Mungkin kita masih mengingat latihan calistung yang khas dalam ingatan: ibu memasak dan bapak membaca koran. Mungkin sampai saat ini pola kalimat seperti itu masih dilestarikan dalam sejumlah mata pelajaran di Sekolah Dasar. Pengulangan-pengulangan kalimat ini dipatenkan dalam pikiran anak-anak yang nantinya akan membentuk imajinasi mengenai peran-peran gender. Apalagi dengan adanya pengetahuan bahwa perempuan di sekolah lebih cocok menjadi sekretaris kelas, sedangkan laki-laki lebih cocok menjadi ketua kelas. Hal ini menjadi contoh kecil bagaimana konstruksi pengetahuan mengenai gender merupakan bentuk pengetahuan dominan yang sengaja dilestarikan dengan menempatkan laki-laki sebagai “penggembala”, sedangkan perempuan adalah “domba-dombanya”.
Dengan penempatan yang timpang itu, laki-laki merasa sebagai ras superior untuk memiliki kendali atas perempuan. Perempuan memiliki kerentanan yang lebih dominan dalam relasinya dengan laki-laki, termasuk hubungan sebagai kekasih ataupun suami-istri. Dalam catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2004-2021 terdapat 544.452 kasus KDRT yang didominasi oleh kasus KTI (Kekerasan Terhadap Istri). KDRT hanya menjadi satu faktor dari tingkat perceraian yang meningkat 53,50% dari tahun 2020 di Indonesia. Terdapat beberapa faktor lain, tidak terkecuali konflik peran dalam keluarga.
Konflik peran dapat dipahami sebagai konflik yang didasarkan pada ketidaksesuaian kenyataan dengan peran yang diharapkan. Banyak perselisihan yang disebabkan karena laki-laki yang menganggur, sedangkan perempuan sibuk bekerja di sektor publik. Cuitan dari seseorang di Twitter menunjukkan keresahannya sebagai anak perempuan yang melihat ibunya sibuk bekerja, sedangkan bapaknya menganggur di rumah. Bahkan ibunya juga harus menanggung beban ganda dengan mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan sektor domestik, seperti memasak atau mencuci. Ketidakwajaran seorang laki-laki yang berada di rumah adalah konsekuensi dari terpatrinya sistem pengetahuan ideal tentang peran gender, yakni laki-laki yang ditakdirkan untuk mencari nafkah atau bekerja di sektor publik.
Pembagian kerja ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Masyarakat pada jaman mesolitikum hidup berpindah-pindah dengan sistem kerja yang dibagi berdasarkan gendernya. Laki-laki menggunakan kapak genggam dan panah untuk berburu, sedangkan perempuan mendekam di rumah untuk meramu. Struktur ideal ini digoyangkan oleh pemahaman feminisme modern yang memiliki tujuan untuk memberikan ruang yang memadai bagi terciptanya keadilan bagi perempuan di ruang publik. Meskipun pada awalnya hanya perempuan borjuis yang memiliki hak untuk tampil di ruang publik, lambat laun mobilisasi perempuan di sektor publik mulai dinormalisasi.
Pengaruh dari wacana feminisme memberikan perempuan sejumlah pilihan. Dalam konteks rumah tangga, perempuan yang bekerja di sektor publik telah dianggap sebagai sesuatu yang normal dalam masyarakat. Ketika perempuan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, pun terjadi pewajaran. Sebab kita menilai bahwa perempuan yang bekerja di sektor domestik merupakan pilihan individual. Namun, apakah seorang suami yang berada di rumah karena tidak bekerja di sektor publik akan masuk dalam kualifikasi pemakluman kita?
Baca juga: Sudahkah Kita Menjadi Muslimah Reformis?
Perihal Kerja
Marx mengartikan kerja sebagai proses eksistensial yang mampu membuat manusia merasa “ada” melalui pekerjaannya. Namun kapitalisme mengonstruksi tatanan yang ideal mengenai kerja, yaitu sebagai proses yang menghasilkan material fisik (ekonomi). Banyak manusia yang mendasarkan pekerjaannya sebagai bagian dari upaya untuk mencari uang dengan mereduksi kebahagiaannya. Manusia mendambakan hari libur dan menganggap pekerjaan sebagai aktivitas yang melelahkan. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai “alienasi” atau keterasingan manusia dari pekerjaannya.
