Seperti Itulah Perjalanan dan Puisi Lainnya

S. Salamun

1 min read

Seperti Itulah Perjalanan

Kita awali dengan gamang
jarak yang terbentang itu
tidaklah cukup kita jangkau
dengan igauan di puncak mimpi belaka

Kita perlu deru
membelah jalan untuk
menjaga kewarasan
di tengah kepala-kepala
yang merasa tuan

Seperti itulah perjalanan
kita layangkan kemarahan-
kemarahan jauh ke belakang
dalam serapah dan bising
mulut dan mesin

Kita, roda yang laju
ke arah mana
telah kita tetapkan
titik perhentian

Seperti itulah perjalanan
kita peluk segala tanda cuaca
searif kita

(2023)

Kita Tidak Minum Teh di Nagreg

Kita tengah panjatkan doa
di lingkar jalan yang mendaki

pekat aroma asap
bus yang menderu
menghapus ingatan kita pada
tangan-tangan nyonya
dan tuan yang menuang teh
ke poci-poci di beranda rumah
sembari menyebut-hanya nama
Herman Willem Deandels

Ini bukan tahun 1808

Kita tengah meracau
di zaman yang tidak pernah
diramalkan atau
kita yang mencari
tafsir sendiri-sendiri

dalam bahasa peperangan
penuh kebencian

Kita tidak minum teh di sini
sambil menatap kerlip
lampu-lampu di Utara

kita adalah amarah
yang menyisir tiap jengkal aspal
dan menolak santun bahasa

menebar ketakutan-ketakutan
di pintu-pintu rumah petani
seperti gerombolan-gerombolan
menebar dogma

Poci-poci kosong
dan sungguh, di dalam pekat kabut
lereng jalan ini
tak ada teh dituangkan

Begitu panjang
umur kehampaan

(2023)

Ke Barat Sebelum Petang

Lelah yang meraja,
ini tubuh lusuh
menuju Barat. Rumah
segala penat

Sebelum petang
dan usai kicau manyar
kita sudahi laju
kenangan kita padamkan

Semudah itu
seperti kantuk datang
pada puncak lelah
kita menyerah

Memang semudah itu.

(2023)

Di Rumah Makan

Kita selalu dikejutkan waktu
sebelum, ketika, dan sesudahnya
tapi kita menolak khianat
pada rasa lapar

Semesta ini, saudaraku
kumpulan makhluk-makhluk
yang kelaparan
dan rakus berujung kematian

Kita berhenti di sini
perut kita telah bernyanyi
kokok ayam jantan
pagi-pagi

(2023)

Setelah Perjalanan

aku butuh
tubuhmu yang kuncup
di pucuk malam

berpeluh kita
di titik hentian
mengalir air Citanduy
di tengah tubuhmu

kuhirup aroma Galunggung
dalam wangian purba

oh, mari kumekarkan
engkau di muara
sekelebat pandang
dari Segara Anakan

kita berpuas memandang
lepas penat perjalanan
dipeluk mite-mite
dalam tembang karuhun

(2023)

Kita Ngaso di Kota Ini

Kota ini adalah luka-luka
yang bekasnya kita belai
sambil kita tarik dan embuskan
asap kretek di emperan mini market

Jemari kita lihai menari
mengutip gerak bibir pesohor
di layar gawai
dan air mata telah surut di hulu
dalam buku-buku sejarah
yang enggan kita jamah

(2023)

Kita Pasti Berhenti

Kepastian adalah masa lalu
seperti tempat-tempat
yang telah kita singgahi
dan peristiwa kita kekalkan

Tujuan kita adalah kemungkinan-
kemungkinan yang inci demi inci
kita jalani dalam ngeri-kecemasan
sebelum kita benar-benar berhenti

Oh, kita adalah musafir
yang meniti garis-garis kemungkinan itu
dengan pertanyaan-pertanyaan
nasib yang padanya kita berkelit
dengan jawaban, “telah kita upayakan!”.

Lalu, semudah itu kita tutup
perbincangan dengan satu pertanyaan:
“Apakah kita telah sampai?”

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

S. Salamun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email