Pembuatan kebijakan yang membawa nilai kesetaraan dan inklusivitas harus memprioritaskan pemenuhan kesejahteraan dan keadilan untuk perempuan. Tidak jarang perempuan masuk menjadi kelompok yang rentan terhadap diskriminasi dan kepentingannya kerap dipinggirkan.
Marginalisasi kepentingan perempuan terjadi karena adanya distribusi kekuasaan yang tidak melalui perhitungan yang akurat dan pembuatan kebijakan yang tidak berbasis bukti atau kondisi di lapangan atau berbasis pada ilmu pengetahuan.
Chusnul Mar’iyah, akademisi dan pengurus PP Aisyiyah TB Care menyebut bahwa ada dua hal mendasar yang menjadi hak perempuan, yaitu bahagia dan sehat. Ketika perempuan sudah berada di dalam kondisi yang aman, mereka memiliki kebebasan untuk bergerak dan berkarya dan di saat itu juga perempuan akan merasa bahagia dan hidup. Ada kebanggaan dan keberanian ketika mereka bisa menciptakan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Sementara, ketika perempuan sehat, mereka akan bisa melanjutkan berkarya dan beraktivitas seperti biasanya. Perempuan akan selalu merasa perlu belajar dan pemenuhan hak untuk berpendidikan.
Nilai kesetaraan tidak hanya datang dari paham liberalisme atau sosialisme. Islam sudah memberikan penjelasan yang tertuang di dalam Surat An-nisa’ ayat 124 yang berbunyi “Dan barangsiapa mengerjakan amal kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” Makna dalam Surat An-nisa ayat 124 berasal dari Rasulullah SAW yang berusaha menjawab pertanyaan Umm Salamah. Umm Salamah bertanya mengapa Allah SWT selalu menyebut laki-laki di dalam Al-Qur’an sementara kaum perempuan tidak pernah.
Interpretasi dari Surat An-nisa’ ayat 124 adalah keberkahan yang diberikan oleh Allah SWT untuk manusia tidak berdasarkan jenis kelamin. Namun, ketika mereka memiliki keinginan murni tanpa sebuah keterpaksaan untuk menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang Allah SWT perintahkan dalam Al-Qur’an mendapatkan hadiah. Potongan arti Surah An-nisa mengatakan bahwa baik laki-laki dan perempuan yang menderita, yang percaya, yang menjalankan perintah-Nya, yang tetap konsisten dalam melakukan nilai kebenaran, yang menjalankan rukun islamnya yaitu puasa, dan yang melindungi kehormatan otoritas tubuhnya, Allah SWT pasti akan memaafkan dan memberikan balasan yang sesuai. Jawaban tersebut membuat Umm Salama menyadari pergerakan revolusioner sudah tertulis di Al-Qur’an.
Figur seperti seorang Umm Salama diperlukan kaum perempuan untuk menjadi pemimpin. Umm Salama memiliki kegigihan dalam mendapatkan jawaban untuk suatu hal yang sangat penting dan akan berpengaruh ke kaumnya sendiri yaitu perempuan. Hal ini didorong dengan bukti sejarah pada praktik yang berlangsung saat masa pra-islam. Adanya kebiasaan yang mengakar kuat terhadap pandangan nilai-nilai budaya yang meremehkan kepentingan perempuan (Mernissi, 1991). Misalnya, banyak anak banyak rezeki. Kiasan tersebut masih kerap digunakan di dalam kehidupan masyarakat. Anggapan tersebut akan menjadi suatu hal yang menyesatkan untuk sekelompok orang yang memiliki keinginan menikah di usia muda tanpa mempertimbangkan aspek yang lain yang turut mendukung dalam kehidupan berkeluarga.
Bahaya terbesar ketika pandangan ini dimiliki oleh kaum laki – laki. Jika pandangan tersebut dimiliki oleh laki-laki dan mereka menggunakan justifikasi sebagai sebuah tradisi maka perempuan besar kemungkinannya dilihat sebagai objek. Mereka akan melemahkan nilai yang dimiliki oleh perempuan. Kebebasan dalam berpikir, bertukar pikiran, dan berbicara akan terancam. Pandangan tersebut juga akan berpengaruh terhadap bagaimana sebuah keluarga dalam proses membesarkan anak. Anak akan dilihat sebagai agen investasi yang harus memberikan keuntungan yang besar. Padahal, keluarga seharusnya menjadi tempat yang mampu memberikan perlindungan utama untuk seorang anak dan pendukung dalam proses bertumbuh dan berkembang.
Aktivis Islam perempuan, Lies Marcoes Natsir, sudah memiliki banyak pengalaman dan keterlibatan dalam memperjuangkan isu kesetaraan perempuan baik di ranah domestik atau keluarga maupun dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kontribusi dan advokasi Lies Marcoes atas isu kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi rutin dilakukan dalam yayasan yang didirikannya. Yayasan tersebut merupakan Rumah Kita Bersama atau kerap dikenal sebagai Rumah KitaB. Kajian rutin yang dilakukan mendiskusikan seputar keislaman, perempuan, dan kesetaraan. Dalam kajian tersebut banyak diikuti oleh oleh ustazah, guru, dan pengasuh pondok pesantren. Dalam advokasinya, Bu Lies selalu memberikan advokasi bahwa agama menjadi media yang kerap disalah gunakan.
Dalam setiap kesempatan mengajarnya, Lies selalu mengingatkan bahwa nilai kesetaraan gender sebenarnya cukup terlambat jika kita menyadarinya ketika berusia dewasa. Karena melek terhadap kesetaraan gender harus dilakukan sejak kita duduk di kursi sekolah dasar.
Tanggung jawab dalam mempelajarinya tidak hanya dari siswanya tetapi juga pihak sekolah dan guru serta orangtua harus mengetahui pendidikan responsif gender. Sekolah seharusnya mengutamakan fokus terhadap penyusunan nilai – nilai apa saja yang akan diterapkan di dalam kurikulum yang akan berlaku di ekosistem pendidikan.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru, menunjukkan bahwa institusi pendidikan perlu melaksanakan pembekalan pendidikan responsif gender atau hal yang serupa lainnya kepada calon tenaga pendidik.
Agama kerap menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan yang terjadi pada diri perempuan. Pandangan yang masih dan akan selalu diperjuangkan oleh orang seperti Lies adalah perempuan harus memiliki dan mampu diterima di ruang publik untuk berkarya dan berdampak untuk kemajuan suatu bangsa. (*)