Peneliti di Research and Advocay in Legal Service and Expertise (RISE Institute) | Antusias berdiskusi di isu hukum khususnya hukum pidana, isu lingkungan hidup dan isu politik.

Pistol Digenggam, Nyawa Melayang

Daffa Prangsi Rakisa W.K

3 min read

Peristiwa pembunuhan yang melibatkan ‘oknum’ kepolisian terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan tentu menimbulkan kegelisahan. Peristiwa pertama, terjadi penembakan oleh Kabag Operasional Polres Solok Selatan Sumatera Barat, AKP Dadang Iskandar yang menembak rekannya yakni Kasat Reskrrim AKP Ulil Ryanto. Penembakan tersebut diduga kuat didasari motif ketidaksetujuan AKP Dadang dalam penanganan tambang ilegal galian C di Solok Selatan.

Peristiwa kedua, terjadi di penembakan yang menyebabkan tewasnya Beni di Kelapa, Bangka Barat yang melibatkan oknum Brimob Polda Bangka Belitung. Penembakan tersebut disebabkan Beni dituduh mencuri sawit.

Peristiwa ketiga, terjadi penembakan siswa SMKN 4 Semarang yang dilakukan oleh Bripka R. Dalam penembakan tersebut seorang siswa meninggal dunia dan dua di antaranya luka-luka. Klaim dari Kapolrestabes Semarang, penembakan terjadi dikarenakan adanya tawuran. Akan tetapi, sejumlah saksi justru mengatakan sebaliknya. Bahkan sudah tersebar luas cerita mengenai penghapusan jejak CCTV di sekitar lokasi.

Rentetan peristiwa tersebut penting bukan hanya untuk dipandang sebagai sebuah kejahatan pembunuhan saja, tetapi juga sebagai suatu perbuatan extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum). Hal tersebut dikarenakan anggota Kepolisian RI merupakan aparat penegak yang memang memiliki kewenangan untuk melakukan beragam tindakan pengamanan ketertibam, salah satunya termasuk kewenangan membawa senjata api untuk kepentingan tertentu.

Pertanyaannya, apakah dengan adanya rentetan peristiwa keji dan naas ini? Kepolisian kita masih berada dalam jalan yang benar untuk menjalankan kewenangannya? Atau justru berada di jalan yang salah sehingga kewenangan yang melekat padanya justru rentan disalahgunakan?

Extrajudicial Killing di Indonesia

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 hingga 2024, terdapat 35 peristiwa penembakan aparat kepolisian dengan jumlah korban tewas sebanyak 94 nyawa (YLBHI:2024).  Selanjutnya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga merilis laporan yang menyatakan bahwa sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024 telah terjadi 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Dari 645 peristiwa tersebut menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Peristiwa extrajudicial killing juga terjadi sepanjang periode tersebut dengan catatan 35 peristiwa dan menyebabkan 37 korban tewas (KontraS:2024).

Uraian data di atas bukan sebatas angka, melainkan potret suram penegakan hukum di Indonesia. Bahkan hilangnya satu nyawa pun tidak dibenarkan oleh hukum, apalagi dalam proses penegakan hukum. Potret nyata yang memperlihatkan bahwa aparat penegak hukum saja tidak memahami hukum sepenuhnya.

Baca juga:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperlakukan secara manusiawi atau merendahkan martabat, rasanya hanya sebatas deretan norma hukum yang bahkan tidak diresapi oleh aparat penegak hukum. Seolah-olah warga sipil boleh dicabut haknya seketika atas dasar penilaian subjektif, tanpa melibatkan proses hukum yang sah dan imparsial.

Kesewenang-wenangan ini semakin diperparah saat dilangsungkan proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap ‘oknum’ kepolisian, yang kemudian seolah-olah dibela oleh sesama anggotanya. Bahkan dalam peristiwa di Semarang, diduga kuat terdapat manipulasi fakta kronologis seolah-olah dibuat sebagai upaya peleraian tawuran. Kultur semacam ini tentu tidak etis dan hanya memunculkan kesan impunitas.

Di saat para ‘oknum’ kepolisian sedang sibuk menyusun langkah-langkah untuk menyelamatkan nama baik institusi dengan tidak menegakkan kebenaran dan keadilan, deretan nyawa telah hilang. Salah satunya adalah nyawa seorang anak yang katanya perlu kita jaga demi Indonesia Emas 2045. Kita tak tahu apakah akan ada nyawa-nyawa selanjutnya yang hilang tanpa adanya proses hukum yang jelas. Apakah akan ada nyawa lain yang melayang di depan moncong pistol ‘oknum’ aparat kepolisian?

