Penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta jiwa atau sekitar lima persen dari penduduk Indonesia. Tapi hak mereka masih terus diabaikan dan suara mereka tak pernah benar-benar didengar.
“Rata-rata acara bertema disabilitas di Indonesia sebatas pameran seni, pentas musik sendratari, atau paralimpiade atau lomba olahraga. Orang-orangnya bebas menikmati, enggak perlu tahu soal konteks disabilitasnya.”
Kalimat ini tercetus oleh salah satu teman saya pada pada sebuah sore. Kami saat itu sedang berdiskusi bersama teman-teman di Pemuda Autisme Indonesia, sebuah kelompok advokasi autisme yang diusung oleh teman-teman yang didiagnosis dengan spektrum autisme. Pernyataannya sebatas celetukan, bukannya data statistik. Akan tetapi, kita bisa melihat secara kasat mata bahwa Indonesia memang masih belum melek disabilitas. Padahal, jumlah penyandang disabilitas berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 diperkirakan mencapai 22,5 juta jiwa—sekitar lima persen dari penduduk Indonesia.
Hingga saat ini, stigma terhadap penyandang disabilitas masih cukup banyak ditemukan. Penyandang disabilitas masih kerap menghadapi berbagai jenis diskriminasi berdasarkan disabilitas mereka. Bentuknya mulai dari diskriminasi yang dilakukan perseorangan hingga diskriminasi yang dilakukan oleh institusi. Lebih jauh lagi, mereka rawan menerima perilaku kekerasan oleh pihak pengasuh atau tenaga kesehatan yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk merawat mereka, seperti misalnya kasus pemasungan yang masih banyak ditemukan. Prasangka-prasangka negatif mengenai disabilitas, yang juga biasa disebut ableisme, berkembang seiring dengan kurangnya kesadaran mengenai disabilitas.
Stigma terhadap penyandang disabilitas berangkat dari tingkat struktural. Sulit bagi masyarakat Indonesia untuk melek terhadap isu disabilitas ketika struktur yang ada tidak memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk beraktivitas dan berinteraksi. Roy Thaniago pernah membahas dalam artikelnya di Remotivi mengenai bagaimana ruang-ruang publik di Indonesia pada saat ini belum memungkinkan adanya ruang bagi penyandang disabilitas untuk bertemu dengan masyarakat luas.
Saat ini, pemerintah telah mengatur penegakan hak-hak penyandang disabilitas di dalam masyarakat dalam Undang-Undang Disabilitas Nomor. 18 Tahun 2016. Akan tetapi, pada praktiknya, penegakan hukum masih lemah. Kebijakan-kebijakan lain pemerintah, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, banyak mencederai identitas diri serta hak penyandang disabilitas dalam lingkungan kerja.
Oleh karena itu, masyarakat tidak terpapar dengan realita kompleks yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, sehingga mereka memiliki gambaran yang sempit, jika tidak bisa dibilang tidak akurat, terhadap realitas disabilitas.
Tidaklah mengherankan penyandang disabilitas direduksi sebagai objek dalam struktur yang mereduksi realitas disabilitas. Banyak yang memandang penyandang disabilitas sebagai sosok yang tidak berdaya dikarenakan mereka memiliki kondisi tubuh yang kurang sempurna jika dibandingkan dengan standar normal. Mereka ditempatkan sebagai objek yang perlu dibantu oleh mereka yang “normal” dan lebih berdaya.
Di sisi lain, penyandang-penyandang disabilitas yang dipandang sukses dipandang sebagai obyek inspirasi. Mereka dianggap menginspirasi karena berhasil melampaui disabilitas yang dianggap membuat mereka tidak berdaya. Aktivis disabilitas Stella Young menyebutnya sebagai inspiration porn.
