Kadang Main Musik Kadang Tidak

GIGI: Pionir Pop Religi Modern

Djoko Santoso

3 min read

Musik religi bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya telah mengurat akar di Indonesia. Siapa yang belum pernah dengar lagu Ilir-Ilir dan Tombo Ati? Dua lagu ini telah hadir lama sebelum kita mengenal istilah lagu religi. Lagu-lagu itu digubah Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, tentu sebagai media dakwah saat itu. Pendekatan budaya (khususnya musik) menjadi pilihan alternatif dakwah selain dengan cara konvensional (ceramah).

Setelah berlalunya masa awal seni sebagai media dakwah kemudian masuk ke era modern. Modern di sini selain dipahami sebagai era yang lebih terkini juga dipahami sebagai babak baru musik religi. Yaitu musik (religi) sebagai musik niaga, yakni sebagai komoditas seni. Di mana hasil karya musik dijual sebagaimana musik-musik lainnya.

Baca juga: Pasang Surut Musik Religi

Era modern musik religi ditandai munculnya kelompok-kelompok musik religi populer. Bimbo, Nasida Ria, dan Hadad Alwi & Sulis merupakan ikon musik religi di Indonesia. Banyak lagu yang mereka ciptakan dan menghiasi hari-hari dekade 2000-an dan sebelumnya. Masa-masa itu ketika rilisan fisik sedang berjaya. Dan salah satu tolok ukur kesuksesan musik diukur dari jumlah penjualan album melalui rilisan fisik.

Di negeri tetangga muncul grup nasyid melayu bernama Raihan. Sekitar tahun 1996 Raihan terbentuk dan konsisten menggubah lagu-lagu nasyid melayu. Musik Raihan juga diterima di Indonesia, bahkan beberapa juga muncul grup semisal di Indonesia. Beberapa hits Raihan yaitu Demi Masa, Senyuman, dan Iman Mutiara.

Di Indonesia pada dekade 2000-an muncul banyak musik pop religi modern. Di dekade ini (dan setelahnya) musik religi tampil dalam format band. Banyak grup band yang ikut meramaikan skena musik religi. Uniknya pada dekade ini, band yang membawakan musik religi bukan dari band yang sedari awal memang mengusung musik religi. Mereka muncul dengan musik pop standar (bukan religi), kemudian pada momen-momen tertentu menjelma menjadi “band religi”.

Membincangkan pop religi Indonesia tentu tidak luput dari satu band legendaris tanah air, GIGI. Band yang lahir 22 Maret 1994 ini hingga sekarang masih eksis di blantika musik Indonesia. Walaupun GIGI bukan band religi an sich tapi mereka turut meramaikan pop religi Indonesia, bahkan menjadi garda terdepannya.

Cover Album Band GIGI

Band yang kini berumur 28 tahun itu menjadi pioner dalam skena pop religi Indonesia. Tahun 2004 GIGI meluncurkan album Raihlah Kemenangan. Album bertema religi ini berisi 10 lagu, 8 di antaranya adalah cover dan 2 lagu ciptaan band ini. Salah satu hits dalam album ini yaitu lagu Perdamaian. Lagu yang sebelumnya sudah tenar dibawakan Nasida Ria semakin diterima di kalangan anak muda ketika dibawakan oleh GIGI.

Gebrakan album religi GIGI dinilai sukses. Aransemen yang di luar pakem umumnya lagu-lagu religi yaitu dikemas dengan balutan rock mampu menembus pasar anak muda. Walaupun awalnya dianggap aneh tapi pada akhirnya album ini diterima dan mampu mengenalkan ulang lagu-lagu religi yang sudah ada. Beberapa di antaranya lagu dari Bimbo dan Chrisye.

Total album religi GIGI hingga saat ini berjumlah 9 album. GIGI dengan konsep musik pop rock-nya menjadi karakter kuat, dan tentu ini menjadi pembeda dari band-band lain. Dan yang unik dari album religi GIGI, yaitu ada satu personel band yang non-Islam, yaitu sang gitaris Dewa Budjana. Jauh sebelum isu-isu toleransi menyeruak, GIGI sudah menjadi penganut mazhab toleransi “garis keras”.

