Akhir-akhir ini beranda kita penuh sesak oleh berbagai informasi terkait kasus pembunuhan terhadap perempuan. Setiap hari kita menemukan kasus dengan isu yang sama dalam pemberitaan. Di awal September saja sudah terdapat tiga kasus. Tentunya hal ini membuat banyak orang khawatir sekaligus ngeri. Pelakunya bukan hanya orang dewasa tapi ada juga anak-anak. Kita seolah tidak percaya mereka bisa melakukan kejahatan sesadis itu. Pelaku kesemuanya adalah laki-laki dan hampir semua dari mereka punya relasi personal dengan korban.
Berdasarkan pemberitaan yang diterbitkan oleh Narasi Newsroom, sebanyak tiga kasus tersebut terjadi pada rentang tanggal 1-11 September 2024. Kasus pertama, pada hari Minggu (1/9/2024) seorang siswi di Palembang dibunuh oleh 4 orang anak laki-laki. Kasus ini menimpa AA (13 tahun) asal Palembang, Sumatera Selatan. Korban ditemukan tidak bernyawa di kompleks pemakaman umum daerah Talang Kerikil, Palembang.
Sedangkan pelakunya merupakan teman sebaya korban, diantaranya IS (16 tahun), MZ (13 tahun), NS (12 tahun), serta AS (12 tahun). Awalnya korban diajak jalan-jalan oleh pelaku. Bahkan IS sempat mengajak berhubungan badan, namun AA menolaknya. Akibat penolakan tersebut IS kemudian membekap AA yang juga dibantu oleh MZ, NS, dan AS. AA tewas akibat kejadian tersebut kemudian diperkosa secara bergantian oleh pelaku.
Kasus kedua, masih di Pulau Sumatera menimpa Gadis penjual gorengan di Padang. Kejadian ini menimpa NKS yang berumur 18 tahun pada Ahad, (8/9/2024). Dua hari sebelumnya atau tertanggal (6/9/2024) NKS dikabarkan hilang saat berjualan gorengan. Korban ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan terikat dan tanpa busana.
Tersangka pelaku pada kasus tersebut adalah Indra Septriaman (28 tahun) yang merupakan tetangga korban. Pelaku sebelumnya memang merupakan seorang residivis kasus pencabulan. Setelah kabur beberapa hari di hutan di Kenagarian Guguak, Pasar Galombang Kayu Tanam, Ia berhasil ditangkap polisi di sebuah rumah kosong (19/9/2024). Kabar terkini, MJ, paman residivis kasus pencabulan itu juga menjadi tersangka baru karena merintangi penyidikan dengan menyuruh tersangka kabur sesaat setelah jenazah NKS ditemukan.
Kasus selanjutnya merupakan KDRT yang menewaskan seorang istri SO (21 tahun). Peristiwa terjadi di daerah Ciwastra, Bandung. Berdasarkan keterangan polisi, SO tewas dengan kondisi luka tusuk di rumah kontrakannya pada Rabu (11/9/2024). Awal mula kejadian tersebut karena kekerasan yang dilakukan oleh Dani Jarjas (31 tahun).
Sebelum tewas, suami istri tersebut sempat cekcok. Dani menduga istrinya tersebut selingkuh. Pada akhirnya Dani malah menghujam pisau sebanyak 7 kali kepada istrinya dan memukuli hingga tewas. Pelaku awalnya buron selama enam hari. Pada hari Senin (16/9/2024) pelaku ditangkap polisi di sekitar Garut, Jawa Barat.
Fenomena Femisida
Uraian kasus-kasus di atas tampak dengan jelas bahwa peristiwa tersebut menimpa perempuan. Sementara itu, pelakunya adalah laki-laki. Realitas yang demikian kita tidak dapat mengelak bahwa Indonesia sedang darurat kasus femisida. Kasus tersebut haruslah menjadi perhatian bersama agar tidak terjadi lagi. Istilah femisida pertama kali dimunculkan oleh seorang feminis kenamaan asal Amerika Diana E.H. Russell tahun 70-an. Namun, meski penelitiannya banyak dilakukan pada tahun tersebut, peristiwa femisida masih bergulir hingga saat ini.
