“Jadi, Paman, apa itu haiku?” kamu tiba-tiba bertanya. Aku meletakkan mangkuk tehku dan memandangmu. Cahaya keingintahuan memenuhi matamu yang bening.
“Haiku, ya?”
Kamu mengangguk penuh semangat.
“Singkatnya, haiku adalah tiga baris puisi, yang masing-masing baris terdiri dari 5-7-5 silabel atau suku kata.”
“Cuma itu?” Kau mengambil tempat di sampingku.
“Tidak. Masih ada lagi. Haiku diambil dari tiga baris pertama tanka, yang merupakan bagian dari waka.”
“Waka?”
“Salah satu ritual agama di Zaman Uta… Ada beberapa perdebatan mengenai jumlah silabel pada haiku atau tanka, bahkan ada yang percaya, aturan itu tidak ada! Silabel 5-7-5-7-7 pada tanka, atau 5-7-5 pada haiku, tidak sengaja ditemukan hanya karena enak dibuat lagu. Mungkin sama seperti pantun atau syair di Indonesia. Namun, ada juga kepercayaan bahwa 5-7-5 dipilih karena Jepang percaya bahwa angka ganjil lebih baik daripada angka genap.”
Kamu memandangku, penasaran.
“Seperti China, Jepang yakin angka tiga mewakili pencerahan, yang dalam agama Buddha diraih dengan Sila, Panna, dan Samadhi. Sementara untuk silabel 5-7-5, ada pula ceritanya. Angka lima dipercaya mampu mengarahkan kita kepada keseimbangan, angka tujuh merupakan pangkal kesadaran dan pikiran, atau yugen. Tujuh dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai angka suci dan keberuntungan.”
“Aku hampir mengerti, Paman,” kamu tersenyum.
“Yang lebih penting dari itu, haiku mengajak kita melihat ke dalam diri dan menemukan sesuatu yang lalai kita sadari, lalu menuangkannya dalam tiga baris puisi, dengan silabel 5-7-5.”
Kamu duduk santai seraya menendang-nendang udara. Cuaca malam begitu hangat. Angin mengalir tenang dan daun berayun damai. Obat nyamuk bakar menghalau nyamuk-nyamuk yang berdengung di halaman berumput hijau.
“Paman, katanya di dalam haiku harus ada kigo. Apa itu kigo?”
Aku mengambil kipas kertas dan mengipasinya.
“Kigo adalah penanda waktu, yang bisa diungkapkan dalam satuan musim, hari, jam, bahkan detik. Kita juga bisa memakai kigo tidak langsung untuk merujuk ke waktu tertentu. Seperti bubur ayam yang biasanya kita makan di pagi hari.”
“Dan nasi goreng tek tek?”
“Dan nasi goreng tek tek. Semua penanda waktu adalah kigo. Azan subuh, azan magrib, lonceng gereja, genta kelenteng, kembang api tahun baru, arakan obor, bubur ayam, angin rendeng, angin pancaroba, becak pembawa sayur mayur saat menjelang fajar, suara pagar dipukul saat peronda lewat, juga, tentu saja, nasi goreng tek tek yang baru saja lewat itu. Kamu mau?”
“Masih kenyang, Paman. Habis makan.” Kamu menepuk-nepuk perutmu. “Jadi, kigo tidak harus pagi, siang, sore, malam, musim panas, musim semi, musim gugur, musim salju, musim hujan, dan kemarau, ya?”
“Benar. Kamu pintar.”
“Paman, ajari aku membuat haiku!”
Aku mengambil buku kecil yang selalu ada di dekatku, “Nah, saat Paman ingin menulis haiku, tapi tidak tahu harus menulis apa, Paman biasanya memperhatikan dua objek berbeda, lalu mencari tahu, apa hubungan di antara keduanya.”
“Misal?”
“Di hadapan kita ada sebuah batu; di dahan pohon ada burung kecil. Burung itu tidak pernah berkicau saat menjelang malam. Coba cari apa kesamaan kedua objek itu, lalu rangkai haiku-nya.” Aku menyerahkan buku kecil itu padamu.
Dengan semangat, kamu menorehkan pensil di buku itu.
sebuah batu,
burung kecil di dahan,
sama diamnya.
“Bagaimana, Paman?”
Aku bertepuk tangan.
“Nah, mudah, kan? Haiku itu kesadaran kecil yang membuat kita kembali ke momen kini, seperti saat kita berjalan sambil melamun, lalu terjaga saat menginjak kerikil. Pada momen kesadaran singkat itulah, kita menulis Haiku. Jadi, Haiku bukan tentang apa yang telah dan akan terjadi, melainkan yang tengah terjadi. Dan biasanya, si “aku” hanya menjadi pemerhati. Contohnya,
telaga tua,
seekor kodok lompat,
suara air.
