Dalam sebuah percakapan selepas makan siang, saya merasakan pencerahan; atau setidaknya momen itu memberi inspirasi tentang bagaimana orientasi pendidikan kita ke depan. Percakapan bermula saat saya menceritakan topik penelitian tentang pedagogi kritis.
Pendidikan seharusnya dapat memunculkan kesadaran kritis. Pendidikan juga seharusnya dapat menjadi daya ungkit kesadaran pelajar tentang realitas kehidupannya. Misalnya, kondisi yang menunjukkan ketidakadilan, ketimpangan sosial, diskriminasi, soal kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, dan akses pendidikan berkualitas yang belum merata dapat dijadikan bahan diskusi dalam pembelajaran. Sehingga setelah siswa menyadari atas permasalahan-permasalahan itu, akan terdorong untuk melakukan perubahan atas kondisi yang dihadapi itu. Konsep ini selaras dengan gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang penyerapan informasi, tetapi juga sebagai alat untuk memahami dan mengubah realitas sosial.
Baca juga:
Pengalaman saat di sekolah dasar dapat menjadi titik tolak memahami pentingnya pendidikan kritis. Kita dulu sering diminta untuk menghafal semua pelajaran untuk kemudian diujikan dengan tes pengetahuan. Pendidikan dasar kita saat ini pun kurang lebih masih mengalami kesamaan, yaitu dengan pendekatan menghafal meskipun terkadang siswa tidak memahami apa yang mereka hafalkan. Saat mengerjakan ujian, barangkali siswa masih ingat apa yang mereka hafal dan dapat menjawab semua pertanyaan karena semuanya mengacu pada apa yang sudah mereka hafalkan. Misalnya, nama-nama menteri, kepanjangan dari MPR dan DPR, dan nama-nama ibu kota provinsi.
Tidak ada buruknya memang menghafal semua informasi itu, tetapi apa maknanya bagi siswa? Apakah mengetahui informasi itu bisa menjamin siswa meraih prestasi yang gemilang dan dapat berperan dalam kehidupan di masyarakat? Pertanyaan ini sejalan dengan kritik yang disampaikan oleh John Dewey (1916) dalam Democracy and Education, bahwa pendidikan harus melatih siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah, bukan sekadar menjejali informasi.
Baca juga:
- Gaya Orba dalam Pendidikan Pasca Reformasi
- Indonesia Emas 2045, Pendidikan, dan Literasi yang Terabaikan
Saya berpandangan bahwa kebanyakan sekolah kita terlalu fokus pada menjejali informasi dan menguji pengetahuan dengan tes daripada melatih siswa untuk berpikir. Hal inilah barangkali yang membuat pendidikan kita jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Dalam konteks ini, Bloom’s Taxonomy (1956) memberikan panduan yang jelas bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis dan kreasi penting untuk diajarkan kepada siswa daripada sekadar menghafal informasi.
Ketika siswa memiliki kemampuan berpikir, mereka akan menjadi kreatif. Dengan kemampuan bahasa yang sudah dimiliki, siswa akan memaknai setiap informasi dan peristiwa dengan sudut pandang yang beragam. Kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat diperlukan untuk dapat secara kreatif menciptakan perspektif-perspektif baru dari bacaan informasi dan peristiwa yang siswa temui.
Misalnya saja, ketika siswa melihat gelas yang berisi air setengah, fakta ini dapat ditafsirkan sebagai gelas yang kosong setengah atau lebih banyak interpretasi yang lain manakala siswa memiliki kemampuan untuk berpikir. Kemampuan berpikir kritis membuat siswa bisa melihat dan memaknai fakta dari berbagai perspektif.
Siswa sulit untuk melihat secara lebih mendalam fakta itu jika cara belajar mereka hanya dengan menghafal informasi. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa pembelajaran di sekolah perlu lebih ditingkatkan lagi tidak hanya menjejali siswa dengan hafalan-hafalan yang berlebihan tetapi mengabaikan bagaimana siswa dilatih untuk berpikir.
Pembelajaran dengan metode hafalan dan juga ujian pengetahuan dengan sistem peringkat dapat berimbas pada karakter siswa dalam kehidupan. Kita sering diajari untuk adu cepat, adu pintar, pamer peringkat, lomba cerdas cermat, pengelompokkan kelas berdasarkan tingkat kepintarannya. OECD (2024) dalam laporan Education at a Glance menunjukkan bahwa pendidikan di negara-negara maju, seperti Finlandia misalnya, lebih berorientasi pada kolaborasi dibandingkan kompetisi. Hal itu akan membuat siswa menjadi lebih adaptif dan empatik.
Masih berkaitan dengan pendidikan karakter, kemampuan yang dapat ditularkan atau transferable skills adalah komponen penting dalam pendidikan yang juga perlu untuk dikembangkan. Dalam The Future of Jobs Report 2023 oleh World Economic Forum (2023), transferable skills seperti kemampuan berpikir kritis dan kerja sama menjadi sangat penting di era digital.
Pada kenyataannya, seringkali ketika siswa/mahasiswa mengerjakan tugas kelompok, hanya satu atau dua orang yang benar-benar aktif. Selain karena mungkin guru/dosen tidak tegas dalam memberikan penilaian kelompok, budaya kompetisi dalam semua tingkat pendidikan menyebabkan pelajar gagap untuk bisa bekerja sama dan sebaliknya lebih suka mengandalkan orang lain.
Oleh karena itu, penting kiranya bahwa kultur pembelajaran berpikir kritis dan penanaman nilai-nilai karakter benar-benar diterapkan dalam sistem pendidikan kita mulai dari level terbawah. Pola pembelajaran dengan hafalan dan berorientasi pada tes dan pemeringkatan tidak selayaknya diterapkan lagi dalam sistem pendidikan di Indonesia karena hal itu justru akan membentuk karakter buruk bagi generasi mendatang.
Akhirnya tidak dipungkiri bahwa sistem ujian terstandar seperti ujian nasional untuk pemeringkatan dan penerimaan siswa/mahasiswa baru di sekolah/kampus favorit memang melahirkan sekelompok lulusan yang ‘brilian’. Namun di era sekarang ‘brilian’ saja tidak cukup. Apakah lembaga pendidikan telah benar-benar mengajarkan kemampuan berpikir kritis, sikap empati dan pengembangan karakter sejak dini?
Editor: Kukuh Basuki