Dalam novel Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer menulis, “hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Tafsiran di sini saya andaikan berangkat dari perbedaan situasi zaman (meminjam Alvin Toffler; era agraris, era industri, dan era komunikasi dan informasi) serta kondisi bentangan alam, baik itu secara posisi geografis (pesisir, pegunungan) hingga perkara musim (tropis, subtropis), yang akan berpengaruh besar terhadap karakter penduduk di suatu kawasan. Mulai dari perkara gagasan, watak, hingga perilakunya.
Perlu saya tandaskan bahwa perbedaan karakter akibat perbedaan tantangan alam dan zaman tidak ada kaitannya dengan moral. Tidak ada sangkut pautnya dengan urusan baik atau buruk. Ini semata-mata hasil yang diakibatkan lewat perbedaan kondisi geografis dan perubahan zaman. Namun, perbedaan-perbedaan ini tidak menutup kemungkinan akan bersinggungan pula dengan perkara moral, ketika terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Baca juga:
Modernisme dan Logika Biner
Sepintas lalu saya memang melihat ada pola kehidupan yang berbeda antara saya dan orang-orang yang tinggal di sekitaran garis khatulistiwa dengan mereka yang tinggal di wilayah empat musim, khususnya negara-negara maju di Utara sana, seperti Eropa dan Amerika. Kehidupan subtropis dengan kontras yang kuat di antara setiap musimnya telah memaksa setiap penduduk untuk hidup dengan logika biner (mati-hidup, benar-salah, baik-buruk, hitam-putih, subyek-obyek) sebagai dasar untuk bertahan, membangun kekuatan bertahan hidup. Subyek (saya dan kita) dikukuhkan melalui kematian yang liyan (kamu dan kalian). Menggilas atau digilas. Begitulah kira-kira sederhananya.
Logika biner ini yang kemudian, saya kira, menghasilkan tradisi atau semangat avant garde (tradition of the new) di kalangan masyarakat subtropis yang berpuncak pada modernisme Barat, baik selaku individu maupun kesatuan kolektif. Maka tak ayal modernisme mengusung “shock of the new“, slogan yang dilontarkan oleh seniman bernama Marchel Duchamp.
Modernisme meyakini adanya progresivitas yang mengusung seperangkat nilai seperti kebaruan, keaslian, serta kreativitas. Maka tidak heran apabila di era modern kita menyaksikan adanya berbagai inovasi baru di Barat sana. Modernisme percaya bahwa ini adalah blue print yang ideal bagi tatanan masyarakat dunia. Obsesi terhadap kebaruan yang menuntut inovasi terus menerus di sana-sini melahirkan suatu masyarakat yang senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan yang obyektif, seni yang otonom, maupun moralitas-hukum yang universal. Dan untuk tetap menjaga kemurnian proyek pencerahan ini, modernisme senantiasa mengedepankan logika bineritasnya.
Tetap ada pembedaan yang saklek antara high culture dengan popular culture (selera massa). Antara apa yang lama dan apa yang baru. Terkait dengan yang disebut terakhir, saya teringat sebuah slogan lain dari kaum modernis, “ornament is a crime“, begitu katanya. Dalam dunia seni rupa, desain, juga arsitektur modern, fungsi menempati posisi yang terutama karena bentuk mengikuti fungsi. Form follow function. Maka tak heran bila bentuk-bentuk dalam wilayah visual modern begitu bersih dan sederhana. Tanpa printilan. Berkebalikan dengan apa yang ada dalam dunia tradisional (pramodern), yang galibnya serba pengulangan dari motif serta ornamen yang sudah ada, atau katakanlah lama.
Modernisme Bawaan Kolonialisme
Kembali ke soal proyek pencerahan modern Barat. Proyek ini memang menjanjikan berbagai hal lewat inovasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Mulai dari keadilan sosial dan kebahagiaan manusia, kemajuan moral, pemahaman akan dunia secara holistis, hingga pendayagunaan alam secara optimal. Maka proyek pencerahan ini pun disebar ke berbagai belahan dunia, baik yang ada di kawasan Afrika, Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Indonesia. Galibnya proyek pencerahan atau memperadabkan ala Barat ini dilakukan lewat kolonialisme. Sesuatu yang memang ganjil.
Baca juga:
Tidak keliru bila kita katakan bahwa modernisme yang ada di Indonesia adalah modernisme cangkokan. Bagaimana tidak, ia tidak lahir secara alamiah seperti yang terjadi di Barat sana. Di Barat, modernisme lahir lewat pergulatan panjang yang melahirkan berbagai macam revolusi, seperti Revolusi Perancis yang menggulingkan monarki dan melahirkan republik. Ada pula Revolusi Industri yang mendorong sistem kerja baru yang berimbas ke berbagai sektor kehidupan manusia dan kemasyarakatan, serta lain sebagainya. Di Indonesia, modernisme lahir melalui cangkokan kolonialis Belanda, khususnya sekitar masa Politik Etis atau Politik Balas Budi (1901-1942).
Dan ini pun sebenarnya bukan pencerahan yang etis-etis amat. Sebagaimana kita tahu, Barat (dalam hal ini Belanda) memang sedang membutuhkan tenaga-tenaga kerja murah yang bisa melaksanakan program pembangunan industrinya di mana-mana, termasuk mengkader penguasa-penguasa lokal untuk menjadi kaki tangannya. Hal yang tak jauh berbeda ketika negara ini lahir pada tahun 1945. Kita seakan-akan tidak bisa lepas dari bayang-bayang asing. Kita hanya menjadi bidak dalam eskalasi perang dingin ideologi. Pencerahan modernisme, apa pun bloknya–kapitalisme, marxisme, demokrasi liberal, humanisme, dan lain sebagainya– memang terbukti mengalami kegagalan di mana-mana: dua kali Perang Dunia, kerusakan lingkungan, totaliterianisme, ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang.
Ke depan, yang perlu kita lakukan bukan lagi menghamba kepada apa yang terbukti gagal, tetapi juga tidak perlu mengelap-ngelap kebudayaan lama hingga mengkilap. Yang dibutuhkan ke depan adalah perayaan akan heterogenitas, fragmentasi, dan perbedaan, sebab meminjam penyataan Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J., “Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya. Berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan sebuah keluarga besar.”
Editor: Prihandini N