pengetahuan sejarah akan selalu rawan dikooptasi penguasa, ia selalu rapuh di hadapan perintah-perintah elite politik.

Said membawa pertanyaan penting dalam menyoal posisi intelektual dari sejarawan hari ini: apakah sistem produksi pengetahuan yang diupayakannya adalah untuk mereproduksi wacana-wacana dominan yang sebenarnya opresif dan menindas? Bagaimana para sejarawan melampaui historiografi yang dibentuk pola pikir otoritas dan kelas mapan?

Dalam runtutan pertanyaan itu, penting sekali untuk memikirkan ulang posisi sejarawan sebagai eksil, sebagai sosok yang berjarak dengan kekuasaan, sebagai sosok yang selalu menggugat posisi intelektualnya sendiri. Posisi intelektual yang jelas ini kemudian melampaui segala aktivitas produksi pengetahuan. Historiografi akhirnya bukan melulu soal masa lalu, peran tunggal kepahlawanan individual, atau kultus politik. Sebagai produksi pengetahuan, historiografi justru bisa menjadi jalan untuk menjawab realitas nyata kita yang multidimensional: ketimpangan, segregasi, penindasan struktural, dan hegemoni kuasa.

 

Editor: Prihandini N

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email