seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Masa Jabatan Kepala Desa Harus Dibatasi

Daniel Pradina Oktavian

3 min read

Ribuan kepala desa yang tergabung dalam Papdesi atau Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR pada pertengahan Januari 2023 lalu.

Secara spesifik mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang tadinya enam tahun per periode menjadi sembilan tahun per periode. Praktis, jika tuntutan itu dikabulkan, seorang kepala desa bisa menjabat selama 27 tahun. Menurut pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), kepala desa dapat menjabat dan mencalokan diri kembali selama tiga periode.

Mereka beralasan bahwa pembangunan desa tak cukup dilakukan enam tahun saja. Pasalnya, konflik politik desa dan persiapan pencalonan kepala desa membutuhkan ongkos materi dan waktu yang tak sedikit. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat pembangunan desa lebih optimal.

Revisi terhadap UU Desa bisa saja terjadi jika usulan ini menjadi prioritas legislatif. Apalagi kabarnya usulan ini telah direstui Presiden Jokowi.

Usulan Tidak Masuk Akal

Usulan yang dilayangkan oleh Papdesi menurut saya tidak masuk akal. Terlebih ketika mereka mengatakan bahwa ini adalah kemauan masyarakat. Alih-alih memperkuat argumentasi di depan publik, beberapa oknum justru lebih banyak melayangkan narasi ancaman jika tuntutan tidak dikabulkan. Tidak heran jika banyak yang mengaitkan tuntutan ini lebih bermotif kepentingan konstelasi politik belaka.

Baca juga:

Aturan mengenai masa jabatan kepala desa tercatat sudah beberapa kali berubah. UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyatakan seorang kepala desa dapat menjabat maksimal selama 16 tahun dalam dua periode. Kemudian, masa jabatan kepala desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur masa jabatan kepala desa adalah paling lama 10 tahun dalam dua periode. Lalu, undang-undang ini direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dengan dapat dipilih maksimal dua kali.

Kini masa jabatan kepala desa diatur dalam undang-undang tersendiri. Sesuai penjelasan dalam undang-undang, desa dibentuk atas adanya kesepakatan sosial, adat, asal usul, ataupun hak tradisional. Kekhasannyalah yang membuatnya perlu diatur dalam undang-undang khusus (UU Desa).

Keistimewaan Desa

Pasal 39 UU Desa sebetulnya sudah memberikan keistimewaan mengenai periodesasi masa jabatan seorang kepala desa. Seorang kepala desa dapat dipilih sebanyak tiga kali, baik secara berturut-turut ataupun tidak. Masa jabatan kepala desa adalah enam tahun, yang artinya seorang kepala desa dapat menjabat selama 18 tahun.

Padahal, umumnya masa jabatan seorang kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota hanyalah lima tahun dengan maksimal dua periode saja.

Menurut saya, dalam hal ini UU Desa sebetulnya telah begitu baik mengakomodasi kepentingan dan situasi desa yang sangat beragam. Kita tahu rentang kemajuan suatu desa di Indonesia sangatlah lebar. Ada desa yang memiliki sumber pendapatan mandiri yang besar, tapi ada juga desa yang bahkan mengenal listrik pun belum.

Budiman Sudjatmiko, salah satu orang yang mendorong lahirnya UU Desa, mengungkapkan tuntutan kepala desa ini didasarkan temuan-temuan di lapangan yang selama ini kerap menjadi ladang konflik berkepanjangan dan menghambat pembangunan di desa. Menurutnya, masa jabatan sembilan tahun memungkinkan kepala desa mewujudkan visi dan misi serta mengurangi ongkos konflik yang kerap terjadi. Meskipun dia juga mengusulkan maksimal hanya dua periode.

Saya pun heran ketika seorang reformis seperti Budiman mengungkapkan hal ini. Bagi saya, perpanjangan masa jabatan justru akan memperpanjang kemungkinan adanya abuse of power yang menyuburkan praktik-praktik koruptif. Reformasi 1998 yang salah satunya dimotori olehnya juga menuntut adanya pembatasan masa kepemimpinan presiden. Bukti itu saja sudah merujuk dampak besar yang mungkin akan terulang.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ali Lanting, dkk yang berjudul Konflik Sosial Antar Masyarakat Pasca Pemilihan Kepala Desa, ditemukan bahwa patronase politik menjadi salah satu faktor pemicu munculnya konflik sosial akibat pemilihan kepala desa. Kecemburuan sosial pun menjadi meruncing dan sulit diurai. Padahal patronase politik termasuk dalam praktif koruptif kekuasaan. Bayangkan saja jika kekuasaannya makin langgeng.

