Sepasang kekasih yang sudah sepakat untuk menikah, masih perlu mendapat restu dari orangtua kedua belah pihak. Karena menikah bukan sekadar urusan dua orang, melainkan dua keluarga. Hal seperti itu hanya salah satu saja persoalan yang dialami oleh Amara dan Baron dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan (2021) karya Andina Dwifatma. Novel ini merupakan karya kedua Andina, setelah Semusim, dan Semusim Lagi (2013) yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Lebih Senyap dari Bisikan bukan sekadar novel romance yang “menye-menye”. Novel ini banyak bicara tentang masalah yang dihadapi perempuan akibat ekspektasi dan nilai dalam lingkungannya, mempertanyakan kesetaraan laki-laki dan perempuan, hingga isu kesehatan mental.
Pada bab awal buku ini penulis banyak mengajukan pertanyaan yang berupa gugatan seperti; Apakah setelah menikah sepasang suami-istri harus punya anak? Apakah untuk menjadi perempuan sejati harus hamil dan punya anak? Apakah perempuan hanya sekadar mesin reproduksi? Apakah perempuan memang ditakdirkan hanya untuk mengerjakan semua urusan domestik?
Red Flag
Red Flag adalah istilah yang biasa digunakan anak sekarang untuk menggambarkan situasi yang seharusnya menjadi peringatan sejak dini bahwa ada yang salah. Dalam hubungan Amara dan Baron, red flag itu sesungguhnya sudah ada sejak awal mereka berpacaran. Sayang, tak setiap orang bisa mengenali, menyadari atau berani mengambil keputusan ketika tanda-tanda ketidakberesan itu sudah muncul sejak awal hubungan.
Amara dan Baron telah saling mengenal dan berpacaran sejak di bangku kuliah. Pada masa pacaran ini, setiap kali ada masalah Baron tiba-tiba menghilang, tanpa bisa dihubungi sama sekali. Beberapa waktu kemudian dia akan kembali menemui Amara dengan hangat, tak sedikit pun membahas tentang masalah sebelumnya.
Amara sudah hafal benar dengan perangai Baron yang seperti itu, yang sebenarnya tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Sifat itu terbawa sampai ketika mereka menikah dan berkeluarga. Saat ada masalah Baron akan menghilang, bahkan berbulan-bulan tanpa bisa dihubungi sama sekali. Dan Amara benar-benar tidak tahu Baron pergi ke mana dan sedang melakukan apa, sampai kemudian dia tiba-tiba datang tanpa membahas apa pun dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
Childfree
Di awal pernikahan Amara dan Baron sepakat untuk tidak memiliki anak, dengan berbagai pertimbangan logis. Mulai dari faktor kondisi alam yang semakin buruk, kondisi sosial yang semakin menyeramkan, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Mereka menikmati pernikahan mereka walau tanpa memiliki momongan. Bahkan mereka merasa beruntung dibandingkan teman-teman mereka yang tidak lagi bebas karena memtuskan memiliki anak.
Amara dan Baron serasa menikmati bulan madu yang panjang. Dan yang terpenting mereka merasa baik-baik saja dan bahagia. Sampai akhirnya Amara mulai merasa kesepian dan jengah dengan pertanyaan-pertanyaan kapan hamil? Kok belom isi?
Akhirnya mereka memutuskan untuk memiliki anak. Sayangnya ketika mereka mengharapkan kehadiran seorang anak, Amara tidak kunjung hamil. Sudah berbagai macam usaha mereka lakukan dan mengikuti nasihat dari orang-orang sekitarnya.
Perempuan Sejati?
Bertahun-tahun pernikahan tanpa seorang anak membuat Amara mempertanyakan dirinya sebagai perempuan. Hingga akhirnya dia menjadi stress dan putus asa. Bahkan Amara sampai merasa mungkin dirinya memang tidak pantas dan tidak layak menjadi ibu. Beruntungnya, saat ia berada di titik terendah, tanpa harapan, dan tidak lagi terbebani dengan keinginan memiliki anak, justru dia berhasil hamil tanpa disangka dan disadari.
Namun, tuntutan sebagai “perempuan sejati” tidak berhenti sampai di situ. Amara mulai khawatir apakah ia bisa melahirkan secara normal atau tidak? Saat berhasil melahirkan secara normal, tuntutan berikutnya adalah apakah ia bisa memberikan ASI pada anaknya? Agar ia benar-benar menjadi “perempuan sejati”.
Andina menggambarkan detail dan menguras emosi bagaimana perjuangan seorang ibu berada di fase antara hidup dan mati untuk melahirkan secara normal. Selesai melahirkan normal, seorang ibu harus siaga setiap 2 jam untuk memberikan susu pada bayinya. Belum lagi berbagai pekerjaan domestik lainnya, seperti membersihkan rumah. Tidak ada gambaran seperti dongeng menikah lalu hidup bahagia selamanya.
Selain Amara dan Baron, karakter-karakter lain hadir dengan keunikan pandangan yang semakin memperkaya cerita. Seperti Si Macan yang memilih tidak menikah, karena ia memiliki pandangan bahwa pernikahan sama dengan perbudakan. Juga tentang kebesaran hati seorang ibu (Ibunya Amara), yang mau menerima kembali anaknya, setelah memilih bercerai.
Novel ini memberi gambaran nyata bahwa hidup bukanlah dongeng Cinderella dan perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Melalui novelnya, Andina meiupkan keberanian bagi perempuan untuk mengambil keputusan dan berani keluar dari perangkap, apa pun risikonya.