Film dengan judul asli Nana garapan sutradara perempuan Kamila Andini ini mengambil setting di daerah dengan budaya Sunda pada tahun 50-an hingga 60-an. Dengan meramu kondisi sosial, politik, dan budaya masyarakat Sunda di masa itu, Kamila ingin menceritakan dinamika sebuah keluarga kelas atas pemilik perkebunan yang seolah tenang, tapi penuh konflik batin di dalamnya.
Film Nana yang dirilis pada awal tahun 2022 ini pernah lolos kurasi dalam beberapa festival film dunia dan meraih beberapa penghargaan. Pada Berlin International Film Festival 2022, Laura Basuki mendapat penghargaan Silver Bear sebagai pemeran pendukung terbaik. Selanjutnya, pada Brussels International Film Festival 2022, Nana berhasil menyabet Jury Prize International Competition. Sedangkan di dalam negeri, pada ajang FFI bulan November 2022, film Nana berhasil meraih penghargaan sebagai Film Cerita Panjang Terbaik.
Baca juga:
Film dengan judul Perancis Une Femme Indonésienne ini juga telah diputar di beberapa bioskop di sana. Sebuah prestasi luar biasa karena ini pertama kalinya film Indonesia mendapat tempat istimewa di negara produsen film-film berkualitas. Beberapa kritikus film dunia juga memberikan apresiasi positif kepada film ini karena berhasil memunculkan identitas khas negara-negara Asia melalui tokoh utama seorang wanita sekaligus menggambarkan kehidupan sosial masa huru-hara politik Indonesia di sekitar tahun 65.
Before, Now, and Then merupakan film yang diambil dari bagian novel otobiografi berjudul Jais Darga Namaku karya Ahda Imran. Nana merupakan ibu dari Jais Darga yang pada film ini dipanggil Dais. Sebagai seorang ibu yang independen, Nana membentuk karakter Dais menjadi perempuan yang kuat, berani, dan mandiri. Dalam kehidupan nyata, Jais Darga adalah seorang pebisnis seni rupa di pasar internasional.
Sinopsis
Nana (Happy Salma) dibantu oleh Ningsih (Rieke Diah Pitaloka) melarikan diri dari gerombolan anti komunis. Dalam pelariannya, Nana terpisah dari ayah, suami, dan anaknya dan meyakini bahwa mereka semua telah meninggal dalam aksi pembersihan komunis tersebut. Untuk mendapatkan perlindungan sosial, akhirnya Nana menikah dengan Darga (Arswendy Bening Swara), pria paruh baya kaya raya pemilik perkebunan sayur di Bandung.
Dalam pernikahannya, Nana hidup damai dan berkecukupan secara finansial. Sebagai istri seorang yang berada, Nana melalui hari-harinya menjadi perempuan konvensional sesuai tradisi di tempat tersebut. Walaupun terkadang diterpa cemburu karena beberapa kali Darga diundang makan oleh perempuan lain, Nana cukup lihai menyembunyikan perasaannya sehingga tidak terjadi konflik dengan suaminya.
Namun, di balik kehidupan yang tenang tersebut, Nana mempunyai rahasia yang ia simpan dalam hati selama bertahun-tahun. Nana masih merindukan suami dan keluarga terdahulunya. Nana ingin menceritakan apa yang dirasakannya ini, tapi tidak tahu dengan siapa. Walaupun cukup dekat dan terbuka dengan Dais (Chempa Putri), Nana merasa bahwa anak perempuannya belum waktunya untuk mendengar rahasia ini.
Nana mendengar cerita tentang beberapa pertemuan Darga dengan Ino (Laura Basuki) dari Dais. Ino adalah seorang perempuan pedagang daging sapi yang beberapa kali mengundang Darga makan siang bersama. Bahkan, pada suatu hari, Dais minta izin untuk mengajak Ino tamasya bersama dan beberapa hari menumpang tidur di rumah. Nana tidak mempunyai kuasa untuk menolaknya.
Alih-alih bertengkar dan melampiaskan kebencian, kedatangan Ino dalam rumah tangga keluarga Darga justru membuat Nana mempunyai teman bercerita. Nana menjalin persahabatan dengan Ino. Ino, sebagai perempuan yang mandiri dan merdeka, sangat cocok dengan jiwa Nana yang sangat ingin meraih kebebasan dalam hidup dan mengejar impiannya. Hal yang sangat sulit terwujud dalam kungkungan masyarakat patriarkis.
Saking dekatnya persahabatan mereka, Nana sering menjadikan Ino sebagai tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Bersama Ino, Nana merasa bebas. Ia akhirnya menceritakan tentang kerinduannya pada suami pertamanya yang menghilang dalam konflik horizontal masyarakat Sunda beberapa tahun sebelumnya.
Hingga pada suatu saat, Nana kembali bertemu dengan Icang (Ibnu Jamil), suami pertamanya yang selama ini tidak diketahui hidup atau mati. Dari perjumpaan itu, Nana seolah semakin dekat dengan impiannya untuk kembali kepada Icang. Namun hal itu sangatlah sulit karena status Nana masih sebagai istri sah Darga.
Lambat laun, Darga mengetahui apa yang sedang terjadi pada istrinya. Nana, yang pada awalnya menutupi hal itu, akhirnya memberanikan diri untuk jujur dengan apa yang dialaminya. Keadaan tersebut membuat Darga berpikir bahwa tidak ada gunanya mempertahankan pernikahannya dengan Nana. Dengan berat hati, Darga menceraikan Nana, istrinya yang sebenarnya masih dicintainya tersebut.
Izin berpisah dari Darga tidak serta merta menjadi jalan yang mudah bagi Nana untuk begitu saja meninggalkan rumah tangga itu. Ia harus merelakan berpisah dengan anak-anak yang sangat dicintainya, termasuk Dais.
Baca juga:
Lokalitas dan Realitas
Film Nana: Before, Now, and Then memberi pengalaman baru yang menyegarkan bagi penonton film-film Indonesia. Saat film indonesia lainnya asyik dengan konflik antara tokoh baik dan tokoh buruk, dalam film ini, hal itu tidak jelas terlihat. Tidak ada hitam-putih yang kontras dan jauh berseberangan. Setiap tokoh mempunyai sisi baik dan sisi buruknya masing-masing. Konflik juga dibangun secara halus tanpa meledak-ledak penuh emosi. Hal itu membuat film ini menggambarkan kehidupan masyarakat seperti apa adanya, tanpa didramatisir.
Suasana tempo dulu juga berhasil dihidupkan dalam film ini melalui lagu-lagu rekaman lawas seperti Djaleuleudja dari band Nada Kentjana, Di Wajahmu Kulihat Bulan karya Mochtar Embut, dan Sabda Alam karya Ismail Marzuki. Ricky Lionardy berhasil meramu musik yang bisa membangkitkan suatu nuansa sekaligus memperkuat karakter Nana dan tokoh-tokoh lainnya dalam film ini.
Unsur lain yang menjadi nilai lebih adalah lokalitas. Budaya Sunda yang sangat kental dalam film ini dibangun dari dialog yang semuanya menggunakan bahasa Sunda. Unsur-unsur lainnya yang menggambarkan lokalitas Sunda adalah musik siter suling Sunda dan tari-tarian Sunda. Hal ini merupakan tren positif film Indonesia yang mulai berani mengangkat lokalitas sebagai menu utama, bukan sekadar selipan pelengkap ataupun pemanis sebuah cerita.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Nana: Lokalitas dan Realitas yang Menembus Batas-Batas Patriarki”