Kontrasepsi, Tubuh Perempuan, dan Otoritas Simbolik

Purnawan Andra

3 min read

Pembicaraan tentang perempuan selalu tidak akan pernah habis. Berbagai aspek tentangnya menjadi bahan diskusi tak berkesudahan. Mulai dari aspek fisik, kecantikan, peranan sosial hingga bagian personal darinya, termasuk pula tentang seksualitas, reproduksi hingga alat kontrasepsinya.

Seperti halnya kita memiliki Hari Kontrasepsi Sedunia (HKS) yang diperingati setiap 26 September. Disebutkan bahwa pada dasarnya HKS merupakan cara untuk membangun keluarga sehat dan sejahtera. Tujuannya, meningkatkan pengetahuan masyarakat akan kesehatan reproduksi dan seks untuk menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi. Dengan kesadaran tersebut masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup.

Peringatan ini sendiri dimulai di Eropa tahun 2007 sebagai respon atas tingginya kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja Eropa yang mencapai angka hingga 85 persen dan cepatnya penyebaran infeksi menular seksual. HKS menjadi sebuah bentuk kampanye global yang mengedepankan isu pentingnya kontrasepsi dalam kerangka kesehatan (reproduksi) manusia.

Di Indonesia, menyebut tentang kontrasepsi maka akan selalu identik dengan perempuan, dan bukan lelaki. Hal ini tidak lepas dari fakta biologis perempuan yang membuatnya harus menjalankan hidup berdasarkan fungsi biologis, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan juga memakai alat kontrasepsi (alkon) untuk mengontrol kesuburan.

Baca juga:

Masyarakat kita beranggapan bahwa rahim menjadi penting dalam kehidupan perempuan karena perempuan akan dihargai sejauh rahimnya berfungsi. Oleh karenanya tempat di mana pembuahan berlangsung itu perlu dikendalikan. Karena yang hamil dan melahirkan adalah perempuan, maka seolah hanya perempuanlah yang wajib menjadi pengguna kontrasepsi. Itu memperkuat anggapan bahwa cukup salah satu pihak saja yang memakai alkon yaitu perempuan (Hutaminingsih, 2015).

Paham ini membentuk produksi wacana seksualitas yang timpang pada pihak perempuan yang diwajibkan menggunakan kontrasepsi. Suami menjadi pengambil keputusan alkon apa yang akan diletakkan dalam tubuh istrinya. Padahal, lelaki tidak cukup memiliki pengetahuan mengenai alkon sehingga acuh dalam setiap tahap pengalaman perempuan. Masyarakat juga melegitimasinya dengan instrumen otoritas sistem budaya dan agama yang dominan dalam membentuk konstruksi sosial. Sebagai istri yang harus mematuhi lelaki sebagai kepala keluarga, perempuan mau tidak mau menerima memakai alkon sebagai tanggung jawab. Perempuan yang menganggap dirinya subur berpikiran bahwa alkon sebagai penyelamat dari kehamilan dan anak yang tidak diinginkan.

Dominasi wacana tubuh biologis ini terjadi karena negara dan medis tidak melibatkan lelaki dalam sosialisasi alkon secara sistemis. Ini juga menunjukkan bahwa program Keluarga Berencana berpotensi bias gender. Pada saat yang sama, seturut Lestari (2022), hal ini berlangsung dengan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan simbolik terhadap tubuh perempuan tapi justru diterima sebagai sesuatu yang wajar. Konstruksi sosial tentang gender (peran dan posisi lelaki dan perempuan) ini bisa diletakkan dalam konteks analisis pendisiplinan tubuh dan kekuasaan biopower. Wacana dan relasi kekuasaan semacam ini menjadikan dominasi lelaki sebagai sesuatu yang biasa sehingga bisa diterima.

Seturut Lindsay (2009) perempuan harus belajar menegosiasikan peranan yang diajukan pada mereka, termasuk peranan perempuan sebagai pelestari tradisi dan moralitas, juga batasan yang dimunculkan oleh agama dan masyarakat, melalui pembedaan ini. Pada sisi lain mereka ditarik meneruskan kehidupan kreatif pribadinya.

Kenyataannya, pemakaian alkon kerap menimbulkan efek samping diantaranya perdarahan, tidak menstruasi, kegemukan maupun efek psikologis pada perempuan. Bahwa sebenarnya telah terjadi kesakitan-kesakitan yang tak terbicarakan akibat penggunaan kontrasepsi.

