Menonton konser Tulus Tur Manusia Surabaya membuat saya merefleksikan diri sebagai manusia. Di beberapa lagu, Tulus bermain nada-nada falsetto yang membuat kita merinding. Ia juga sesekali berinteraksi dengan penonton dengan mengajak mereka bernyanyi bersama. Pertunjukan selama dua jam itu terasa sangat mindful sekaligus powerful. Bukan hanya karena Tulus menyanyikan lagu-lagu itu dengan suara yang memukau, tetapi juga karena konser ini lebih dari sekadar pertunjukkan, ia adalah sebuah manisfestasi dialektika kehidupan.
Selain menyanyikan lagu-lagu dari album Manusia yang menjadi tema konser, Tulus juga membawakan lagu-lagu hits dari album-album lawasnya, seperti Sepatu, Teman Hidup, dan tentu saja Monokrom, salah satu lagu dengan angka pemutaran tinggi di platform pemutar musik daring. Diiringi band dan backing vokal, penampilan Tulus juga terasa genap dengan pencahayaan dan visualisasi panggung yang mendukung alur konser menjadi sebuah penampilan yang indah.
Dibuka dengan lagu “Satu Kali”, sebelumnya penonton dibuat terhentak karena prelude yang sangat apik dari band pengiring yang solid dan backing vocal grup, dan lighting serta visualisasi yang didominasi warna biru. Penonton yang sebagian besar didominasi perempuan mendominasi suara Tulus. Tetapi Tulus tetap menyanyikan lagu dengan suara dan penampilan yang memukau.
Baca juga:
Mengenakkan setelah jas hitam dengan sepatu kets putih, ia tampil effortless namun tetap stand out. Selama dua jam pertujukkan, Tulus memberikan penampilan dan energi yang nyaris tanpa cela dari awal hingga akhir.
Alur Manusia
Setelah lagu pertama, selama kurang lebih 30 menit pertama Tulus menyanyikan lagu-lagu hits andalannya selama 11 tahun berkarya. Melalui lagu “Jangan Cintai Aku Apa Adanya” dan “Gajah” penonton diajak untuk menyelami sisi Tulus sebagai seseorang musisi sekaligus manusia, sebagai sesorang yang menjalani hidupnya melalui karya-karyanya.
Puncak pada paruh kedua terjadi ketika Tulus membawakan lagu “Teman Hidup”, ia menyampaikan bahwa selama 11 tahun berkarya, Teman Tulus (sebutan untuk penikmat musik-musik Tulus) adalah teman hidupnya. Dialog ini menurut saya menjadi bagian penting, bagaimana Tulus mengajak penonton untuk terhubung. Apalagi pada saat menyanyi ia menyusuri penonton dengan berjalan menuruni panggung.
Tulus membawa penonton mencapai klimaks dengan beberapa lagu hits yang ‘ngena’. Setelah membawakan “Sepatu”, Tulus menyanyikan lagu “Nala”, diiringi visualisasi kobaran api dan lighting merah dan kuning yang mendominasi, kemudian diakhiri dengan logo album Manusia yang terbakar.
Selama beberapa detik, adegan di panggung fokus pada tampilan visualisasi, kemudian berganti menjadi visual air dan hujan, menghantarkan lagu “Diri”. Selama bernyanyi Tulus membawakannya secara utuh dan penjiwaan yang penuh. Visualisasi hujan, lighting biru, putih, hitam mendominasi. Saya rasa inilah klimaks yang ingin dihadirkan Tulus dalam konsernya bertajuk Tur Manusia 2023.
Tidak sampai di situ, setelah tangis hampir memenuhi ruangan indoor, lampu padam, lagu “Tujuh Belas” menjadi sebuah hentakan yang mengharu biru. Dengan senyuman, Tulus membawakan lagu ini dengan visualisasi video bertema serupa dengan video klip ‘Tujuh Belas” yang muda, fresh, dan mengharu. Emosi penonton dibawa kembali naik untuk meraih harapan-harapan. Konser ditutup dengan “Monokrom” dan “Hati-Hati di Jalan”, dua lagu hits yang bagi saya memiliki makna mendalam.
Refleksi Manusia
Menyaksikan Tulus membawakan lagu-lagunya selama dua jam menjadi pengalaman yang berbeda bagi saya ketika menyaksikan penampilan musik seorang penyanyi secara langsung. Selain karena karya-karya Tulus yang lekat dan dekat dengan keseharian kita, hal istimewa dari konser Tulus adalah perenungan. Penonton diajak untuk merefleksikan kehidupan dan perasaan-perasaan yang ada di dalamnya.
Baca juga:
Lagu-lagu Tulus memang cukup easy listening, tetapi begitu kuat soal pesan-pesan yang disampaikan lewat liriknya. Menangis karena menyaksikan sebuah konser musik mungkin tidak sekali saja saya alami. Saya menangis bisa jadi karena lagunya yang sangat sedih, atau karena saya sangat bahagia bertemu dengan musisi, baik penyanyi maupun band idola saya. Tetapi pada konser Tulus Tur Manusia, Tulus seperti sengaja mengajak penikmat musiknya untuk menyelami perasaan mereka sendiri.
Tulus menampilkan diri sebagai musisi yang tenang dan melibatkan banyak orang dalam penampilannya kali ini. Namun, kita tahu bahwa teknik bernyanyi Tulus yang bagus ini dioptimalkan untuk mengajak penonton berdialog kepada diri sendiri. Menjadi manusia yang merenungkan bagaimana hakikat dirinya dan kehidupannya.
Jika kita mengharapkan sebuah kesenangan dari konser Tulus bertajuk Manusia, mungkin hal itu tak sepenuhnya terjadi. Sebab saya melihat sorak sorai penonton sebagai sebuah perayaan atas keputusasaan, dan kegagalan dalam kehidupan. Ada pula pesan perpisahan dan pembebasan yang terkesan tidak dibalut sedih. Sukacita yang hadir tidak berupa kesenangan biasa. Tulus mengajak kita untuk utuh menyelami “Diri” sebagai “Manusia Kuat” yang mampu memiliki “Ruang Sendiri” dalam menjalani kehidupan yang barangkali kita lihat hanya sebagai “Monokrom”.
Editor: Prihandini N