Ngengat Kepada Api
Bukan wujud cahaya indah itu yang membuat terpikat
Bukan suhu panas tubuh itu yang memicu hasrat mendekat
Bukan zat, bentuk, maupun rupa kobarannya
Bukan pula aroma hangus dari jilatan lidahnya yang penuh bara
atau rasa candu ketika kabut asap bibirnya mengecup mata
Melainkan karena diriku yang rela terbakar sendiri
Demi persatuan dengannya walau habis jadi debu
Selayaknya siklus Kamadhatu
Mengalaminya seumpama takdir tanpa henti
Sebab kurindukan perasaan menjadi berarti
Dari kehampaan menjadi terpenuhi
Dari ketiadaan menjadi ada teberkati
bagi diriku sendiri
Seekor ngengat luruh dalam murup api
–
Ada Sejenis Perhatian
Ada jenis perhatian yang terasa ganjil saat kau menerimanya. Itu seperti mengonsumsi mie instan pada tengah malam buta ditemani suara jangkrik dari balik pintu, deru kendaraan dari tempat jauh, dengung ketukan dua kali pada tiang lampu; satu bungkus kurang, dua bungkus berlebihan. Itu juga seperti… jika seseorang membunuhmu hari ini, dengan apa pun alasan yang dia miliki, kau akan berterima kasih; lantaran sulit membunuh dirimu sendiri, dia akan membuat segalanya jadi lebih mudah. Itu juga seperti… menderita dalam pikiran sendiri, ketimbang dalam kenyataan yang sebenarnya terjadi; dan meski menyadari semua fakta itu kau tetap rela menerimanya.
–
Kau akan Melihatku Malam Ini dalam Mimpimu
: Days of Being Wild, Wong Kar-wai (1990)
Ketika kelopak bunga pohon jambu terakhir di halaman rumah masa kanak-kanakmu gugur, kau pun akan melihat aku malam ini dalam mimpimu.
Ketika luas dan kelamnya samudra selesai ditelusuri manusia terakhir di Timur Tenggara sana, kau pun akan melihat aku malam ini dalam mimpimu.
Ketika kata pertama dalam wahyu bahasa purba punah tak lagi dipakai dan disimpan kamus aksara, kau pun akan melihat aku malam ini dalam mimpimu.
Ketika dua pengembara itu berhenti berselisih tentang siapa yang harus menunggangi keledai lebih dahulu, kau pun akan melihat aku malam ini dalam mimpimu.
Ketika tak ada lagi musim, selain aroma debu dan bangkai cacing, kau pun akan melihat aku malam ini dalam mimpimu.
Namun, bila semua keganjilan itu telah terjadi dan kau masih tak melihat aku
malam ini dalam mimpimu, maka ketahuilah kau sudah menjelma mimpi pada tiap tidur dan malam-malam tergelap dalam hidupku.
–
Kepulangan
I
Aku pulang, membuka pintu, memasuki ruangan
dan tidak disambut oleh siapa pun.
Aku melepaskan tas dari punggungku,
mengganti pakaian dengan baju yang kupakai semalam.
Aku duduk di atas kasur dan diam melamun. Ketika kurasakan hembusan
napasku, suara detak jantungku, kedipan mataku, aku pun menyadari
dalam lamunanku hanya ada kekosongan.
Dan aku sendirian.
II
Kau pulang dengan motor rombeng
bersuara parau penuh asap. Aroma besi
dan jerebu memenuhi pintu serupa aroma keringat
dari tubuhmu. Kau memanggil bukan namaku,
sembari meletakkan sebuah semangka dan
sekantung plastik penuh mangga di atas meja.
Dan kau tidak sendirian.
III
Aku pulang
Kau pulang
dengan mendapati segala yang terjadi,
tidak terjadi, atau akan terjadi
dalam nasib masing-masing
sebagai kutukan yang kita
bawa sepanjang waktu.
–
Makhluk yang Setia Datang
1
Ada makhluk yang setia datang seperti pencuri, masuk
mengendap-endap dengan langkah-langkah ganjil. Mereka terlihat
menakutkan sekaligus ajaib, bak monster ataukah dewa? Kuamati mereka
tengah melakukan hal-hal yang tidak aku mengerti, tak jarang mereka
saling serang seumpama berperang.
Manakala aku terbangun dan tersadar, aku bertanya-tanya adakah
ini mimpi atau kenyataan? Halusinasi atau khayalan? Tak ada lagi yang
bisa aku bedakan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa yang mereka inginkan?
Kepalaku sakit, mendengar mereka ribut berkelahi.
Tiap kali mereka berkelahi, sesuatu padaku pun terjadi.
Kulihat ceceran darah, kental menggumpal.
Darah siapa yang mengotori kedua tanganku ini?
Darah amis siapa ini?
2
Ada makhluk yang kerap datang menjelang aku bermimpi. Barangkali
di pertengahan, atau di akhir, tapi tidak di awal mimpi. Bisakah kau
mengingat awal mimpimu? Aku tak pernah ingat. Aku hanya tahu bagaimana mimpi
itu telah berjalan tanpa mengerti bagaimana ia bermula.
Masih sulit aku pahami bagaimana awal perkenalanku dengannya.
Makhluk berkepala kerbau bertubuh manusia.
Serupa siluman dari dongeng yang jauh. Lahir dari perselingkuhan dewa-
dewa agung yang disegani. Kedua tanduknya berujung runcing terbentang membentuk pola
setengah lingkaran. Otot-totnya memuncah. Guratan uratnya dapat kulihat jelas dari seluruh
daging dan sendi. Di tangannya sebuah tombak selalu ia bawa.
Bayangannya mirip seperti lukisan manusia purba.
Matanya merah saga.
3
Ada makhluk yang telah bersumpah kepadaku. Barangkali tujuh atau sepuluh.
Ketika aku terbangun dan kesadaran mengambil alih, aku mengerti
ini bukan sesuatu yang dimaksudkan sebagai pengalaman yang menyenangkan atau
luar biasa untuk diceritakan, melainkan sebuah gagasan kesunyian.
Sebuah rahasia yang sunyi.
Aku menatap ke luar jendela, bersama angin sejuk yang masuk
membawa aroma darah yang busuk.
*****
Editor: Moch Aldy MA