Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Harga Hantaran Perempuan Madura

Aurelya Pratiwi

3 min read

“Itu sebabnya, tali pernikahan jadi pengikat paling kuat untuk membatasi gerak, sebelum kehendak anak tumbuh beranak pinak, sebelum mampu mengencangkan urat untuk berontak.” — Muna Masyari (2020, dalam Damar Kambang)

Pernikahan dini merupakan salah satu persoalan sosial yang masih terjadi di berbagai daerah, termasuk di Madura. Isu tersebut dipotret oleh Muna Masyari ke dalam bukunya yang berjudul Damar Kambang. Karya tulis ini pun berhasil masuk ke dalam daftar lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2021.

Berkisah tentang seorang perempuan bernama Cebhhing, Muna menampilkan sisi gelap tradisi pernikahan dini, khususnya di tanah garam itu. Bagi masyarakat Madura, memiliki anak perempuan adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Oleh sebab itu, orang tua hendaknya segera mengambil keputusan saat anak perempuan berumur belasan tahun, saat tubuh perempuan seumpama tanah liat yang masih mudah dibentuk sesuai keinginan. Tergambar jelas dalam novel ini bahwa perempuan hanya berposisi sebagai objek dan tak memiliki kuasa atas hidupnya. Tak berhenti di situ saja, apabila ditelisik lebih mendalam, ternyata Muna Masyari juga membawa cerita begitu kompleks dengan menggambarkan perempuan sebagai korban atas ketidakadilan gender dari budaya patriarki yang masih begitu melekat dalam masyarakat Madura.

Stereotip 

Bentuk ketidakadilan gender yang muncul di bagian awal novel ini adalah pemberian label tertentu kepada Cebhhing saat hendak dinikahkan di usianya yang masih empat belas tahun.

Baca juga: Jangan Paksa Anak-Anak Menikah!

Cebbhing diberi nasihat oleh perias agar memiliki anak yang banyak setelah nanti menikah. Terlihat bahwa dalam kultur sosial masyarakat Madura, perempuan menyandang stereotip untuk memiliki anak yang banyak. Merujuk pada fakta biologis, perempuan memang memiliki rahim untuk mengandung, tetapi kebanyakan orang tidak menyadari bahwa memiliki anak bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang perempuan. Perempuan juga bukanlah pohon pisang yang tidak memiliki kontrol atas tubuhnya untuk memiliki anak.

Do, Addo, kau ini! Punya anak, ya, harus banyak. Rugi kalau cuma punya anak satu! Nanti kau menikah dan dibawa orang, kau ini tidak kebagian. Pisang itu memang berbuah sekali, tapi satu tandan terdiri dari beberapa sisir. Satu sisir terdidi dari beberapa buah.”

Bentuk stereotip yang juga muncul, yakni nilai perempuan disamakan dengan nilai hantaran yang dibawa keluarga laki-laki saat melangsungkan pernikahan. Muna menggambarkan tradisi hantaran yang begitu dijunjung tinggi karena hal tersebut berhubungan dengan moral dalam kehidupan sosial masyarakat Madura. Saat keluarga mempelai laki-laki hanya membawa hantaran bantal-tikar, Ayah Cebbhing pun marah karena ini berarti Cebbhing hanya dihargai tiga ratus ribu rupiah. Stereotip bahwa nilai hantaran sama dengan nilai seorang perempuan termanifestasi dalam tradisi masyarakat Madura.

“Kau sendiri juga tahu, dengan sejumlah hantaran, mempelai wanita akan terlihat lebih berharga. Semakin mahal harga hantaran yang dibawa oleh pria, semakin tinggilah harga mempelai wanita!”