—Basho
(Furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto)
“Pada haiku ini, momen kesadaran diwakili oleh seekor kodok yang melompat ke telaga. Plung! Bayangkan kamu melamun di tepi telaga, lalu suara air mengejutkanmu. Itulah momen kesadaran yang Paman maksud. Kita kembali ke momen kini, tidak lagi berkelana ke mana-mana; tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Yang ada hanya saat ini.”
“Jadi, saat menulis haiku, kita hanya boleh menjadi pemerhati, bukan pelaku?”
“Boleh-boleh saja, tapi jika ingin jadi pelaku, tulislah senryuu.”
“Apa itu?”
“Sama seperti haiku, tapi tidak terikat kigo dan lebih bebas. Kita bisa menuliskan apa pun, dalam silabel 5-7-5.
“Senryuu mewakili perasaan, seperti senang, sedih, marah, kesal, cinta, harapan, takut, lapar, rindu, dan sebagainya. Haiku mewakili kesadaran.”
“Contohnya, Paman?” katamu, bingung.
menahan lapar,
pedagang bubur ayam
kapankah lewat?
di pinggir jalan,
pedagang bubur ayam,
kepulan asap.
“Keduanya punya kigo tak langsung: bubur ayam. Menu sarapan yang biasa disantap di pagi hari. Sementara senryuu fokus pada si “aku”, haiku fokus pada apa yang “dialami” si aku. Kamu bisa membedakan mana haiku, mana senryuu, kan?”
“Bisa!”
“Haiku mengandalkan indra kita. Apa yang kita lihat, dengar, cium, dan sentuh. Senryuu mengandalkan perasaan; apa yang kita rasakan.”
“Kalau begitu, Haiku minim emosi, ya, Paman?”
“Sebaliknya.”
“Aku menyimak!”
“Di tangan penyair yang andal, seringkali perasaan justru lebih terungkap saat disembunyikan. Contohnya,
pemburu capung
sudah sejauh mana
kau berkelana?
—Chiyo
(tombo tsuri kyou wa doko made itta yara)
“Haiku ini ditulis Ibu Chiyo untuk anaknya yang baru meninggal. Anaknya suka mengejar capung.”
Kamu tampak tertarik.
“Coba perhatikan,” kataku. “Tidak ada satu kata pun yang mewakili perasaan di haiku ini. Tapi efek yang ditimbulkan justru sebaliknya, bukan?” aku menuangkan semangkuk teh hijau. “Kamu mau?”
“Mau, Paman,” kamu menyambut teh yang aku seduh. “Omong-omong, aku turut berduka untuk anak Ibu Chiyo. Dia siapa, Paman?”
“Chiyo-ni, Kaga no Chiyo, alias Ibu Chiyo, adalah penyair Haiku perempuan pada zaman Edo. Dia hidup sekitar abad ke-17.”
“Haiku Ibu Chiyo tidak ada kigo-nya, ya?” tanyamu, seraya mengingat-ingat.
“Ada, kok. Capung itu kigo-nya. Itu serangga musim panas di Jepang. Dalam menulis haiku, kita tidak perlu menunjuk waktu secara tersurat. Bahkan, banyak penulis haiku memakai kigo tidak langsung. Ini ada satu Haiku lagi dari Ibu Chiyo,
musim semi
tertinggal
dalam bunga bakung.
—Chiyo
“Indah, bukan?”
Kamu mengangguk, lalu berlari menuju semak-semak.
“Lihat, Paman!”
bunga violet,
menjulurkan benangnya
untuk cahaya.
Aku bangkit menghampirimu, lalu melihat apa yang kamu lihat.
“Astaga. Paman tidak memperhatikannya.” Aku meraih bunga itu. Batangnya—yang menyerupai benang, menjurai begitu panjang.
“Sepertinya, benih bunga ini tertanam jauh di ujung semak. Namun, hasrat untuk hidup memaksanya mengejar cahaya di ujung gelap yang seolah tiada akhir. Mengagumkan, ya?”
Kamu tersenyum, “Iya.”
“Jika kamu dilanda masalah, ingatlah bunga violet ini. Kamu lebih kuat darinya.”
“Chiyo!” terdengar suara dari dalam rumah. “Sudah larut, ayo masuk!”
Aku tersenyum, “Sana. Ibumu memanggil.”
Kamu nampak sedih, “Tapi nanti ngobrol lagi, ya!”
Aku membelai rambutmu, “Pasti, kapan pun kamu mau. Paman selalu ada di sini.”
“Tadi bicara dengan siapa?” ibumu menyusul, penasaran.
Kamu melirik ke arahku, lalu berpaling dan menyambut uluran tangan ibumu. Aku membungkuk tanpa suara.
“Dengan Guru, Mama. Tapi anggap saja aku bicara sendiri.”
*****
Editor: Moch Aldy MA