Peneliti Sosial, Sosiolog, dan Penulis Buku Know Thyself: Seni Menguasai Seribu Identitas.

Mendekonstruksi Dunia Anna

Mohammad Maulana Iqbal

3 min read

Dunia Anna tak lebih dari pergulatan segelintir orang; mulai dari Anna itu sendiri, Jonas pacarnya, Benjamin psikiternya, dan tumpukan potongan kertas yang berisi artikel mengenai ekologi. Anna dalam novel karya Jostein Gaarder ini hanyalah seorang anak SMU yang kerap berpikir dan berdebat dengan Jonas mengenai kerusakan lingkungan. Sesekali, anak dengan cincin merah yang digadang-gadang pemberian dari Aladin itu curhat dengan psikiaternya tentang ketakutannya akan perubahan iklim, mimpi-mimpi mengenai ekologi, pemanasan global, maupun hancurnya ekosistem di Bumi.

Baca juga:

Dunia Anna dalam realitas materialistis hanyalah secuil permainan anak-anak. Mungkin ia mendirikan sebuah organisasi lingkungan, tapi tatarannya paling banter hanya di kalangan anak SMU yang berkutat pada proyek pengumpulan artikel dan mengguntingnya layaknya kliping anak sekolah. Tujuannya untuk membaca apa yang sedang terjadi di Bumi.

Namun, penulisnya yang berlatar belakang guru Filsafat ini tampaknya menginginkan dunia Anna yang tak hanya seluas kuku jari. Ia menekankan adanya dunia Anna yang lain, yang lebih luas. Sebuah “dunia ide”, jika boleh meminjam istilah Plato, atau sebuah “pikiran bawah sadar”, jika mengambil dari Freud, atau bahkan “dunia yang imajiner”, jika menukil dari Lacan. Pokoknya, dunia-dunia itu hadir secara liar, tak terbatas, menembus batas hukum-hukum ruang dan waktu yang diperolehnya ketika ia sedang tertidur lelap setiap malam.

Oleh Gaarder, kita diajak untuk menyelami dua dunia secara historis, yakni dunia Anna yang masih berumur 16 tahun dan dunia Nova, cicit Anna dalam mimpinya yang hidup ketika kondisi Bumi tak lebih dari sebuah planet yang telah mendekati ajalnya karena krisis ekologi pada tahun 2082. Apakah mimpi itu merupakan ramalan masa depan, dunia paralel, atau pintu masuk realita multiverse sebagaimana dalam film Doctor Strange in The Multiverse of Madness? Namun, perdebatan itu tidak begitu penting, yang pasti Anna hidup di dua dunia, yakni dunia kenyataan empiris dan dunia imajiner dalam mimpinya.

Dekonstruksi Dunia Anna

Jika kita membaca Dunia Anna dengan hanya mengikuti alurnya, kita akan begitu takjub, terpesona, dan tidak habis pikir dengan segala retorika Anna mengenai krisis ekologi. Sebuah problem global dipikirkan oleh seorang anak yang masih duduk di bangku SMU! Namun, saya tidak ingin terhanyut oleh pikiran-pikiran pembaca novel klasik yang demikian. Dengan meminjam gagasan dekonstruksi Derrida, seorang filsuf postmodernis, saya membaca dunia Anna dengan cara yang sedikit berbeda.

Salah satu pemikiran Anna yang cukup mengusik pembacaan saya adalah pemikiran logosentrisnya. Menurutnya, kerusakan alam di Bumi secara mutlak disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia. Dapat dilihat dalam beberapa ungkapan maupun pemikiran Anna berikut;

Saya bilang kalau saya khawatir akan perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia,” ungkap Anna pada psikiaternya ketika ditanyai mengenai kekhawatirannya. (Hal. 21)

Mereka (manusia mendatang) tidah hanya harus menemukan cara bertahan hidup di planet yang sakit akibat egoisme dan kesembronoan generasi (manusia) sebelumnya,” pikir Anna sembari mengingat-ingat mimpinya yang kala itu menjadi Nova. (Hal. 64)

Kita (manusia) menghancurkan planet kita sendiri. Kitalah yang telah melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang,” pikir Anna ketika ia sedang melunjur menggunakan ski di sebuah pegunungan. (Hal. 120)

Cara berpikir yang logosentris ini berpusat pada satu titik hingga menyisihkan keberadaan variabel-variabel lain. Lebih spesifik, apa yang dipikirkan Anna ini adalah pemikiran antroposen yang memusatkan segalanya pada manusia. Tidak hanya perihal keagungan atau kemuliaan, melainkan juga keburukan dan akar masalah; semua ada pada manusia.

