Aku berefleksi tentang pengalaman cintaku yang sebelum-sebelumnya. Tidak banyak memang; aku bukan Giacomo Casanova. Namun, semuanya berakhir sama: kandas di tengah jalan sebelum terikat secara resmi (pacaran, maksudnya). Penyebabnya macam-macam; ada lucu-lucuan masa sekolah, ada yang merenggang karena terpisah jarak, ada yang cuma cinta searah, dan ada yang sepertinya resiprokal, tapi hilang rasa entah mengapa.
Tentu saja semuanya menyakitkan, tapi yang terakhir rasanya agak berbeda. Setelah jatuh bangun memperjuangkan perasaan dan akhirnya mendapat sedikit timbal balik dari pihak lain, percikan-percikan itu perlahan padam. Aku tak tahu mengapa bisa begitu. Mungkin salah satunya karena ekspektasiku yang berlebihan dan tak sesuai kenyataan.
Baca juga:
Seperti film 500 Days of Summer; Tom (aku) mempunyai some sort of perfect, fantasized, delusional projection kepada Summer (dia) yang membuat Tom (dan aku) terobsesi untuk mendapatkan hatinya. Namun, Tom akhirnya sadar bahwa Summer dalam kenyataan berbeda dari Summer yang selama ini ia damba dan fantasikan di pikirannya. “You know what sucks? Realizing that everything you believe in is complete utter bullshit.” ujar Tom dalam momen epifaninya di akhir cerita. Ya, sebenarnya Tom-lah yang salah karena telah berdelusi dan berpikiran bahwa si Summer is what she’s actually not.
We fell in love with the idea of a person, not with the actual person.
Namun, jika Tom marah dan nelangsa karena ditinggalkan Summer, serta baru sadar setelahnya bahwa yang telah ia lakukan salah, yang terjadi padaku malah sebaliknya. Setelah menyadari bahwa ekspektasiku berbeda dari kenyataan, aku perlahan berhenti untuk mendekati pihak yang awalnya membuatku tertarik. Tidak, aku tidak merasa superior karena tiba-tiba meninggalkannya—toh, barangkali ia malah merasa bersyukur karena tak ada lagi parasit yang mengganggu hari-hari tenangnya. Namun, aku takut bila hal ini akan terulang di masa depan.
Can I really be able to love a person unconditionally? Or can I only love “the feeling of loving someone” and then lose her eventually? Am I in love with you? Or am I in love with the feeling?
Simulakra Cinta
Ekspektasi dan standar yang kita inginkan dalam memilih pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak hal, tak terkecuali teknologi dan modernisasi. Efek modernisasi mempermudah kegiatan kita sehari-hari dan produk teknologi jadi kawan menjalani hidup yang terlampau mundane ini. Namun, layaknya koin, ada sisi negatif dari perkembangan teknologi. Salah satunya adalah andil teknologi dalam pemendekan tingkat perhatian (attention span) kita.
Menonton gempuran video-video pendek—rata-rata hanya berdurasi lima belas detik—di media sosial, seperti TikTok, shorts Youtube, reels Instagram secara eksesif dan terus-menerus dapat mengurangi attention span kita secara gradual , bahkan dapat mengganggu kesehatan mental. Bukan mustahil berkurangnya tingkat perhatian ini akan menjalar ke unsur lain dalam kehidupan kita. Kalau saya boleh menawarkan sebuah hipotesis, pendeknya attention span mungkin dapat berefek pada tindakan mencintai (the act of loving) yang kita lakukan.
Baca juga:
Mencintai seseorang, wabil khusus dalam pernikahan, membutuhkan usaha yang cukup berat. Katakanlah, ada pasangan menikah di umur medio 20-an, yang bila dihitung secara kasar dengan berpatokan pada angka harapan hidup di Indonesia, 73,5 tahun, pasangan tersebut akan hidup bersama selama 40 tahun jika hubungan mereka lancar dan tidak berpisah di tengah jalan. Sebagai seorang Gen Z, zoomer, or whatever you name it, aku tidak bisa membayangkan sekuat apa komitmen dan mental yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang akan berefek seumur hidup itu.
The fear of being in a mutual commitment alias takut berkomitmen membayangi banyak orang yang segenerasi denganku. Hal ini memang tidak bisa digeneralisasi, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja salah satu faktor penyebab ketidaknyamanan dan ketakutan untuk menjaga komitmen dalam waktu yang lama berawal dari semakin pendeknya attention span generasiku. Alhasil, banyak di antara kami yang ragu dan segan untuk berkomitmen melakukan suatu hal yang bakal berlangsung lama.
Lalu, bagaimana modernisasi teknologi memengaruhi ekspektasi kita tentang cinta? Menurut Jean Baudrillard, sekarang ini kita lebih banyak berinteraksi dengan apa yang disebutnya sebagai “hiperrealitas” daripada realitas itu sendiri.
Baudrillard mencontohkan film Apocalypse Now untuk menjelaskan tentang apa itu hiperrealitas. Film ini menceritakan tentang Perang Vietnam. Akting, efek khusus, latar, pengeditan, dan segala sesuatu tentang film tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga ketika menontonnya di layar, kita merasa adegan-adegannya terlihat sangat nyata. Film ini lantas terlihat lebih nyata daripada kenyataan perang yang sebenarnya sampai-sampai membungkam testimoni orang-orang yang mengalami langsung perang itu. Mungkin, contoh yang lebih dekat dengan kita adalah film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang berhasil mendoktrin banyak generasi.
