Dunia percintaan selalu berisi hal-hal yang fantastis, serta erotis dan sensual. Pertanyaannya, apakah cinta dan tetek bengeknya melulu soal kenikmatan? Lalu, apakah kenikmatan cinta itu bersifat kontinyu?
Jika cinta yang bersifat erotis meraih puncak kenikmatannya dengan jalur seksual, maka buah dari percintaan itu berupa seonggok daging dalam rahim—yang terus berproses hingga kelak muncullah tangisan yang membahagiakan. Kelak, kita akan menyebutnya buah hati, anak.
Baca juga:
Nah, dari sini akan muncul problem. Apakah anak itu kelak dapat menghidupi hidup di dunia yang terus berlari ini? Sempatkah mereka mendengar nyanyian burung yang khidmat di ranting pohon pada pagi hari? Entahlah. Memang banyak yang perlu dipikirkan soal cinta dan kebercintaan yang dapat meniscayakan nyawa baru menghirup dunia yang mungkin telah usang.
Mengapa saya mempersoalkan cinta dan seksualitas? Sebab, hampir semua kasus percintaan selalu berjalin dengan hubungan yang mempertemukan lingga dan yoni (hubungan seksual). Hal ini semakin gamblang saat kita mengetahui betapa banyaknya hubungan seksual terjadi dengan hanya bermodalkan janji manis atau omong kosong mencari kenyamanan tanpa ikatan.
Perlu dicatat, saya tidak hendak mempersoalkan sah atau tidaknya hubungan seksual secara normatif-teologis. Pada tulisan ini, saya hanya berniat mengutarakan kegelisahan terkait hasil dari cinta yang “disempurnakan” dengan bercinta.
Kita bisa sepakat bahwa seks merupakan naluri setiap manusia. Kebutuhan biologis. Kenikmatan seks yang begitu eksotis dipuja dengan segenap jiwa oleh setiap manusia. Bahkan, sampai ada celetukan, “Gusti, aku emoh mati, aku urung rabi lan nyicipi.” Artinya, “Gusti, aku belum mau mati, aku belum menikah dan belum mencicipi—hubungan seksual.”
Mengingkari Imajinasi Cinta yang Ideal
Banyak orang mendambakan dunia percintaan yang ideal. Bayang-bayang kenikmatan dan romantisme yang sering dikemukakan seakan membuat manusia berlari mengejar semua itu. Tentu, bayangan tentang kesalingan, teman curhat, kawan diskusi, serta tak lupa, sarana pelepas hasrat biologis menjadi ciri khas dari berjalannya percintaan secara ideal.
Namun, apakah berjalannya sesuatu di dunia ini selalu ideal? Tunggu dulu! Coba kita berpikir dari kacamata oposisi biner. Ada kebaikan, ada pula keburukan. Setiap ada terang, pasti ada gelap. Begitu pula dengan cinta.
Berapa banyak kasus perceraian yang terjadi di dunia ini? Berapa banyak muda-mudi yang galau, stres, dan frustasi karena hubungan dengan pacarnya telah putus? Semua itu tak dapat kita nafikan. Banyak hal yang melatarbelakangi itu semua. Segelintir di antaranya ada problem ekonomi, ketidakcocokan emosional maupun seksual dengan pasangan, ketiadaan restu orang tua, perbedaan keyakinan, dan lain-lain.
Saya jadi teringat sebuah novel getir nan lucu karangan Andina Dwifatma yang berjudul Lebih Senyap dari Bisikan (2021). Novel itu mengisahkan Amara dan Baron yang mulai menumbuhkan benih-benih cinta sejak di bangku kuliah hingga di kemudian hari menikah dan beradu desah di atas ranjang. Namun, jalan terjal dan berliku harus mereka lewati dengan wajah basah dihujani air mata.
Singkat cerita, pernikahan mereka pada awalnya sulit untuk dilaksanakan karena perbedaan agama keduanya. Restu orang tua menjadi ganjalan pertama yang perlu mereka lompati dengan hati jembar. Baiklah, ganjalan pertama dapat terlewati masih dengan senyum yang membentuk bulan sabit di wajah mereka.
