Sustainability and Circular Economy Enthusiast

Mobil Listrik di Panggung Politik 2024

hafidz arfandi

4 min read

Dalam pidatonya di hadapan Relawan Amanat Indonesia, calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, mengkritik kebijakan subsidi mobil listrik. Anies beralasan emisi karbon mobil listrik lebih tinggi dari emisi bus konvensional. Calon pembeli mobil listrik juga tidak membutuhkan subsidi dan tidak akan mengurangi kepemilikan mobil konvensional mereka. Dengan kata lain, mobil listrik bukan mengganti, tetapi hanya menambah koleksi kendaraan pribadi yang sudah ada saja.

Baca juga:

Pernyataan tersebut berbuah perdebatan hangat. Respons di kalangan pemerintah dilontarkan oleh Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, dan Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita. Keduanya menuding Anies tidak memahami konsep ekosistem mobil listrik dan pentingnya transisi energi.

Ekosistem Transisi

Mobil listrik sebagai bagian dari upaya transisi energi perlu dipahami dan didiskusikan lebih hati-hati karena dua aspek fundamental yang melekat di dalamnya.

Pertama, transisi energi butuh sumber daya yang besar untuk bisa fokus pada jalur transisi yang akan ditetapkan. Alhasil, ketika sumber daya yang terbatas, harus ada trade off. Artinya, setiap pilihan yang dibuat mesti dibarengi dengan mengorbankan pilihan lain.

Kedua, setiap pilihan memiliki risiko dan tantangan, serta membuka peluang baru. Transisi energi akan membentuk ekosistem baru sehingga pilihan apa pun yang diambil akan menghasilkan multiplier effect yang signifikan, terutama menyangkut rantai pasok dan serapan tenaga kerja di sektor terbarukan (green job). 

Sementara itu, risiko yang paling vital adalah kapasitas finansial negara dalam membiayai transisi. Biasanya, proses transisi berjalan bersamaan dengan insentif untuk mendorong perubahan perilaku semula. Padahal, beban antara memastikan operasi eksisting dengan proyek rintisan tetap harus ditanggung dalam waktu bersamaan. Pengaturan pendanaan transisi energi yang tak tepat bisa berujung fatal.

Perubahan dan perkembangan teknologi adalah tantangan dalam melakukan transisi energi. Riset tentang energi terbarukan masih terus berjalan. Ada baiknya momentum transisi yang tepat dan rasional secara ekonomis diperhitungkan benar-benar. Untuk itu, dasar pertimbangan mestinya adalah penguasaan teknologi, serta intensifikasi pembiayaan riset dan inovasi, bukan sekadar ikut-ikut tren global.

Pentingnya Mobil Listrik

Gaikindo mencatat ada 1,04 juta unit mobil baru yang tersebar di pasar pada 2022. Proporsi mobil listrik baru mencapai 15,8 ribu saja, sisanya konvensional.

Tingginya produksi dan pembelian mobil di Indonesia adalah bagian dari ekosistem pembangunan nasional. Ekosistem itu terdiri atas keterbatasan transportasi publik di perkotaan, konsep pembangunan perkotaan yang sentralistik sehingga yang menyebabkan mobilitas intensif komuter, serta fasilitasi pemerintah dengan pembangunan infrastruktur mobilitas yang bersifat privat seperti jalan tol.

Kementerian ESDM dalam Inventarisasi Emisi GRK bidang energi menyebutkan sektor transportasi menyumbang emisi karbon sebesar 157 ribu Gg CO2e pada 2019 dengan rata-rata peningkatan 7,17% per tahun, menempati posisi terbesar dengan proporsi 24,64%. Ini berasal dari konsumsi energi sebesar 415 juta Boe dengan peningkatan rata-rata 8,32%.

Di sisi lain, konsumsi BBM di sektor transportasi juga menambah beban pemerintah dalam subsidi BBM. Hingga saat ini, pemerintah masih berfokus pada subsidi berbasis komoditas dengan standar kuota yang fleksibel, bukan mendorong ekosistem pasar yang kompetitif di sektor hilir migas maupun mengalihkan skema subsidi ke orang yang berhak.

Di tengah situasi itu, mobil listrik diharapkan dapat menjadi game changer. Pertama, mobil listrik akan menurunkan konsumsi BBM. Kedua, semakin banyak mobil listrik yang hadir ke pasar, akan berdampak besar pada permintaan listrik yang lebih berimbang. Pengisian daya mobil listrik di malam hari akan meningkatkan konsumsi listrik dan menyeimbangkan supply and demand listrik sehingga gap beban puncak dan luar beban puncak berkurang; dampaknya jelas menyehatkan PLN. Ketiga, munculnya mobil listrik akan mendorong lahirnya peluang baru tenaga kerja, terutama teknisi.