Hiperrealitas awalnya merupakan salinan dari sesuatu yang nyata. Kemudian, kita mulai berinteraksi dengan yang hiperreal melebihi kenyataan. Produk-produk baru dari media pun akhirnya meniru hiperrealitas daripada kenyataan dan berujung menjadi sebuah “lingkaran salinan”. Salinan menyalin kenyataan, lalu salinan menyalin salinan, dan salinan menyalin salinan dari salinan hingga hidup kita akhirnya terarahkan untuk melihat sebuah salinan dari salinan dari salinan.
Kita kerap melihat dalam serial atau film drama romantis tentang cinta pada pandangan pertama, lalu memupuk harapan untuk mendapati perasaan magis yang sama di kehidupan nyata. Begitu juga dalam media-media lainnya, kita sering membuat character tropes, lalu malah karakter-karakter semu itulah yang kemudian membentuk hubungan nyata antarmanusia. Contoh character tropes adalah unggahan di media sosial tentang relationship goals. Orang-orang berlomba untuk memamerkan hubungan mereka dengan pasangan yang terlihat sempurna di layar gawai. Padahal, kenyataannya bisa saja berbeda.
Harapan dan kiasan ini membatasi dan membuat standar baru bahwa cinta perlu dibentuk dengan cara tertentu. Imagination dictates reality. Namun, masalahnya, harapan dan kiasan ini tidak didasarkan pada kenyataan. Inilah yang Jean Baudrillard sebut simulakra, yakni keadaan ketika dunia diambilalih oleh konstruksi kebenaran yang bersifat fiktif, citraan, dan realitas semu.
Dalam bukunya, Simulacra and Simulation (1981), Baudrillard berteori bahwa ada beberapa tahapan dalam pembentukan simulakra. Berawal dari sebuah simulasi yang meniru kenyataan, lalu simulasi tersebut membentuk realitasnya sendiri, dan berakhir pada simulakra, keadaan ketika pada akhirnya realitas awal meniru simulasinya yang telah berubah menjadi kenyataan itu sendiri. Ada sebuah anekdot yang diciptakan Zen RS dalam satu esainya yang membahas sepak bola memakai teori milik Baudrillard tersebut: “Jika pornografi dianggap lebih sensual dibandingkan seks, apakah menonton sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?”
Does the desire to be in love with someone is now more desirable than the act of loving someone itself?
Seni Mencinta
Setelah membaca paragraf-paragraf di atas, mungkin pembaca menganggap bahwa tulisan ini bernada cynical; memandang cinta dari yang buruk-buruk saja. In fact, no. Dengan menulis ini, aku justru berusaha untuk berefleksi dan mempelajari ulang tentang apa itu “cinta”. Upaya ini akhirnya membawaku kepada Erich Fromm, seorang cendekiawan Jerman yang tergabung dalam kelompok ilmuwan Mazhab Frankfurt.
Pertama-tama, apa itu cinta? Bagaimana kita mendefinisikannya? Kenikmatan indrawi, pengorbanan tanpa pamrih, atau anugerah yang menakjubkan? Fromm berpendapat bahwa cinta dimulai dari diri kita sendiri. Cinta tidak bergema dari sumber eksternal, melainkan kegiatan sukarela berupa tindakan yang datang dari dalam diri. Ketika berada dalam keadaan yang sudah terpenuhi, kita akan berusaha untuk menjangkau subjek lain guna mencapai cinta; dan dengan cara inilah kita menghubungkan diri kita dengan orang lain.
Dalam upaya kita untuk membentuk ikatan khusus, Fromm menjelaskan bahwa cinta adalah sebuah aktivitas, bukan kegiatan pasif. Kita “mencinta”, bukan “jatuh cinta”. Love is a verb, not a noun. Oleh karena itu, cinta perlu diwujudkan melalui tindakan sukarela, bukan hanya ditunggu. Mencintai bukanlah suatu kegiatan yang tidak sengaja kita lakukan, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara sadar. Itulah sebabnya seseorang yang tidak dapat “berdiri di atas kedua kakinya sendiri” tidak dapat mengemban tugas yang sangat besar, yakni mencinta.
Baca juga:
Jadi, jika menginginkan cinta, apa yang harus kita lakukan? Dalam bukunya, The Art of Loving (1956), Fromm menganggap bahwa cinta adalah seni. Untuk memahami dan menciptakan kesenian, kita perlu berlatih secara teoretis dan praktis layaknya seorang musikus yang harus terus berlatih agar menjadi musikus andal. Fromm berteori bahwa karakter aktif cinta melibatkan empat elemen dasar: kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan.
Keempat unsur tersebut sulit untuk didefinisikan secara gamblang dan bisa sangat berbeda tergantung pada subjek yang terlibat dan keadaan mereka. Apabila dilihat dari segi-segi tersebut, cinta bukan hanya suatu kerja keras, tapi juga usaha yang berharga tiada tara jika kita berhasil mencapainya.
Pada akhirnya, cinta memang perlu diupayakan semaksimal mungkin. Sebab, cinta adalah landasan dari semua belas kasih dan pengampunan. Cinta adalah dasar dari semua hal baik di dunia. Terpenting, cinta adalah satu-satunya yang kita punya.
Editor: Emma Amelia