Jika ditinjau dari definisinya, komnas perempuan dalam pers rilisnya tahun 2020 menuliskan bahwa femisida menurut Diana E.H Russel merupakan sebuah pembunuhan misoginis yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. PBB juga menuliskan bahwa femisida ini memiliki banyak bentuk, antara lain pembunuhan terhadap pasangan, pembunuhan terhadap perempuan dengan tuduhan tukang sihir, honour killings, pembunuhan dalam konflik bersenjata, pembunuhan karena mahar, dan lainnya. Femisida adalah bentuk pembunuhan paling ekstrim dari kekerasan terhadap perempuan. Ini merupakan bagian dari manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
Baca Juga:
- Membuka Topeng-Topeng Patriarki
- Ketimpangan Gender di Balik Fenomena Ani-Ani
- Menyelesaikan Dilema Benar dan Salah dalam Mengkaji Gender
Selain itu, kita dapat mengamini bersama bahwa dalam setiap kasus pemerkosaan hingga femisida selalu terdapat unsur perilaku seks non-konsensual. Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan selalu nampak dengan jelas sebagai bukti nyata. Di Indonesia, tingginya kasus femisida sebenarnya tidak bisa lagi disepelekan. Menurut data Komnas Perempuan, dalam rentang 2020 hingga 2023 total terdapat kurang lebih 798 kasus dan semakin tinggi dari tahun ke tahun. Ini baru pada kasus yang tercatat. Belum lagi yang tidak terdata.
Perempuan sebagai kelompok rentan selalu menjadi korban dan berada di posisi yang tidak menguntungkan jika berkaitan dengan isu seksualitas. Perempuan seringkali dianggap objek sehingga para pelaku melakukan dengan kewajaran. Belum lagi relasi kuasa yang timpang, misal relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, sosial-budaya, hingga persoalan ekonomi yang menambah rumit hal semacam ini. Relasi kuasa juga mempunyai cengkraman yang kuat dan ikut andil dalam persoalan seksualitas bahkan femisida.
Relasi Kuasa
Di sisi lain, realitas sehari-sehari pada dasarnya memang mempunyai similaritas dengan cerita-cerita karya sastra. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam sajian di atas, ada satu cerpen yang bisa kita temui memiliki kemiripan dan dapat dibaca sebagai bentuk refleksi atas banyak kejadian belakangan ini. Hal tersebut menjadi penting sebagai bukti realitas masyarakat kita memang selalu demikian. Berbagai sajian cerita dapat kita temukan dalam antologi berjudul “Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan” (selanjutnya disingkat JPJKP).
Dalam kumpulan cerita tersebut terdapat salah satu cerita pendek yang berjudul May dan sangat menarik untuk dibahas. May adalah karakter utama dalam cerita pendek ini, yang juga menjadi judulnya. Ia bekerja sebagai ketua analis di sebuah kantor swasta yang dikuasai oleh Poses, pemilik perusahaan yang juga berasal dari keluarga Poses. Dengan posisinya yang berkuasa, Poses merasa bebas untuk bertindak seenaknya, termasuk tidak menghormati May. Saat pertemuan pertamanya dengan klien, May mengalami pelecehan fisik dari Poses yang menyentuh bagian tubuhnya. Meski merasa terganggu, May memilih diam agar tidak merusak reputasinya di awal karier.
May merasa ada rabaan di pantatnya. May terkejut. Ia menatap tajam pada Poses, atasannya. Bukannya memasang wajah malu, laki-laki itu justru tersenyum menggoda. tidak tahu malu, batin May (JPKP, 2021: 35).
Ketika membaca pembuka cerpen mungkin kita akan langsung disajikan hal yang tidak mengenakkan. Tampak pada data di atas bahwa seorang May mencoba untuk tetap bertahan ketika harus dihadapkan pada hal yang membuatnya muak. Pada cerpen ini memang ada relasi antara bawahan dan atasan pada sebuah kantor. Poses sebagai atasan selalu merasa leluasa untuk bertingkah bejat kepada May. Pada mulanya May mengira bahwa hal ini tidak akan berlanjut.