John Acton, ahli sejarah Inggris, mengungkapkan power tends to corrupt, absolute power corrupts absoultely. Kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung mengarah kepada kekuasaan yang korup, ketimbang alih-alih ketidakstabilan pembangunan.

Isu ini menjadi polemik luar biasa karena seorang kepala desa dipilih melalui pemilihan umum juga. Oleh karena itu masyarakat desa lah yang langsung memilihnya.

Melalui pemilihan langsung kepala desa, masyarakat desa sangat menggantungkan asa pembangunan desanya. Mereka rela berbondong-bondong datang untuk memilih. Meskipun ada sebagian dari mereka yang siang bolong harus pulang dari ladang, terpaksa berhenti melaut seharian, sampai mengambil izin jika mereka seorang pegawai. Padahal bisa jadi keadaan desa itu tak banyak berubah dari waktu ke waktu.

Jabatan yang begitu seksi membuat pemilihan kepala desa begitu spesial dan dinanti banyak orang. Meminjam istilah yang ditulis Okky Madasari, pemilihan kepala desa memang terasa begitu magis bagi masyarakatnya.

Korupsi Dana Desa

Dalam laporan KPK pada 2022, terdapat 686 kepala desa yang terjerat kasus korupsi dari tahun 2012-2021. Pengelolaan dana desa pun menjadi penyumbang catatan korupsi terbanyak sepanjang 2021 dengan 145 kasus. Bahkan, merujuk catatan ICW, korupsi dana desa konsisten selama 6 tahun terakhir menempati urutan pertama dengan total kerugian Rp 433 miliar. Pemerintahan desa juga disebut sebagai lembaga pemerintahan dengan kasus korupsi terbanyak yang ditangani aparat penegak hukum (APH).

Kucuran dana desa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat memang tak main-main jumlahnya. Pada 2022 pemerintah mengalokasikan 68 triliun rupiah. Permasalahan akuntabilitas, transparansi, dan kompetensi pengelolaan anggaran sering menjadi batu sandungan pembangunan di desa meskipun dana begitu berlimpah. Terlebih dana desa sering berubah-ubah penggunaannya karena adanya perubahan kebijakan.

Fakta-fakta tersebut tidak menjadi perhatian serius. Isu tata kelola pemerintahan justru menjadi pondasi dan harusnya diutamakan untuk dilakukan pembenahan.

Hal yang dibutuhkan justru adalah pendampingan, kontrol, dan peningkatan kompetensi aparatur desa, terutama kepala desa dalam melahirkan kebijakan dan program yang berkontribusi positif terhadap pembangunan desa.

Baca juga:

Bagi saya, usulan masa jabatan sembilan tahun dan dapat dipilih sebanyak tiga kali malah akan memperburuk fakta-fakta yang selama ini ada. Pemerintah jangan hanya melihat desa dari perspektif “pemberian modal” saja. Tetapi, haruslah dilihat bagaimana keadaan realita sebuah desa dan kualitas tata kelola pemerintahannya.

Pada 2023 saja, saya masih mendapati desa yang tidak memiliki listrik. Desa ini harus ditempuh selama tiga jam dari ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki. Bayangkan saja, jika ada masyarakat yang sakit keras, harus ditandu dengan bambu dan sarung untuk pergi ke kota dengan berjalan kaki untuk mencapai puskesmas terdekat. Fakta yang miris bukan?

Tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap para kepala desa yang telah berjuang keras memajukan desanya, akan jauh lebih baik jika pemerintah memperhatikan standar tata kelola pemerintahan desa sebagai motor utama pembangunan ketimbang memperpanjang masa jabatan kepala desa.

 

Editor: Prihandini N

Daniel Pradina Oktavian
Daniel Pradina Oktavian seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email