Kedua pandangan di atas bertolak dari asumsi-asumsi yang melihat disabilitas sebagai keadaan yang disebabkan adanya kecacatan pada kondisi biologis seseorang. Asumsi ini sejalan dengan model medis disabilitas, yang menjadikan disabilitas sebagai urusan medis. Fokusnya pada tubuh seseorang menafikan realitas disabilitas yang tidak terlepas dari konteksnya berada. Tanpa pemahaman yang akurat atas disabilitas serta konteks masyarakatnya, pemahaman terhadap disabilitas tidaklah utuh.
Realitas Hidup yang Kompleks
Realitas hidup disabilitas tidaklah tunggal. Terdapat berbagai jenis disabilitas dengan karakteristik yang bervariasi. Penyandang disabilitas tidak melulu menggunakan kursi roda atau alat bantu jalan, juga tidak hanya mereka dengan perbedaan fungsi indera seperti teman tunanetra dan tuli. Undang-Undang Disabilitas Nomor 18 Tahun 2016 menjabarkan bahwa ada lima kategori disabilitas, sebagaimana berikut ini.
- Disabilitas fisik. Penyandang disabilitas fisik mengalami keterbatasan yang berhubungan dengan fungsi anggota tubuh. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari bawaan lahir, kecelakaan, atau penyakit. Contohnya antara lain adalah kelumpuhan, paraplegi, cerebral palsy, stroke, dan kusta.
- Disabilitas sensorik. Penyandang disabilitas sensorik mengalami keterbatasan yang berhubungan dengan setidaknya salah satu fungsi panca inderanya. Contohnya antara lain adalah disabilitas netra, tuli, atau rungu-wicara.
- Disabilitas intelektual. Penyandang disabilitas intelektual mengalami keterbatasan yang berhubungan dengan fungsi intelektual serta perilaku adaptif. Contohnya antara lain adalah Down syndrome, Sindrom X Rapuh, dan Sindrom Prader-Willi.
- Disabilitas mental. Penyandang disabilitas mental didiagnosis memiliki perbedaan perkembangan mental sehingga menyebabkan keterbatasan yang berhubungan dengan fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Contohnya antara lain bipolar, skizofrenia, depresi, ADHD, dan autisme.
- Disabilitas ganda. Penyandang disabilitas ganda memiliki lebih dari satu ragam disabilitas.
Jenis disabilitas beragam, maka realitas hidup disabilitas beragam. Realitas hidup disabilitas juga tidak bisa dilepaskan dari konteks di dalam masyarakat. Faktor-faktor yang berada di lingkungan sekitar membatasi penyandang disabilitas dalam beraktivitas dan berfungsi sehari-hari. Penyandang disabilitas memiliki perbedaan kebutuhan dengan masyarakat pada umumnya dikarenakan kondisi diri mereka yang berbeda. Kurangnya akomodasi yang memadai serta sikap-sikap negatif terhadap penyandang disabilitas menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam beraktivitas serta berpartisipasi di dalam masyarakat.
Sebagai contoh, para penyandang disabilitas netra memang memiliki keterbatasan pengelihatan, tetapi yang menyebabkan mereka kesulitan dalam menjalani pendidikan adalah kurangnya akomodasi. Teman-teman tuli memang tidak bisa mendengar, tetapi yang menyebabkan mereka tidak bisa berkomunikasi dengan teman dengar adalah perbedaan cara berkomunikasi antara teman dengar dengan teman tuli. Teman-teman autistik non-wicara memang tidak bisa menggunakan lisan untuk berkomunikasi, tetapi yang menyebabkan mereka tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat luas adalah karena tidak adanya akomodasi yang mereka butuhkan untuk berkomunikasi yang tersedia, misalnya Augmentative and Alternative Communication.
Realitas hidup disabilitas merupakan realitas yang tersusun dari berbagai faktor, mulai dari faktor perbedaan fungsi tubuh hingga beragam faktor sosial di lapangan. Identitas disabilitas bertambah kompleks mengingat disabilitas tidak melulu disebabkan oleh perbedaan kondisi yang mereka miliki sejak lahir. Seseorang bisa menjadi penyandang disabilitas dikarenakan kecelakaan atau penyakit.