Namun, pelecehan dari Poses tidak berhenti di sana. Dengan dalih ingin melihat data klien, Poses mendatangi ruang kerja May, tetapi perilakunya tidak pantas. Ia berbicara dengan nada manja, mendekati May dengan jarak yang terlalu dekat, dan pandangannya tertuju pada May, bukan pada data yang disajikan. Ketidaknyamanan May semakin bertambah saat Poses meminta May datang ke ruangannya, tanpa ditemani siapa pun. Di sana, Poses kembali melecehkan May secara fisik. May harus berjuang keras untuk melepaskan diri dari pelukan Poses yang agresif, menyebabkan ketidaknyamanan dan trauma bagi dirinya.
May merebahkan dirinya di ranjang. Dadanya sesak sekali. Kepala May terasa semakin panas, menjalar hingga ke helai-helai rambutnya. Mata May juga perih. Lidahnya gatal dan hanya bisa lega dengan sumpah serapah. “Tidak aku tidak mau kembali ke kantor dan bertemu monster itu” (JPKP, 2021: 41).
May berencana untuk melaporkan tindakan Poses, namun rencana itu terhambat karena tidak ada bukti seperti rekaman CCTV. Bahkan jika ada, Poses memiliki kuasa untuk menghapusnya. Melaporkannya ke bagian personalia juga dianggap tidak efektif karena reputasi dan kekuasaan Poses yang begitu dominan di perusahaan. Selama ini, pencapaian May di tempat kerja sering dipandang sebelah mata, seolah kariernya hanya bergantung pada penampilan fisik atau gosip miring.
Baca juga:
Saat mengajukan pengunduran diri, May kembali menjadi korban pelecehan dari Poses, yang kali ini lebih serius hingga menyebabkan keributan yang menarik perhatian banyak orang. Alih-alih mendapatkan simpati, May malah dituduh sebagai penggoda yang mencoba merusak reputasi pimpinan, mengingat insiden itu terjadi di ruang kerja Poses.
Cerpen ini berlatar di lingkungan perkantoran yang terkesan profesional dan terdidik, namun tetap memperlihatkan kerentanan perempuan dalam relasi dengan laki-laki. Tokoh utama, May, seorang kepala analis, menjadi korban pelecehan atasannya, Poses, meskipun berada di ruang publik maupun privat. Pandangan sosial dalam cerita ini menunjukkan bahwa kompetensi perempuan sering kali diabaikan, dan mereka lebih dilihat dari aspek fisik atau rumor, seperti kecantikan atau ilmu hitam, yang membuat perempuan sulit diakui karena kemampuannya.
Cerita ini juga menyoroti ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, terutama melalui tindakan Poses yang menyalahgunakan posisinya sebagai pimpinan perusahaan. Penulis menekankan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Poses dan keluarganya memperkuat posisi dominannya, membuat perempuan seperti May sulit menuntut keadilan. Dalam cerita ini, penulis seolah ingin mengatakan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi perempuan, bahkan di lingkungan profesional
Jika kita kembali pada data kasus yang disajikan pada awal tulisan ini, similaritas pada cerpen juga menjadi jawaban bagaimana femisida dapat terjadi. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Zulaichah tahun 2022, banyak faktor terjadinya femisida mulai penempatan perempuan sebagai pihak lemah, perempuan sebagai korban dari ketidak adilan, perempuan sebagai layanan pemuas seks, hingga menganggap perempuan sebagai barang atau komoditas yang bisa diperjualbelikan, termasuk pemahaman terhadap konsesi seksual yang masih minim juga dapat menjadi faktor.
Sajian kasus di atas dan cerpen “May” mungkin hanya sebagian kecil dari realitas yang muncul ke permukaan. Selama ini masih banyak kasus yang sebenarnya tidak pernah terungkap dengan pasti dan tuntas. Ini baru untuk kasus perempuan. Saya juga bahkan membayangkan bagaimana dengan teman-teman yang punya kerentanan lebih lagi. Seperti halnya teman-teman penyandang disabilitas, LGBTQ, buruh dan kelompok dengan isu yang lebih interseksional. Mereka tentu punya kerentanan yang jauh lebih tinggi dan perlu menjadi perhatian kita, utamanya dalam fenomena kasus femisida ini. (*)
Editor: Kukuh Basuki