Rumah sering dicitrakan sebagai tempat berlindung dan berpulang. Di dalamnya, tersimpan kenangan, emosi, hingga masakan kesukaan yang membawa keteduhan di hati. Namun, di balik dinding-dinding yang tampak hangat dan damai, sering tersembunyi berbagai bentuk kekerasan, terutama kekerasan simbolik yang sulit disadari. Kekerasan ini sulit untuk dideteksi. Kekerasan simbolik beroperasi secara halus, lihai, dan tak terlihat. Korbannya sering tidak menyadari bahwa mereka terjebak dalam pola kekerasan ini.
Kekerasan simbolik ini dapat menyusup melalui berbagai aspek, seperti bahasa, cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak. Wacana ini menjebak korban dengan mengatur dan mengontrol cara mereka melihat, merasakan, berpikir, dan bertindak. Dampak kekerasan simbolik bersifat halus dan tidak terasa, sehingga sulit dikenali, bahkan oleh korbannya sendiri. Dominasi ini berlangsung secara senyap melalui komunikasi dan pengetahuan.
Apa Akar Kekerasan Simbolik?
Seperti yang diungkapkan Bourdieu (1998:7), kekerasan simbolik sering kali berakar pada ketidaktahuan, pengakuan, atau perasaan korbannya. Misalnya, anak perempuan sering dilimpahkan tanggung jawab lebih untuk urusan domestik. Kegiatan seperti mencuci, menyapu, dan membersihkan rumah menjadi beban yang harus mereka tanggung, bahkan sejak usia dini. Sementara itu, anak laki-laki memiliki kesempatan bermain lebih banyak bersama kawan-kawannya.
Baca juga:
Anak perempuan, di sisi lain, biasanya diminta membantu ibu memasak atau menjaga adik kecil yang memerlukan pengawasan. Dalam situasi ini, anak perempuan tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah orang tua. Sejak dini, mereka diarahkan untuk tunduk, patuh, dan tidak membantah. Hal ini membuat mereka dilatih untuk mahir dalam mengurus rumah tangga, dengan alasan bahwa keterampilan ini adalah bekal penting untuk kehidupan berumah tangga di masa depan. Melalui pola ini, kekerasan simbolik tidak hanya mengubah cara pandang, tetapi juga membentuk identitas perempuan dalam masyarakat.
Disadari atau tidak, proses pengetahuan doktrinal seperti ini menggambarkan afirmasi kekuasaan dan pengakuan dominasi. Sungguh memprihatinkan bahwa dalam lingkaran sosial inti seperti keluarga, perempuan sering tidak mendapatkan kesempatan untuk menemukan suaranya sendiri sejak usia dini. Segala pikiran, pendapat, dan tindakan mereka dianggap tidak penting karena telah diserahkan dan diatur oleh sosok yang dianggap lebih tahu, sering kali kepala keluarga.
Kondisi ini juga berlaku pada istri, di mana tanggung jawab mengurus urusan domestik dan anak sepenuhnya menjadi beban mereka. Seolah-olah, karena istri yang melahirkan anak, maka semua tugas merawat dan membesarkan anak adalah tanggung jawabnya semata, tanpa keterlibatan suami. Nilai-nilai patriarki yang bersembunyi dengan prinsip simbolik inilah yang menimbulkan berbagai bentuk kekerasan dan sulit untuk dideteksi. Kekerasan simbolik ini bergerak dengan tipu muslihat, mengelabui korbannya sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka terperangkap dalam pola yang merugikan.
Masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa penggunaan kekuasaan, yang termanifestasi dalam cara mengatur rumah tangga dan bahasa yang digunakan, tidak pernah netral dan selalu mengandung kepentingan atau nilai tertentu. Hal ini membuat kita mudah mengadopsi skema persepsi dan apresiasi yang, tanpa disadari, merupakan struktur tatanan yang maskulin (Haryatmoko, 2010). Dengan kata lain, bahasa dan peran selalu bersifat ideologis.
Apa Akibatnya?
Pertanyaannya adalah: kepentingan siapa yang paling diuntungkan dalam sistem ini, dan siapa yang menjadi korban jika bukan perempuan? Akibatnya, pertama, konsepsi tersebut membawa dampak di mana ideologi tersebut dianggap wajar, lumrah, dan alamiah. Seorang anak perempuan tidak perlu, bahkan tidak boleh, bertanya mengapa ia harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga, padahal ia bisa bebas bermain atau belajar bersama teman-temannya.
Kedua, mitos ini didukung oleh wacana yang dikuasai oleh laki-laki, diperkuat, dilanggengkan, dan diwariskan oleh struktur sosio-budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang semakin terpinggirkan. Akibatnya, jika ada perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan tatanan dominasi yang telah ada, secara otomatis ia akan didiskualifikasi dalam norma sosial. Ini menciptakan tekanan yang kuat bagi perempuan untuk mematuhi peran yang telah ditetapkan, sekaligus menghalangi mereka untuk mengekspresikan diri dan mengejar potensi yang sebenarnya.
Dalam bukunya Kalau Perempuan Angkat Bicara (1999), Annie Leclerc menunjukkan bagaimana narasi perempuan kerap dibelenggu oleh narasi maskulin, yang menyebabkan perempuan menjadi “sang liyan”.
Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki (Annie Leclerc, 1999).
Kutipan tersebut mencerminkan hasrat mendalam akan kebebasan dan kedaulatan atas diri sendiri dari seorang perempuan yang telah lama hidup dalam bayang-bayang dominasi laki-laki. Perasaan menggebu-gebu ini menandakan keinginan untuk melepaskan diri dari belenggu yang mengikat, serta untuk menegaskan suara dan identitas mereka sendiri.