Namun, mobil listrik hanya akan benar-benar membentuk ekosistem yang ideal ketika didayagunakan secara masif. Dengan begitu, peralihan ke mobil listrik akan dapat mendorong ekosistem pasar yang efisien dan rasional.

Skema Pembiayaan Subsidi

Kritik Anies yang membandingkan subsidi mobil listrik dan pembenahan transportasi publik ada benarnya, jika orientasi subsidi itu berbasis cash atau keluar dari kas negara. Sebab, uang yang sama bisa digunakan untuk membiayai hal lain, termasuk transportasi publik.

Akan tetapi, kritik itu salah sasaran apabila arahnya adalah subsidi berbasis tax credit dengan cara penghapusan, pengurangan, atau pengembalian pajak. Dalam konsep tax credit, uangnya secara riil tidak ada. Potensi uang itu dibangun melalui kebijakan subsidi non budgeter yang ditawarkan ke konsumen dengan iming-iming pajaknya nanti bisa dikreditkan. Nilainya juga linear dengan respons pasar. Artinya, kalaupun tidak diterapkan, uangnya juga tidak ada sehingga tidak mungkin dialihkan.

Pada 29 Maret lalu, Kementerian Keuangan mengeluarkan Permenkeu No. 38 Tahun 2023 yang berisi pembebasan PPN 10% untuk mobil dan bus listrik dengan TKDN minimal 40%, serta pembebasan 5% untuk jenis bus dengan TKDN 20 hingga 40%.

Kebijakan ini sama seperti PPn yang dikembalikan (VAT refund) di sektor pariwisata. Kalau tidak ada insentif, maka penjualan komoditas rendah. Namun, setelah insentif pembeliannya meningkat, PPn bisa di-reimburse. Alhasil, meskipun pemerintah tidak mendapat potensi pajak, pemerintah dapat mendorong multiplier effect pada perputaran devisa dan ekonomi lokal dari pariwisata.

Persoalan Mendasar

Upaya mendorong mobil listrik memang menjadi bagian dari dekarbonisasi di sektor transportasi. Namun, penerapannya mesti dengan memperhatikan beberapa pertimbangan serius.

Pertama, Dalam konteks supply sumber energi primernya. Peningkatan konsumsi listrik ketika densitas batubara di pembangkit listrik masih menjadi prioritas tanpa insentif pembentukan ekosistem energi terbarukan berarti transisi mobil listrik bukan berorientasi emisi, tetapi lebih pada penyelamatan PLN dan pengurangan konsumsi kuota BBM. Hal ini karena sumber energi listriknya masih berbasis energi kotor yang bertanggung jawab pada tingginya intensitas emisi.

Kedua, seberapa besar penguasaan teknologi mobil listrik sehingga produk mobil listrik dipastikan bisa diproduksi secara domestik dengan tingkat TKDN yang tinggi. Minimalnya, produksi domestik itu mendekati atau setara dengan TKDN mobil konvensional yang mencapai 70-80%. Pendekatan regulasi yang memberikan afirmasi pada TKDN 40% atau lebih perlu dilakukan dengan durasi waktu terbatas dan mendorong peningkatan berkala setiap tahunnya.

Ketiga, pembiayaan riset untuk inovasi teknologi baterai. Biaya terbesar mobil listrik ada pada baterainya—diperkirakan hingga 40-50% dari total biaya. Kualitas dan durabilitas baterai menentukan nilai ekonomi mobil listrik yang perlu menjadi perhatian dalam upaya perlindungan konsumen. Perkembangan teknologi baterai sedang terus tumbuh dan memengaruhi harga mobil listrik dengan tren menurun. Momen ini harus diimbangi dengan riset-riset untuk memastikan jenis baterai yang dipakai merupakan jenis terbaik sehingga konsumen tidak dirugikan.

Keempat, edukasi publik tentang perbedaan mobil listrik dan mobil BBM, terutama dalam hal perawatan.Kajian-kajian terbaru menyebut mobil listrik lebih tepat ditempatkan sebagai mobil berdaya jangkau pendek dan menengah dengan pemakaiannya intensif. Mobil listrik tidak pas untuk pemakaian jarak jauh dan pemakaian jarang karena performa baterai perlu dijaga dengan siklus charging yang tepat

Baca juga:

Selain itu, pemerintah harus responsif dengan ragam jenis mobil, mulai dari mobil listrik, mobil hybrid, hingga peluang pengembangan mobil berbasis hydrogen fuel cell. Insentif harus diberikan secara adil agar transisi di sektor transportasi sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan masing-masing konsumen secara tepat.

Orasi Anies telah membuka perdebatan tentang mobil listrik dan transisi energi ke panggung politik 2024. Namun, apakah perdebatan di isu ini hanya akan selesai dengan adu kritik dalam pidato saja atau akan ada adu konsep teknokratik yang lebih komprehensif?

 

Editor: Emma Amelia

hafidz arfandi
hafidz arfandi Sustainability and Circular Economy Enthusiast

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email