Namun, keindahan hubungan pernikahan yang mereka bayangkan sebelumnya perlahan demi perlahan mulai pudar. Mereka lama mendambakan seorang anak, hingga menimbulkan cibiran banyak orang. Lagi-lagi, sebuah ganjalan menimpa mereka. Setelah ikhtiar yang sabar dan berpeluh-penat, percintaan mereka pun membuahkan hasil: buah hati.
Mereka mulai bahagia. Iya, bahagia. Namun, benar kata bijak bestari bahwa kebahagiaan itu fana. Kebahagiaan mereka setelah memiliki buah hati juga kian menyurut. Hantu rumah tangga mulai bergentayangan. Sebut saja repotnya merawat anak, jam istirahat yang berubah total, pekerjaan yang tak lagi bersahabat, belum lagi ditubruk persoalan ekonomi.
Persoalan ekonomi ini kiranya yang membuat kehangatan keluarga kecil Amara dan Baron menjadi beku. Seiring bertambahnya jumlah anggota di kartu keluarga, bertambah tipis pula isi dompet mereka. Kejadian yang mereka alami seakan membantah dengan garang pepatah lama “banyak anak, banyak rezeki”.
Pada puncaknya, kisah cinta dan jalinan keluarga yang awalnya mereka idealkan sebagai tempat yang selalu segar dan ramah beralih wujud menjadi tampar dan marah. Tak dapat ditangkis barang sejengkal.
Dari secuil kisah itu, kita belajar bahwa cinta tak melulu soal yang romantis, eksotis, dan erotis, tapi juga miris. Cinta penuh dengan hal yang senyap, nyata, dan membuat isi kepala jadi pengap. Intinya, perjalanan cinta juga tak melulu soal seksual. Semua harus kita tanggung dan kita jawab dengan segenap tanggung jawab. Siapkah kita?
Baca juga:
Menanam Cinta, Membuahkan Cinta
Pernahkah kita merenungkan bagaimana bayi buah cinta itu melanjutkan kehidupannya kelak? Apakah akan senasib-sepenanggungan dengan kita? Lebih jauh lagi, masih bisakah mereka melihat hijau yang alami dan mendengar nyanyian burung yang berahi di pagi hari?
Hari ini saja, ancaman kerusakan lingkungan sudah semakin menganga; krisis iklim karena tingkah para bedebah yang lalim, peperangan yang tak pernah usai, dan pangan yang hari demi hari mulai dijemput krisis. Lalu, bagaimana nasib mereka kelak sebagai anak zamannya? Saya jadi bergidik sendiri membayangkannya.
Sebagai manusia yang tengah mengalami ke-hari-ini-an dan ke-saat-ini-an, menjaga dan melestarikan alam sudah menjadi kendali kita semua, tanpa terkecuali. Kita kerap egois, tidak memikirkan nasib alam saat buah hati kita beranjak dewasa kelak. Layak atau tidaknya kehidupan mereka kelak merupakan tanggung jawab kita, sebab kita yang membuat mereka ada di dunia yang tua ini.
Anak-anak kita lahir dari percintaan. Mereka juga harus menuai cinta yang tumbuh dan dunia yang sembuh. Mereka punya hak untuk menikmati itu semua. Jangan sampai mereka durhaka kepada orang tua karena kita terlebih dahulu durhaka kepada alam.
Baca juga:
Saya mengandai-andai bahwa di suatu zaman kelak, harta, benda, dan kekayaan bukan lagi hal yang didamba-dambakan. Pada suatu waktu yang lain, udara segar di pagi hari lengkap dengan orkestra natural dari burung di pepohonan akan menjadi hal yang sangat dicita-citakan.
Saya ingin berbagi sebuah kutipan dari novel Dunia Anna (2013) karya Jostein Gaarder:
“Saya bisa membayangkan anak-cucu kita dalam keputusasaan—baik karena kehilangan sumber daya alam seperti gas dan minyak, maupun kehilangan keanekaragaman hayati: kalian telah menghabiskan semuanya! Kalian tidak menyisakan sedikit pun untuk kami!”
Semoga kegelisahan Anna di situ menjadi kegelisahan kolektif kita semua.
Editor: Emma Amelia
Anjayyyy