Pengalaman Nyata
Saya merasakan hal yang sama. Sebagai perempuan, saya sering kali terkurung dalam struktur keluarga Jawa patriarkis yang mengatur setiap aspek hidup saya. Pengalaman ini bukan hanya milik saya, banyak perempuan lain juga merasakannya, termasuk mereka yang tinggal di wilayah urban dan memiliki pendidikan tinggi. Mereka sering menghadapi dilema yang serupa.
Misalnya, pertanyaan mengenai kapan harus menikah menjadi beban tersendiri, sementara tekanan untuk memilih antara melanjutkan karier atau memenuhi tuntutan tradisional sebagai ibu rumah tangga terus menghantui. Tidak hanya itu, pilihan pasangan sering kali ditentukan oleh harapan keluarga dan mengabaikan keinginan pribadi. Perempuan yang memilih untuk hidup sendiri juga menghadapi stigma, seolah-olah mereka melanggar norma sosial. Bahkan dalam hal berpakaian dan bertindak, banyak yang merasa tertekan untuk mengikuti panduan yang ditetapkan oleh suara laki-laki dalam keluarga besar.
Baca juga:
Bentuk-bentuk kekerasan simbolik seperti inilah yang meresap dalam kehidupan sehari-hari, hingga ke ranah paling intim, yaitu hubungan suami istri. Dalam konteks ini, selalu ada dinamika dominasi dan subordinasi, di mana satu pihak mendominasi dan pihak lainnya didominasi. Akibatnya, suara dan wacana yang muncul tidak pernah setara; selalu ada pihak yang menguasai, sementara yang lain terpinggirkan. Hubungan dominasi ini, baik disadari maupun tidak, menciptakan kepatuhan yang mendalam. Kekerasan simbolik berfungsi sebagai pintu gerbang menuju kekerasan psikologis, yang pada gilirannya dapat berisiko mengarah pada kekerasan fisik (Haryatmoko: 2010).
Sebagai ilustrasi lain, pengalaman ini mencerminkan realitas yang banyak dialami oleh perempuan di luar sana. Saya teringat seorang teman dekat yang ingin melanjutkan program PhD di luar negeri. Ketika ia menyampaikan niatnya, keluarga dan suaminya bertanya, “Lalu siapa yang akan mengurus anak-anak? Kamu tega meninggalkan mereka tanpa ibunya?” Meskipun terdengar seperti ungkapan kekhawatiran, pernyataan ini sebenarnya mencerminkan logika dominasi yang berakar pada prinsip simbolik. Ucapan tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab mengurus anak dianggap sepenuhnya milik ibu.
Mengapa ketika perempuan menjadi ibu, cita-cita dan impian mereka sering terhambat? Sementara itu, laki-laki yang sudah berkeluarga tetap bisa melanjutkan pendidikan dan karier, bahkan memiliki kesempatan untuk mencapai hal-hal luar biasa. Kondisi ini menggambarkan bagaimana perempuan, setelah menjadi ibu, sering dikondisikan untuk patuh dan fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Identitas sebagai ibu seolah-olah membatasi ruang gerak dan aspirasi mereka, menciptakan ketidakadilan dalam pembagian tanggung jawab dan kesempatan.
Menjadi Lebih Peka
Penting untuk kita mengenali dan lebih peka terhadap bagaimana kekerasan simbolik yang bersembunyi dalam lini kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara dapat dilakukan. Pertama, melatih kesadaran diri dan mengenal diri sendiri. Luangkan waktu untuk merenungkan perilaku dan kata-kata yang kita gunakan, serta sikap orang lain. Perhatikan apakah ada hal-hal yang membuat diri sendiri merasa tidak nyaman. Jika sulit, cobalah journaling untuk membantu diri kita berefleksi dengan tenang.
Kedua, perhatikan bahasa sehari-hari. Bahasa memiliki kekuatan besar dalam menciptakan atau menghancurkan kesetaraan. Hindari ucapan yang mengandung unsur merendahkan atau stereotip seperti, “Itu tugas perempuan untuk membersihkan rumah”. Sebaliknya, nyatakan bahwa tugas rumah tangga adalah tanggung jawab kedua belah pihak, bukan hanya salah satu.
Baca juga:
Ketiga, buat pembagian kerja secara adil dengan dialog terbuka. Dialog terbuka tentang pembagian tugas dapat dilakukan berdasarkan kemampuan dan waktu, bukan berdasarkan gender. Ini akan menyeimbangkan beban dan mengurangi ketidakadilan yang sering terjadi.
Keempat, menghargai setiap kontribusi anggota keluarga sekecil apa pun. Penghargaan dan apresiasi, baik untuk pekerjaan rumah tangga maupun kontribusi finansial, patut untuk dihargai. Cobalah untuk mengucapkan terima kasih atas setiap usaha, seperti, “Terima kasih untuk makanan malam ini” atau “Terima kasih karena sudah membersihkan rumah hari ini.”
Upaya-upaya ini dapat menjadi bentuk edukasi diri bersama pasangan, sekaligus menjadi contoh bagi anak-anak di rumah. Dengan membentuk habitus saling menghargai, menghormati, dan mendukung setiap tindakan, baik yang kecil maupun yang besar, kita juga memvalidasi perasaan setiap anggota keluarga. Menjadi peka terhadap kekerasan simbolik di rumah tangga tidak memerlukan langkah-langkah besar. Sebaliknya, perubahan kecil dalam cara berpikir dan bertindak dapat menciptakan lingkungan rumah yang setara dan non-diskriminatif.
Editor: Prihandini N