Mengusung tema “Inklusi di Tempat Kerja”, Bulan Kepedulian Autisme (World Autism Awareness Month) tahun ini mengingatkan kita akan urgensi terciptanya lingkungan kerja yang inklusif bagi teman-teman autistik dewasa.
Hambatan memperoleh pekerjaan masih menjadi persoalan bagi pencari kerja autistik. Data resmi pemerintah Inggris menunjukkan, hingga 2021 angka pengangguran dalam komunitas autistik tergolong paling tinggi di antara kelompok penyandang disabilitas lain. Hanya 21.7% individu autistik yang berstatus sebagai pekerja. Sementara di Indonesia, hingga kini belum ada data resmi mengenai angka pengangguran individu autistik.
Lingkungan kerja yang tidak ramah bagi komunitas autistik merupakan permasalahan sistemik. Masalah tak hanya melibatkan komunitas autistik saja, tetapi juga melibatkan pihak-pihak pemberi kerja.
Sempitnya Kesempatan Kerja
Ada faktor dari luar dan dalam lingkungan kerja yang mempengaruhi sulitnya akses lapangan kerja bagi individu autistik. Salah satu faktor dari luar adalah latar belakang pendidikan. Individu autistik masih mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak.
Data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada 2018 menyatakan tiga dari sepuluh anak penyandang disabilitas masih belum dapat mengakses pendidikan yang inklusif. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih belum ramah disabilitas. Saat ini, hanya ada 17 universitas yang memiliki Unit Layanan Disabilitas untuk membantu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas.
Baca juga:
Kurangnya akses dan akomodasi pendidikan, menyebabkan teman-teman autistik memiliki kualifikasi diri yang lebih rendah. Akibatnya, mereka kurang mampu bersaing dalam mencari kerja. Kualifikasi diri yang rendah juga membatasi kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk mereka.
Faktor dari dalam lingkungan kerja adalah budaya lingkungan kerja itu sendiri. Berdasarkan indeks Hofstede, Indonesia memiliki budaya kolektif dengan jarak kekuasaan yang tinggi. Budaya Indonesia bersifat hierarki. Masyarakat Indonesia masih memelihara kolektivitas yang tidak seimbang ini. Individu autistik kerap termarjinalkan dan sering menerima penolakan.
Selain itu, pihak pemberi kerja juga belum punya pemahaman dan kepekaan mengenai autisme dalam masyarakat. Individu autistik belum cukup mendapat dukungan dari pihak pemberi kerja. Hal ini bisa dilihat dari proses rekrutmen, alur kerja, hingga proses penilaian performa kerja yang tak ramah kepada individu autistik.
Rekrutmen yang Merangkul
Proses perekrutan selama ini masih belum inklusif dalam mendeskripsikan kriteria pekerja yang diharapkan. Ini menyebabkan individu autistik gentar. Faktor belonging atau perasaan dirangkul dalam lingkungan kerja belum banyak dirasakan. Hal ini menyebabkan individu autistik merasa tersingkirkan, bahkan sebelum melamar kerja.
Kualifikasi calon pekerja ideal berdasarkan pandangan pemberi kerja, terkadang tidak dimiliki oleh individu autistik. Misalnya kemampuan berkomunikasi yang tinggi. Padahal, pada saat ini deskripsi lowongan kerja tidak akurat dalam menggambarkan kemampuan dan kualifikasi yang benar-benar sesuai dengan posisi yang ditawarkan.
Selain itu, deskripsi calon pekerja ideal hanyalah daur ulang dari lowongan kerja sebelumnya. Lowongan kerja yang beredar umumnya dipenuhi jargon-jargon industri yang tidak sesuai dengan kenyataan kerja dan sulit dipahami oleh pencari kerja autistik.
Komitmen Inklusivitas
Pihak pemberi kerja harus menunjukkan komitmen yang merangkul individu autistik sejak awal perekrutan. Komitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif ini akan membantu individu autistik menampilkan diri sebaik-baiknya. Dengan demikian, baik individu autistik maupun pihak pemberi kerja memperoleh pengalaman rekrutmen secara maksimal. Berikut contoh penyampaian komitmen tersebut:
Kami mendorong teman-teman dari berbagai latar belakang dan identitas untuk mendaftarkan diri. Jika teman-teman memiliki pertanyaan atau kebutuhan tertentu dalam proses rekrutmen, jangan segan-segan untuk mengontak kami. Kami berinisiatif untuk memastikan seluruh kandidat dapat menampilkan diri secara maksimal.