Faktor-faktor sosial dan ekonomi turut mempengaruhi seberapa besarnya kemungkinan seseorang yang terlahir tanpa disabilitas bawaan menjadi penyandang disabilitas semasa hidupnya. Kelompok-kelompok yang termarjinalisasi secara ekonomi mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Selain itu, kemungkinan mereka tinggal dan bekerja dalam lingkungan yang tidak sehat lebih besar. Alhasil, mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi penyandang disabilitas semasa hidupnya.
Mendengar Suara
Salah satu cara untuk menguak realita hidup disabilitas yang kompleks adalah dengan memberi tempat bagi suara-suara penyandang disabilitas di berbagai ranah: mulai dari ranah media populer, advokasi, hingga kajian akademis. Komunitas-komunitas disabilitas di seluruh dunia menyerukan “nothing about us without us” — sertakan penyandang disabilitas dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan penyandang disabilitas.
Sebagai sosok dengan pengalaman hidup dalam menghadapi disabilitas, penyandang disabilitas memiliki pengetahuan langsung terhadap realitas hidup disabilitas yang tidak bisa direplikasi oleh pihak-pihak lain. Selain itu, urusan-urusan yang berhubungan dengan disabilitas memiliki pengaruh langsung bagi kehidupan mereka.
Sayangnya, ruang bagi penyandang disabilitas untuk bersuara masih sempit. Penyandang disabilitas lebih banyak ditempatkan sebagai obyek sehingga pengalaman hidup mereka tersingkirkan dari pembahasan mengenai disabilitas. Masih banyak pihak yang lebih mengedepankan suara orang tua atau ahli medis dalam pembicaraan mengenai disabilitas—dan saya pun menemukan hal ini dalam pengalaman saya melakukan advokasi autisme di Indonesia. Gerakan-gerakan advokasi autisme di Indonesia masih didominasi oleh organisasi-organisasi yang dipimpin oleh orang tua dan ahli medis. Orang tua dan ahli medis memiliki tempat pada komunitas disabilitas, tetapi ruang dalam komunitas disabilitas sudah sepatutnya mengedepankan suara penyandang disabilitas itu sendiri.
Komunitas penyandang disabilitas di Indonesia sendiri pada saat ini tengah melakukan advokasi yang berdasarkan realitas hidup mereka. Suara-suara mereka merupakan suara penting yang patut didengar. Saya dan teman-teman autistik lain di Pemuda Autisme Indonesia menyuarakan aspirasi-aspirasi kami mengenai autisme — bahwa autisme merupakan bagian dari variasi neurologis kompleks yang patut dihargai sebagai identitas diri dan diakomodasi dalam masyarakat. Di luar sana, masih banyak wadah-wadah untuk penyandang disabilitas lainnya.
Perkumpupulan Penyandang Disabilitas Indonesia memayungi lima belas organisasi penyandang disabilitas dari berbagai daerah dan berbagai jenis disabilitas. KamiBijak mengusung media disabilitas bagi teman-teman Tuli dengan memberikan akses informasi yang ramah disabilitas serta memberi ruang bagi teman-teman Tuli di meja redaksi. Dalam ranah penelitian akademis, Australia – Indonesia Disability Research and Advocacy Network mengusung kajian-kajian disabilitas dengan melibatkan peneliti penyandang disabilitas.
Nama-nama yang saya sebutkan tentu saja hanyalah sebagian kecil dari suara-suara penyandang disabilitas, tetapi barangkali ini bisa menjadi pengantar bagi kita semua untuk mengenal suara-suara yang selama ini luput. Disabilitas adalah masalah yang sistemik, dan kita semua punya peran untuk meningkatkan kesadaran terhadap disabilitas.