Jika sedikit mengambil jarak dengan cara différance ala Derrida, yang berarti tidak hanya mengambil sudut pandang yang berbeda, melainkan juga “menangguhkan” makna awalnya. Kita dapat mendekonstruksikan pemikiran Anna ini dengan memunculkan berbagai trace atau jejak-jejak yang tidak disinggung sebelumnya.

Kerusakan ekosistem di Bumi tidak hanya terjadi karena tangan-tangan manusia saja. Ada pula faktor lain, misalnya perubahan orbit Bumi yang secara alamiah berlangsung dalam beberapa puluh ribu tahun sehingga ketika Bumi lebih dekat dengan matahari. Suhu Bumi akan semakin memanas. Kita juga bisa memunculkan trace bahwa perubahan cuaca terjadi karena suhu Matahari yang meningkat, yang berdampak pada Bumi itu sendiri.

Meskipun problem ekologi dominan dikarenakan tingkah laku manusia, bukan berarti Anna boleh dengan begitu gampangnya memarginalisasi faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan iklim di Bumi. Sekali lagi, pemikiran Anna adalah pola pikir logosentris yang menyerap konsep metafisika kehadiran ala Barat yang hanya terpaku pada satu sudut pandang saja dan mengabaikan sudut pandang lain yang lebih plural.

Bineritas: Dikotomi Argumen Anna

Konsep lain yang dikritik oleh Derrida adalah oposisi biner; hitam-putih, baik-buruk, dan lain sebagainya yang dianut oleh masyarakat modern. Pola pikir semacam ini juga memarginalisasi elemen di luar bineritas, mengategorisasi segala hal dalam dua kutup yang berlawanan, dan menolak tradisi plural dalam masyarakat. Pola pikir semacam ini bermunculan di dunia Anna. Mari perhatikan beberapa kutipan berikut;

Memang benar apa yang dikatakan para politisi dan menteri-menteri perminyakan bahwa minyak bumi telah mengentaskan banya orang dari kemiskinan. Namun, banyak juga orang-orang yang terentaskan dan lantas masuk ke dalam kemewahan yang sia-sia, sebuah penghamburan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. (Hal. 73)

Apa yang  terjadi pada habitat-habiitat tersebut tidak lain berhubungan dengan masalah ekonom. Orang-orang kaya tidak melewatkan setiap kesempatan untuk terus memperkaya diri, misalnya dengan mengeksploitasi sumber daya alam seperti minyak, batu bara, dan mineral di daerah-daerah yang rentan tersebut. Namun, kemiskinan adalah juga penyebab ekosistem dimanfaatkan dengan cara yang tidak berkelanjutan. (Hal. 164)

Memaknai suatu teks tidak harus sesuai dengan makna yang dihadirkan oleh penulisnya, bahkan dapat pula secara paradoksal, kontradiktif, atau sama sekali berbeda dengan maksud yang hendak disampaikan penulis. Makna tunggal dari penulis itu sangat otoritatif dan hanya akan membelenggu pembacaan teks sebagaimana metafisika kehadiran.

Ketika membaca Dunia Anna ini, saya tidak mempermasalahkan makna yang berusaha dihadirkan oleh Gaarder mengenai peran dan tingkah laku si kaya dan si miskin dalam perusakan alam. Namun, saya lebih menekankan mengapa penulis mendikotomi dalam sebuah oposisi biner antara si kaya dan si miskin untuk menjelaskan eksploitasi alam?

Itu adalah pikiran-pikiran hierarkis, bahkan memarginalisasi kelompok-kelompok lain di luar bineritas tersebut, misalnya kelompok menengah. Eksploitasi alam tidak hanya terkerangkeng dalam bineritas antara kaya atau miskin, melainkan juga kelas menengah yang bekerja untuk si kaya, tapi kehidupannya tidak lebih baik dari si kaya sekaligus tidak seburuk si miskin.

Baca juga:

Sekali lagi saya tekankan, Dunia Anna adalah novel yang menarik bagi para pembaca yang sekadar mengikuti arus dan menelan begitu saja alur cerita yang disajikan. Isu yang diangkat sensitif dan bertujuan menyadarkan pembaca mengenai krisis ekologi yang dialami manusia. Namun, bagi pembaca kritis, Dunia Anna memiliki titik-titik problematis. Banyak argumen, penulisan, atau pola pikir yang perlu dipertanyakan lebih lanjut kepada penulis, misalnya logosentrisme pemikiran-pemikiran karekater Anna maupun oposisi biner yang disisipkan oleh Gaarder selaku penulis.

 

Editor: Emma Amelia

Mohammad Maulana Iqbal
Mohammad Maulana Iqbal Peneliti Sosial, Sosiolog, dan Penulis Buku Know Thyself: Seni Menguasai Seribu Identitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email