Di balik narasi pembangunan dan kemajuan sosial, terdapat suara-suara perempuan yang berjuang untuk mempertahankan hak hidup dan tanah mereka. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman tubuh dan biologis perempuan sering kali dianggap tidak ilmiah dan terbelakang. Namun, di dalam tubuh mereka tersimpan berbagai bentuk penindasan dan penyingkiran yang dialami secara langsung dan berulang kali. Suara-suara ini, meskipun seringkali terabaikan, adalah cerminan dari perjuangan yang mendalam dan nyata.
Setiap cerita dari pengalaman perempuan tersebut termaktub dalam buku kumpulan esai berjudul Tidak Ada Cerita Tunggal, Esai-esai Ekofeminis Tanah Air. Buku ini menyoroti pengalaman perempuan yang menghadapi kerentanan hidup sehari-hari akibat aktivitas ekstraktif yang menyebabkan degradasi lingkungan. Narasi pembangunan yang dihadirkan tidak hanya menggambarkan kerusakan alam, tetapi juga penindasan terhadap perempuan. Melalui kisah-kisah ini, perempuan menyuarakan kegelisahan mereka tentang masa depan dan kelangsungan ekosistem yang semakin terancam.
Kerja Domestik: Beban Tak Kasat Mata
Esai pertama, ditulis oleh Indah Rahmasari, seorang ibu rumah tangga, yang menyoroti kegelisahannya tentang perasaan tidak produktif akibat rutinitas monoton dalam merawat anak dan menjalankan pekerjaan rumah tangga. Dalam konteks kapitalis, kerja domestik dan perawatan yang dilakukan perempuan sering dianggap tidak bernilai secara ekonomi dan kurang dihargai. Mereka melaksanakan tugas-tugas ini tanpa kompensasi finansial, dengan beban yang berlipat ganda, minim apresiasi, dan berada di ranah privat, sehingga dianggap tidak berpengaruh. Mereka juga tidak memiliki jaminan kesehatan fisik dan mental yang memadai, serta terpaksa bekerja dalam durasi waktu yang panjang, nyaris tanpa istirahat.
Baca juga:
Poin ini juga ditekankan oleh Silvia Federici dalam kumpulan esainya yang menggugah, Revolusi di Titik Nol: Kerja Rumah Tangga, Reproduksi, dan Perjuangan Feminis, yang disusun oleh Perempuan Lintas Batas (Peretas). Federici menjelaskan bahwa kerja rumah tangga tidak hanya menjadi beban perempuan, tetapi juga telah diubah menjadi atribut yang dianggap alami dari fisik dan kepribadian perempuan—sebuah kebutuhan internal yang konon berasal dari kedalaman karakter mereka (Federici: 2023). Akibatnya, sistem kapitalisme meyakinkan kita bahwa pekerjaan rumah tangga adalah aktivitas yang wajar, lumrah, dan alamiah. Perempuan merasa terperangkap dalam pekerjaan ini, karena secara kodratiah, mereka diyakini tak bisa lepas dari tanggung jawab tersebut. Afirmasi kekuasaan dan dominasi maskulin inilah yang membuat perempuan kehilangan identitas mereka dan kesempatan untuk menegaskan eksistensi mereka. Pekerjaan tak kasat mata yang mereka lakukan sehari-hari bersembunyi di balik dinding dominasi kekuasaan yang disebut “rumah”.
Perempuan Adat: Pengetahuan yang Dipinggirkan
Hal serupa juga dialami oleh perempuan-perempuan adat, seperti yang diuraikan oleh Yuyun Kurniasih. Mereka sering kali diposisikan sebagai objek penelitian, digambarkan sebagai perempuan yang dimiskinkan, mengalami ketidakadilan, dan membutuhkan bantuan. Sayangnya, suara mereka sebagai pemilik sejarah, pengetahuan, dan pengalaman yang berharga sering kali terabaikan. Akibatnya, mereka terus dipinggirkan dalam diskursus akademik, pembuatan kebijakan, dan upaya penyelamatan lingkungan.
Padahal, perempuan adat sejatinya adalah penjaga dan pelindung alam, di tengah rasa takut, intimidasi, dan kegelisahan dalam kehidupan sehari-hari. Ironisnya, pengetahuan mereka sering kali direduksi dan dipandang tidak relevan secara ilmiah. Tidak jarang, pengetahuan ini didiskreditkan dengan mewakilkan suara dominan maskulin, yang mengklaim legitimasi akademik atas pengetahuan tersebut. Namun, Luce Irigaray menolak pandangan ini. Filsuf dan feminis kelahiran Belgia ini berargumen bahwa perempuan harus berani menuliskan narasi mereka sendiri dan mengeksplorasi paradigma di mana pengetahuan formal sering kali mengutamakan subjektivitas laki-laki. Dalam konteks ini, kategori “subjek” cenderung mengabaikan pengalaman feminin, karena praktik bahasa telah mengukir pengalaman maskulin sebagai norma. Hal ini menciptakan sistem biner di mana kondisi untuk teorisasi maskulin berakar dari keheningan feminin.
Akibatnya, subjektivitas perempuan sering kali ditolak; mereka tidak diakui sebagai subjek dengan pandangan dan pengalaman sendiri. Sebaliknya, mereka dipandang hanya sebagai objek—bukan sebagai individu aktif dalam proses berpikir atau berteori. Konstruksi ini menghasilkan pandangan yang menyederhanakan perempuan hanya dalam satu definisi atau pemahaman. Mereka dianggap sebagai objek dalam representasi (cara mereka digambarkan), wacana (diskusi tentang mereka), dan keinginan (apa yang diinginkan orang lain terhadap mereka).
Membuka Ruang untuk Subjektivitas Perempuan
Dalam konteks narasi pembangunan, perempuan masih sering dikesampingkan. Isu pembangunan lebih fokus pada infrastruktur dan investasi besar-besaran yang diharapkan dapat mendorong roda perekonomian negara, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan umat manusia. Perempuan diperlakukan sebagai objek pembangunan; jika mereka dianggap mengganggu jalannya proyek nasional, mereka akan disingkirkan.
Baca juga:
Tania Murray Li mengungkapkan bahwa untuk menjaga ketertiban dan ketentraman, pemerintah menggunakan teknik hukuman dan ganjaran. Mereka yang menolak pembangunan bendungan, jalan tol, atau proyek besar lainnya sering dicap sebagai pengkhianat bangsa dan mengalami perlakuan kejam (Murray Li: 2021). Dalam konteks ini, perempuan masih dilihat hanya dalam tataran konseptual, tanpa melibatkan partisipasi yang berarti (meaningful participation), bahkan ketika itu menyangkut kepentingan mereka dan dampak langsung yang akan mereka hadapi akibat pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Menelusuri pengalaman dan pengetahuan perempuan dari berbagai latar belakang memberikan wawasan yang mendalam. Masih banyak cerita menggugah dari perempuan yang berjuang, meski mereka harus menghadapi beban ganda dari tanggung jawab rumah tangga dan intimidasi negara. Mereka menolak untuk tunduk pada narasi tunggal yang terus meminggirkan pengetahuan dan pengalaman mereka.
Dengan demikian, penting untuk mengakui dan mendengarkan suara perempuan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan. Hanya dengan memberikan ruang bagi subjektivitas mereka, kita dapat menciptakan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Menghargai pengalaman dan pengetahuan perempuan bukan hanya akan memperkuat posisi mereka, tetapi juga memperkaya narasi pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Editor: Prihandini N