Subordinasi

Di dalam novel ini, sering dimunculkan suatu kondisi yang menempatkan Cebbhing pada posisi yang lebih rendah, misalnya saat ia dipaksa menikah dengan Ke Bulla (kiai junjungan Ayah Cebbhing) setelah gagal menikah dengan Kacong. Pada awalnya, Cebbhing memang mengatakan ketidakinginannya untuk menikah dengan seseorang yang tidak ia kehendaki. Namun, suaranya tetap kalah pada keputusan sepihak Ayahnya. Orang tuanya juga mengeluarkan senjata pamungkas dengan mengingatkan Cebbhing pada ajaran buppa’-bhabbu’ghururato (Ayah, Ibu, Guru, Ratu atau Pemerintah). Secara filosofis, ungkapan tersebut memang memuat bentuk kepatuhan secara hierarkis kepada orang tua, guru (kiai), dan juga ratu (sekarang pemerintah). Pada kenyataannya , bagi masyarakat Madura ajaran ini tidak berkonotasi negatif, tetapi menjadi masalah karena kalimat itu ditujukan untuk memaksa Cebbhing untuk menikah dengan laki-laki yang usianya jauh dengan dirinya dan bahkan telah memiliki istri.

“Setelah pernikahan digagalkan, apa kehidupan seperti ini yang kalian harapkan untukku? Setelah dipasung mirip orang gila, lalu dinikahkan dengan lelaki yang sudah beristri dua?”

Kekerasan Fisik dan Psikis

Pada salah satu bagian cerita, Muna secara jelas menggambarkan kekerasan fisik yang dialami oleh Cebbhing. Ayah Cebbhing melakukan kekerasan fisik berupa pemasungan karena Cebbhing berani kabur dari rumah dan pergi ke rumah Kacong (mantan calon suaminya).

“Barangkali karena lelah mengawasiku, Ibu diam saja mendapati Ayah hendak memasung kakiku agar tidak berusaha kabur. Sekuat apa pun aku berusaha berontak, tenaga Ayah, Ibu, dan Nom Matrah yang dimintai bantuan tak sanggup aku lawan.”

Tak berhenti pada kekerasan fisik saja, Cebhhing juga mengalami kekerasan psikis saat ibunya sendiri menghina Cebbhing dengan menyebut perilakunya seperti orang gila. Ibu Cebbhing juga memaksanya untuk menuruti kemauan Ayahnya yang secara sepihak hendak menikahkan Cebbhing dengan Ke Bulla.

“Apa kau tidak sadar, hari-hari belakangan ini tingkahmu memang seperti orang gila? Kau itu selalu saja ingin pergi dari rumah dan berteriak-berteriak tiap malam. Tidak ada seorang dukun pun yang berhasil menyembuhkanmu. Air japah dari Ke Bulla yang membuatmu lebih tenang, tapi hanya sementara. Kata ayahmu, dengan pernikahan ini barangkali kau bisa sembuh total, karena ini memang kehendak beliau! Hanya pernikahan sementara.”

Baca juga: Lahir 1982, Tertindas Sepanjang Masa

Beban Ganda

Seperti kesedihan tak berkesudahan, Cebbhing bahkan mengalami ketidakadilan gender saat dirinya dihina dan dituduh mengandung anak haram oleh Nyai Marinten (istri pertama Ke Bulla) karena sebelum menikah dengan Ke Bulla, Cebbhing telah tidur dengan Kacong akibat “angin kiriman” yang memang ditujukan kepada dirinya sebagai bentuk balas dendam atas batalnya pernikahan mereka berdua.

“Ayah hanya bisa memerintah, memutuskan, dan mengancam, tapi akhirnya semua kesalahan ditimpakan kepadaku. Aku yang disebut pelacur. Dituduh menipu Ke Bulla. Dikatakan mengandung anak haram. Dibilangin ingin jadi nyai besar.”

Dalam novel ini, Muna Masyari memang terlihat tidak sedang menciptakan dunia ideal untuk laki-laki dan perempuan atau dunia yang berdasar kesetaraan gender. Namun, dengan menampilkan cerita apa adanya, yang tak jauh dari realitas yang ada, pembaca hendaknya mampu merefleksikan kembali nilai-nilai dalam diri bahkan jauh hingga mempertimbangkan kembali tradisi yang telah lama tumbuh di sekitar kita.

Aurelya Pratiwi
Aurelya Pratiwi Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email