Lebih jauh lagi, pemberi kerja perlu memastikan bahwa proses rekrutmen bagi individu autistik terbuka untuk berbagai latar belakang. Perlu diketahui, komunitas autistik memiliki keragaman gender dan seksual yang lebih tinggi dari masyarakat umum. Selain itu, sebagian besar individu autistik memiliki komorbid atau kondisi penyerta medis, sehingga mereka memiliki kebutuhan lain di luar autisme. Pihak pemberi kerja perlu memastikan adanya penerimaan atas individu autistik dengan berbagai spektrum.
Kepekaan Pemberi Kerja
Individu autistik, dengan cara berpikir dan kondisi neurologis yang berbeda, kerap tidak memenuhi syarat kualifikasi calon karyawan ideal. Amanda Kirby & Theo Smith, dalam buku Neurodiversity at Work, menawarkan cara untuk memastikan lowongan kerja memasukkan syarat-syarat yang memang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Pihak penyedia kerja melakukan praktik reverse job matching. Dalam praktik ini, kualifikasi serta syarat yang dibutuhkan akan diukur berdasarkan performa dari orang-orang yang telah bekerja dalam posisi yang hendak ditawarkan. Pihak penyelia diminta untuk mengukur kualifikasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses kerja dalam posisi tersebut berdasarkan keadaan di lapangan.
Pemberi kerja juga harus memiliki kepekaan atas keterbatasan pemahaman bahasa serta sensitivitas sensorik yang dimiliki individu autistik.
Sering kali, dalam lowongan pekerjaan, pemberi kerja menggunakan kata-kata yang bias, seperti:
- Penggunaan kata-kata superlatif dalam syarat lowongan kerja.
Istilah superlatif seperti “sangat”, “paling”, “terbaik”, “unggul”, “superior”, lebih terdengar seperti kompetisi alih-alih budaya kerjasama. Istilah superlatif juga memberi kesan intimidatif karena mengesankan tuntutan yang tinggi dari perusahaan. Bagi sebagian individu autistik yang memproses bahasa secara literal, penggunaan istilah superlatif dapat menyebabkan mereka urung mendaftar karena kapasitas mereka tidak sesuai dengan kualifikasi yang disampaikan dalam lowongan kerja.
- Pencantuman atribut/kualifikasi yang umumnya diasosiasikan dengan tantangan individu autistik.
Sebagian besar lowongan kerja umumnya mencantumkan kualifikasi-kualifikasi yang menjadi tantangan bagi individu autistik. Contohnya, komunikasi interpersonal yang baik, bekerja dalam tim, bekerja secara fleksibel, serta kemampuan multitasking. Padahal, tidak semua kemampuan ini diperlukan dalam posisi yang ditawarkan. Misalnya, seorang penulis konten yang bekerja dari rumah akan lebih banyak berkutat dengan komunikasi tulisan ketimbang komunikasi lisan tatap muka. Penggunaan deskripsi yang umumnya diasosiasikan dengan kelemahan individu autistik perlu dihindari, kecuali jika kemampuan tersebut benar-benar dibutuhkan dalam pekerjaan.
Cara komunikasi individu autistik berbeda dengan individu neurotipikal. Mereka membutuhkan bahasa yang jelas. Bahasa konotatif dan mengandung ambiguitas, serta istilah bertele-tele akan menyulitkan mereka. Deskripsi dalam lowongan kerja harus dibuat sepadat dan sejelas mungkin sesuai kebutuhan perusahaan.
Format lowongan kerja yang tidak aksesibel, masih sering ditemui individu autistik. Halaman web dengan warna yang kontras dan mencolok akan sulit diakses, sebab sebagian individu autistik sensitif terhadap rangsangan visual. Pemasangan flashing image dapat menyulitkan mereka yang sensitif terhadap pencahayaan. Tipografi yang sulit dibaca juga membuat mereka kesulitan dan merasa tak nyaman.
Menciptakan lingkungan kerja inklusif merupakan komitmen jangka panjang. Tak berhenti pada proses perekrutan saja, tetapi terus berlanjut pada proses komunikasi dan interaksi dalam kerja, workload dan instruksi dalam kerja, penyesuaian lingkungan sensorik, hingga dukungan karier jangka panjang bagi kawan-kawan autistik.
Editor: Prihandini N