Di Indonesia, menikah adalah peristiwa sakral. Lihat saja perayaan, kalimah sumpah, urus-urus dokumen, dan tahapan lain yang mesti dilalui seseorang ketika menikah. Keruwetan tersebut beralasan, yakni karena menikah berarti menghadirkan pemerintah, agama, dan budaya dalam satu ikatan tertentu di dalamnya. Syahdan, ketika seseorang ingin menikah, ia mesti mampu secara ekonomi dan emosional.
Konon proses yang panjang itu akan dibayar dengan kebahagiaan tak tertandingi di dunia. Saya kerap mendengar dalih ajakan ataupun nasehat pernikahan yang dikaitkan dengan sensasi kesenangan, kebahagiaan, atau perasaan afeksi setara lainnya. Menikah bahkan dimaknai sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi.
Namun, itu tidak berlaku bagi seorang istri di Kabupaten Bekasi yang pada pertengahan September tahun ini meregang nyawa dibunuh oleh suaminya. Usut punya usut kejadian kelam tersebut ternyata adalah akumulasi dari rentetan kekerasan yang selama ini menimpa mendiang. Korban tidak sendiri. Ada banyak perempuan di luar sana yang mengalami kekerasan serupa. Jauh dari perumpamaan serpihan surga tadi. Sangat jauh.
Baca juga:
Rumah Tangga dan Kekerasan
Per September tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada sekitar 18.000 kasus kekerasan. Kurang lebih 11.000 di antaranya masuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan korban perempuan berjumlah sekitar 12.000 orang. Angka ini adalah yang tertinggi dibanding kasus kekerasan lainnya. Tentunya masih banyak kasus KDRT di luar sana yang masih tertimbun dalam jumlah yang tak terbayangkan. Kekerasan dalam rumah tangga memang fenomena gunung es.
Ada banyak hal yang menjadi alasan mengapa kekerasan bisa terjadi. Riset-riset terdahulu meyakini sistem patriarki dan feodalisme menjadi pemicu kuat relasi tidak seimbang yang berujung pada kekerasan gender, salah satunya KDRT. Pemosisian laki-laki sebagai kelompok superior dibanding perempuan membuat segala kuasa dan keputusan dipegang penuh oleh mereka. Terlebih konstruksi sosial semacam itu terjadi jauh sebelum aktivitas pernikahan ditunaikan.
Pada tahap lebih lanjut, Paige Sweet dalam The Politics of Surviving: How Women Navigate Domestic Violence and Its Aftermath (2021) mengemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dicirikan oleh kekuasaan yang bersifat prosesual, dibangun di bawah bayang-bayang institusi yang berwenang, suatu jenis kekuasaan yang membelokkan realitas perempuan, tetapi tidak memberikan mereka sarana institusional untuk memahami realitas tersebut. Kekuasaan seperti ini kemudian tidak mudah untuk dibicarakan.
Hal ini bakal menjadi-jadi ketika alasan menikah berangkat dari latar belakang pemaksaan, seperti ketika korban pelecehan atau pemerkosaan terpaksa dinikahkan karena telah menjadi aib bagi keluarga.
Lalu, apakah pengetahuan yang cukup tentang ketimpangan kuasa pada pasangan akan membantu seseorang menjalani bahtera rumah tangga secara sehat? Sejauh ini, hal tersebut mungkin menjadi alternatif yang paling memungkinkan untuk menyelesaikan persoalan.
Hanya saja, sebagai perbandingan, Mas’udah (2023) menjelaskan hal sebaliknya. Dalam artikel bertajuk “Power Relations of Husbands and Wives Experiencing Domestic Violence in Dual-Career Families in Indonesia”, ia menerangkan bahwa perempuan yang memiliki kapasitas intelektual atau status akademik, ditambah telah bekerja secara profesional, bisa saja menjadi korban KDRT. Meskipun korban telah terpapar pengetahuan tentang gender, kekerasan domestik, dan sebagainya, jerat kekerasan di balik selubung kekuasaan memainkan peran besar di sini.
Baca juga:
Trauma yang Menyebar
Nahasnya, dampak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya berdampak pada korban langsung. Efeknya menyebar. Mereka yang berada di lingkungan tempat kekerasan terjadi akan turut menerima dampaknya, contohnya adalah anak.
Pengalaman pahit menyaksikan kekerasan langsung akan meresap dan kekal dalam di ingatan mereka. Di sisi lain, pola pengasuhan bakal berbeda. Ada kemungkinan anak mendapati dirinya dalam kekosongan figur asuh (fatherless atau motherless), yang seyogyanya mesti hadir dalam masa tumbuh-kembangnya. Di beberapa kasus lain, anak kerap menjadi objek luapan kekerasan sebagai konsekuensi lanjutan dari sederet bentuk KDRT.
Trauma ini bahkan berlangsung pada tataran kognisi korban. Menurut Paige Sweet, para korban KDRT yang mayoritas perempuan mengalami perubahan signifikan terhadap makna dan idealisasi mereka mengenai cinta, rumah, kasih sayang, dan keluarga. Apa yang mereka dambakan seketika runtuh. Kekerasan lantas membunuh kemampuan manusia yang paling kuat, yakni berimajinasi.
Kompleksitas KDRT seolah ingin menguji komitmen negara dalam mewujudkan aturan penghapusan KDRT yang tertuang dalam agenda dan terbit hampir dua dekade lalu. Jadi, masihkah kita berasumsi berumah tangga itu membahagiakan? Bagi sebagian orang hal itu tampak konyol. Terlalu konyol.
Editor: Prihandini N