Dewa Budjana yang notabene bukan muslim dan turut “andil” dalam musik religi GIGI pada awalnya memang tampak janggal. Non-Muslim ikut main di lagu Islami? Serius? Pertanyaan ini wajar mengemuka karena saat itu masih menjadi awal embrio isu toleransi. Sebenarnya jika ditilik lebih lanjut Dewa Budjana juga banyak join di lagu-lagu religi agama lain.

Tidak hanya lagu-lagu religi Islam, dia juga membuat beberapa album natal. Album Buddhis juga tak luput digarapnya. Berkolaborasi dengan musisi Malaysia Imee Ooi di tahun 2017 dia membuat album yang diberi judul In Metta. EP ini berisi 4 lagu yang setiap lagunya memiliki durasi agak panjang untuk standar lagu pop. Materi-materi lagu ketika didengarkan kita akan dibawa ke “ruang meditasi”.

Di luar album religi Dewa Budjana, ia sudah banyak menelurkan album solo. Kebayakan materi lagunya berisi lagu instrumental (tanpa vokal). Musik di album-album solo Dewa Budjana selalu berisi notasi-notasi “aneh”. Not-not etnik nan unik mengantarkan pendengarnya untuk merenung. Entah ada korelasi langsung atau tidak, mungkin ini berkat pengaruh bahwa ia orang yang terlahir di Bali dan di sana notabenenya Hinduis yang dekat dengan “Nyepi”.

Selain musiknya yang dibilang menemukan momentum, hal lain yang tak kalah unik yaitu konser Ngabuburit. Konser ini mungkin menjadi projek konser terpanjang yang pernah ada, yaitu selama 14 tahun. Bekerjasama dengan salah satu brand rokok konser Ngabuburit mampu menyedot perhatian para penikmat “senja” di bulan Ramadan. Dan perlu diacungi jempol para personel GIGI tentu selain sang pemetik senar tetap berpuasa walau di tengah konser.

Konsep konser ngabuburit mungkin sebelumnya belum pernah ada. Bahkan tidak pernah terbayangkan melakukan konser sore hari di bulan puasa. Waktu di mana saat itu tinggal sisa-sisa tenaga. Akan tetapi pada kenyataannya konsep konser ini bertahan selama belasan tahun dan tak pernah kehilangan antusias penonton. Bahkan konser ini turut andil dalam mengenalkan istilah Ngabuburit yang artinya sore hari kepada khalayak ramai. Berkat hal ini kata ngabuburit menjadi kosakata resmi bahasa Indonesia dan masuk KBBI.

Hingga saat ini GIGI masih eksis dan masih ber-religi ria. Walaupun terakhir mengeluarkan album religi di tahun 2017 dan belum mengeluarkan album religi lagi, mereka masih memasukkan beberapa lagu religi di dalam repertoar (list lagu) konsernya. Walaupun bukan konser di bulan Ramadan. Lagu Perdamaian sepertinya menjadi salah satu lagu yang wajib masuk dalam repertoar konser. Lagu ini memang terlanjur menjadi lagu ikonik dari GIGI.

Walaupun tanpa branding “religi” secara resmi, sejatinya GIGI telah menjadi pengamal religiusitasnya masing-masing. Bahkan sang vokalis Armand Maulana di bulan Ramadan kerap tampil di TV bukan sebagai musisi, tetapi menjadi penceramah dan muazin. Suatu hal yang di luar kebiasaan, atau bahkan belum pernah terjadi. Hal ini yang menjadi pembeda dengan band pop religi yang lain. GIGI tetap dengan ke-GIGI-annya. Tampil dengan nilainya.

***

Djoko Santoso
Djoko Santoso Kadang Main Musik Kadang Tidak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email