Kekerasan Sistemik dan Ketidakstabilan Sosial

Dalam kerangka besar kebijakan kriminal sebagai upaya untuk mencegah serta menanggulangi kejahatan, baik melalui sarana penal (pidana) maupun non penal, peran kepolisian sangatlah penting sebagai figur sentral dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Konsekuensi logisnya adalah anggota kepolisian seharusnya menjadi figur yang paling melek hukum daripada masyarakat sipil pada umumnya.

Pemahaman akan prinsip-prinsip HAM, hak konstitusional warga negara dan jaminan pelindungan hukum. Extrajudicial killing jelas melanggar prinsip dan hak konstitusional warga negara bahkan merupakan suatu pelanggaran HAM. Tentu komitmen Kepolisian RI dalam menjalankan prinsip due process of law perlu dipertanyakan, mengingat extrajudicial killing bertolak belakang dari prinsip fundamental penegakan hukum tersebut (Bungayang Elok dan Joko Setiyono: 2023).

Perbuatan extrajudicial killing selain melanggar hak individu juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana. Keyakinan masyarakat atas mekanisme hukum yang adil dan dapat diakses oleh siapa saja tanpa memandang statusnya semakin dirusak karena tindakan sewenang-wenang tersebut.

Baca juga:

Selain itu, extrajudicial killing juga dapat memicu ketidakstabilan sosial, memperburuk siklus kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, menciptakan ketegangan politik, menunjukkan adanya proses yang tidak akuntabel, memperburuk citra lembaga penegak hukum hingga menciptakan perasaan ketakutan yang mendalam di masyarakat sipil.

Sebuah ironi mendalam dikarenakan menurut UU Kepolisian RI, keberadaan Kepolisian RI bertujuan untuk “mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Menagih Tanggung Jawab Kepolisian

Langkah selanjutnya yang sangat penting untuk kita kawal bersama adalah menuntut pertanggungjawaban pidana “oknum” kepolisian, baik dalam kasus di Solok Selatan, Bangka Barat, Semarang serta kasus-kasus lainnya. Sayangnya, meskipun peristiwa tersebut dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat, proses hukumnya selalu lamban dan terkesan rumit.

Pengaturan hukum positif Indonesia (UU Pengadilan HAM) memberikan rumusan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang sulit untuk dibuktikan karena memuat unsur “meluas atau sistematik”. Adapun kualifikasi unsur meluas atau sistematik diartikan sebagai tindakan yang dilakukan secara terorganisir dan memiliki akibat berskala besar.

Kendati demikian para oknum tersebut tetap dapat dituntut dengan dasar telah melakukan tindakan pembunuhan sebagaimana telah diatur baik itu dalam Pasal 338 KUHP, maupun ke depan melalui pengaturan Pasal 458 KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan efektif berlaku pada 2026. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menuntut pertanggungjawaban pidana kepada para oknum kepolisian tersebut. Mengingat adanya korban yang tewas, maka tidak ada alasan untuk tidak segera melanjutkan ke proses penyidikan.

Meskipun begitu perlu menjadi kesadaran bersama bahwa dibutuhkan upaya ekstra untuk mengawal proses penegakan hukum kasus-kasus di atas. Sebagaimana telah dinyatakan oleh KontraS mengenai permasalahan internal Kepolisian yang dikategorikan dalam tiga aspek yaitu; kultural (kecenderungan impunitas), instrumental (minimnya pengawasan dan akuntabilitas), dan institusional (persaingan antar lembaga dan wewenang yang semakin meluas).

Masyarakat sipil harus mengawal dengan tenaga penuh agar Kepolisian tidak melanggengkan kultur impunitas terhadap sesama anggota yang terlibat extrajudicial killing seperti yang diduga kuat terjadi dalam penanganan kasus di Semarang. Hal ini juga semakin memunculkan urgensi pembentukan lembaga investigatif independen bebas dari unsur kepolisian dalam menyidik dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi.

Revisi UU Polri yang justru dikhawatirkan memperparah aspek tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain misalnya Kejaksaan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta lembaga lainnya, juga perlu menjadi perhatian bersama. Kita berharap Revisi UU Polri dapat diarahkan bersama untuk mencegah kesewenang-wenangan Kepolisian. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Daffa Prangsi Rakisa W.K
Daffa Prangsi Rakisa W.K Peneliti di Research and Advocay in Legal Service and Expertise (RISE Institute) | Antusias berdiskusi di isu hukum khususnya hukum pidana, isu lingkungan hidup dan isu politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email