Isu pernikahan seolah tak pernah usai dibahas. Ada konstruksi sosial bahwa manusia ideal adalah mereka yang menikah atau setidaknya memiliki tujuan hidup yang bermuara pada pernikahan. Padahal, pernikahan termasuk urusan privat. Setiap orang berhak memasuki atau tidak memasukinya.
Adanya konstruksi sosial tersebut membuat masyarakat terlanjur sinis memandang orang yang menyikapi pernikahan dengan lebih santai. Mereka yang dinilai “terlambat” menikah pun diberi stigma negatif sebagai “perawan tua” dan “bujang lapuk”, bahkan dicap menyimpang dari risalah agama ataupun norma sosial.
Lantas, bagaimana doktrin tersebut memengaruhi pilihan hidup anak muda?
Baca juga:
Tren Menikah Muda
Memilih menikah muda sah-sah saja selama orang yang menikah sanggup dan cukup kapasitas untuk berkomitmen. Di Indonesia, boleh dibilang anak mudanya gandrung dengan dunia pernikahan. Tercermin pada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sejumlah 33,3% penduduk indonesia rentang usia 19-21 tahun telah mengakhiri masa lajangnya, 26,83% menikah di usia 21-24 tahun, dan 18,02% menikah di usia 25-30 tahun. Tragisnya, sebesar 19,68 % anak muda menikah di usia 16-18 tahun dan 2,16 % anak muda lainnya menikah di usia kurang dari 15 tahun.
Padahal, batasan usia untuk menikah berdasarkan UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia adalah minimal 19 tahun. Bahkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa usia ideal untuk menikah ialah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Perbedaan batas usia pernikahan tersebut tak jarang menjadi multitafsir ketika sampai di telinga masyarakat. Perbedaan “menikah muda” dan “menikah usia anak” menjadi samar. Akhirnya, banyak pernikahan yang dilakukan secara “terselubung”, yakni hanya sah secara agama tanpa terdaftar dalam pencatatan negara. Hal ini bisa dilihat dari angka pernikahan dini (di bawah batas usia minimum pernikahan legal) di kalangan masyarakat perkotaan maupun perdesaan sama-sama tinggi.
Bukan tanpa sebab, pernikahan dini kerap dilangsungkan karena desakan ekonomi, perilaku sosial, upaya untuk menghindari zina, bahkan juga karena terlalu bucin sampai-sampai menaruh ekspektasi kebahagiaan berlebih pasca pernikahan. Serupa perlombaan, banyak anak muda yang ingin segera menyusul menikah ketika mendapati orang di sekitarnya menikah. Betapa ajaibnya daya tular pernikahan itu!
Kebebasan dan kebahagiaan pasca menikah tentu saja ada. Namun, bersamaan dengan itu, ada pula kebebasan dan kebahagiaan personal yang harus dipangkas. Usia anak menjadi golongan yang rentan menghadapi situasi konflik pasca pernikahan, baik secara biologis maupun psikologis. Hal ini mestinya diantisipasi dan dipikirkan matang-matang, serta dikampanyekan sebagai penangkal “virus” pernikahan dini.
Pernikahan yang tergesa-gesa terlalu riskan. Risiko KDRT dan perceraian bisa kapan saja terjadi. Hingga Oktober 2022, Kementerian PPPA mencatat jumlah kasus KDRT di seluruh indonesia mencapai 18.261, sebesar 79,5 % atau 16.745 korbannya adalah perempuan. Artinya, dalam hal ini, perempuan menjadi pihak paling rentan menerima kekerasan dalam rumah tangga. Mirisnya, angka-angka dari data tersebut hanyalah puncak gunung es karena ada banyak kasus yang tidak tercatat. Risiko lain yang timbul dari pernikahan yang tergesa-gesa adalah masalah keuangan karena pasangan menikah belum siap menafkahi rumah tangga sendiri yang akhirnya menimbulkan kemiskinan baru.
Konstruksi sosial terlalu bengis mendoktrin hidup perempuan akan kurang atau bahkan tidak bahagia sama sekali jika tidak menikah. Secara tidak langsung, doktrin ini mengamini dominasi laki-laki dengan memaksakan ide bahwa perempuan tak berdaya dan tak berarti jika tidak bersama laki-laki sepanjang hidupnya, juga gagal sebagai perempuan jika tidak menikah dan melahirkan. Banyak orang tua yang merasa cemas dan malu ketika anak perempuannya tak kunjung menikah di usia yang telah matang. Padahal, perempuan memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri sebagai manusia yang tidak bisa diintervensi oleh manusia mana pun.
Baca juga:
Bukan berarti mereka yang menikah layak untuk dihakimi. Pernikahan pun tak harus dipandang sebagai monster yang menakutkan. Namun, yang pasti, perempuan berhak memiliki pilihan hidup yang membuatnya merasa lebih aman, nyaman, dan damai dengan dirinya sendiri. Perempuan juga berhak atas rasa percaya diri, setara, dan merdeka pada saat melembagakan diri dalam suatu sistem yang disebut dengan pernikahan. Perempuan berhak berkembang dengan dayanya sendiri, perempuan berhak memilih, menerima, bahkan menolak. Keberdayaan perempuan itulah wujud negosiasi, bahkan deklarasi perang, terhadap konstruksi sosial yang teramat patriarkis dan telah secara bengis membelenggu perempuan.
Bagaimana bisa seorang perempuan merasa antusias untuk menikah jika cerita-cerita pernikahan di lingkungan sekitarnya penuh dengan jerit frustasi, kesakitan, monoton, dan sehari-hari dibayangi awan mendung? Stop menjanjikan utopia “hujan berwarna ungu dan senja sepanjang malam” pasca menikah dan mulailah membicarakan baik-buruk pernikahan secara realistis agar orang bisa menimbang sendiri apakah mereka benar-benar siap dan menghendaki untuk menikah.
Editor: Emma Amelia