Manusia tidak memaknai proses bekerja sebagai upaya untuk mengada, namun orientasi ekonomilah yang membuatnya bekerja. Segala sesuatu yang tidak menghasilkan materi akan dianggap bukan bekerja. Di sini akan muncul konsep lain mengenai produktivitas yang dimaknai sebagai kesibukan dari orang-orang modern—sibuk bekerja untuk mencari uang. Logika kerja telah dikodifikasikan ke arah proses yang menghasilkan sesuatu yang bersifat materi. Logika ini yang menempatkan jenis-jenis pekerjaan secara biner. Pekerjaan di sektor domestik dianggap lebih rendah dan tidak produktif karena tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat materi. Pada kenyataannya, pekerjaan domestik menjadi pekerjaan substansial yang memegang peranan yang cukup penting dalam rumah tangga.
Baca juga: Hierarki Pekerjaan dan Gengsi Sosial
Maskulinitas yang Superior
Ada beberapa hal yang mendasari perselisihan dalam rumah tangga: seorang suami yang merasa rendah diri terhadap karir istrinya; beban mental pada laki-laki yang kesulitan mendapatkan pekerjaan; beban ganda pada perempuan yang bekerja di sektor publik; perasaan maskulinitas superior pada suami semata-mata karena dia laki-laki, terlepas dari bekerja atau tidak bekerja di sektor publik. Pengetahuan yang mengharuskan laki-laki sebagai “nahkoda rumah tangga” dijadikan sebagai norma dan ukuran sehingga pengetahuan tersebut menjadi otoriter.
Dalam tradisi idealis, pemaknaan secara penuh menjadi keharusan dengan tujuan untuk mencapai pengetahuan yang mutlak. Kemutlakan ini nantinya dijadikan sebagai standar ideal yang memaksa individu untuk mematuhi ukuran-ukuran tersebut. Dalam hal ini, maskulinitas seorang suami diukur dari bagaimana dia memimpin dan menguasai segala aspek dalam rumah tangga, termasuk mencari nafkah, mengambil keputusan, dan menentukan tujuan-tujuan. Di tengah-tengah keadaan di mana wacana feminisme dan emansipasi memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di sektor publik sekaligus budaya patriarki yang mengakar telah memberikan tekanan-tekanan yang tidak diinginkan.
Tekanan-tekanan ini datang dari dua sisi: pandangan perempuan dan/atau laki-laki yang memandang bahwa kodrat laki-laki adalah bekerja untuk pemenuhan nafkah lahir, dan tekanan maskulin yang berasal dari sisa-sisa patriarkisme yang mengakar sebagai habitus. Laki-laki yang tidak bekerja berada di antara kedua tekanan ini. Sebagai konsekuensinya, laki-laki tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk bekerja di sektor domestik akibat pemaksaan maskulinitas yang superior. Selain itu, laki-laki juga merasa enggan untuk mempekerjakan dirinya untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan sektor domestik. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan semu, bahwa pekerjaan domestik sepantasnya dikerjakan oleh perempuan.
Implikasinya akan muncul perselisihan dalam rumah tangga akibat beban ganda yang dialami oleh perempuan. Selain bekerja di sektor publik, perempuan jugalah yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kerja domestik. Sedangkan laki-lakinya enggan mengerjakan pekerjaan tersebut. Sementara itu, maskulinitas seorang suami juga terganggu karena mendapati kenyataan bahwa istrinyalah yang memegang peran sebagai pencari nafkah tunggal. Istri juga berharap agar suaminya segera mendapatkan pekerjaan yang mapan agar rumah tangga mereka tidak dikacaukan oleh konflik peran. Padahal masalahnya yang paling utama adalah kekacauan pikiran akibat pakem yang telah lama dilestarikan.
Perlu adanya dekonstruksi sebagai upaya untuk membongkar pemahaman normatif yang menyembunyikan hubungan dominasi ini. Ketika perempuan yang bekerja di sektor domestik dikatakan sebagai pilihan bebas, mengapa laki-laki yang mengerjakan hal yang serupa tidak dianggap demikian?