Tubuh

Kenyatan di atas menunjukkan bahwa perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Tubuh menjadi medan makna bagi kekuasaan simbolik yang diberlangsungkan melalui jejaring elemen sosio-kulturalnya.

Tubuh perempuan jadi memuat berbagai kepentingan. Ia hanya dipandang sebagai tubuh obyek semata demi kepentingan masyarakat (dan negara). Bahkan, negara melakukan intervensi hingga pada ranah privat dan menjadikannya bukan lagi milik empunya, tapi telah menjadi tubuh publik.

Haryatmoko (2016) menulis fungsi reproduksi perempuan yang pada dasarnya berada di sektor privat, yang sepatutnya diputuskan dalam lingkup keluarga, diorganisasikan oleh negara, dalam bentuk “kewajiban” pemasangan alkon. Narasi kultural hubungan suami istri dalam keluarga dan pemasangan alkon tidak lagi dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kualitas kesehatan perempuan, tetapi meluas pada kepentingan publik, dalam hal ini angka pertumbuhan penduduk yang akan mempengaruhi masalah demografi, harapan hidup, kesuburan, kesehatan, makanan hingga lapangan kerja.

Tubuh perempuan menjadi tubuh sosial di mana makna atas tubuh ditentukan oleh pihak eksternal di luar dirinya. Tubuh sosial menunjukkan berbagai makna atau definisi yang dilekatkan yaitu diantaranya baik atau buruk, bersatu dengan jiwa atau terpisah, privat atau publik, personal atau milik negara, dan pada saat yang bersamaan menjadi subyek sekaligus menjadi obyek (Synnott, 2007).

Pilihan

Padahal setiap orang memiliki hak atas otonomi tubuh dan kekuatan untuk membuat pilihan sendiri tentang tubuhnya. Menurut Maurice Merleau-Ponty, tubuh adalah subyek yang menjadi cara manusia meng-“ada” di dunia. Tubuh perempuan adalah tubuh subyek yang mempunyai pilihan untuk mampu melakukan persepsi atau proses pemaknaan atas tubuhnya sendiri.

Tapi hampir setengah dari jumlah perempuan di dunia ini belum bisa menentukan haknya. Masih banyak perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuhnya, termasuk terkait penggunaan alat kontrasepsi dan pelayanan kesehatan.

Baca juga:

Laporan SWOP 2021, yang diluncurkan BKKBN bekerja sama dengan United Nations Population Fund (UNFPA), menegaskan pentingnya otonomi tubuh sebagai sebuah hak universal untuk ditegakkan. Selain mengungkapkan betapa seriusnya berbagai kekurangan dari penegakan hak atas otonomi tubuh, laporan tersebut juga fokus pada kekuatan dan kapasitas individu untuk membuat pilihan tentang tubuh mereka tanpa rasa takut, kekerasan, ataupun paksaan (Kompas, 2/7/2021).

Maka pilihan untuk semua aspek kehidupan personalnya, seperti kebebasan untuk merencanakan dan kekuatan untuk memilih kontrasepsi penting dalam memberdayakan individu perempuan untuk mengendalikan kesehatan reproduksi mereka.

Untuk itu negara perlu mengambil kebijakan yang peka isu gender. Kelangsungan kualitas hidup dalam wujud kesehatan jasmani dan mental perempuan perlu menjadi prioritas bagi pemerintah. Terutama melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan lewat aksi konkret yang dapat mewujudkan tingkat kesehatan dan kualitas hidup perempuan yang lebih baik.

Perempuan perlu mewacanakan apa yang dipikir, dirasakan dan terjadi dengannya agar tercipta makna dan kondisi baru yang emansipatif, egaliter dan saling menyehatkan. Masyarakat (lelaki) juga perlu memaknai kesetaraan yang lebih menitikberatkan pada pengakuan atas pilihan perempuan atas tubuhnya.

Ini akan menumbuhkan daya partisipatif dalam membangun konstruksi sosial agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan. Terlebih menyangkut sisi paling privat dalam kehidupan personal manusia, yaitu tentang reproduksi. Dengannya, perempuan memiliki peran, makna dan eksistensi yang riil dalam kehidupannya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Purnawan Andra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email