Seperti Itulah Perjalanan
Kita awali dengan gamang
jarak yang terbentang itu
tidaklah cukup kita jangkau
dengan igauan di puncak mimpi belaka
Kita perlu deru
membelah jalan untuk
menjaga kewarasan
di tengah kepala-kepala
yang merasa tuan
Seperti itulah perjalanan
kita layangkan kemarahan-
kemarahan jauh ke belakang
dalam serapah dan bising
mulut dan mesin
Kita, roda yang laju
ke arah mana
telah kita tetapkan
titik perhentian
Seperti itulah perjalanan
kita peluk segala tanda cuaca
searif kita
(2023)
–
Kita Tidak Minum Teh di Nagreg
Kita tengah panjatkan doa
di lingkar jalan yang mendaki
pekat aroma asap
bus yang menderu
menghapus ingatan kita pada
tangan-tangan nyonya
dan tuan yang menuang teh
ke poci-poci di beranda rumah
sembari menyebut-hanya nama
Herman Willem Deandels
Ini bukan tahun 1808
Kita tengah meracau
di zaman yang tidak pernah
diramalkan atau
kita yang mencari
tafsir sendiri-sendiri
dalam bahasa peperangan
penuh kebencian
Kita tidak minum teh di sini
sambil menatap kerlip
lampu-lampu di Utara
kita adalah amarah
yang menyisir tiap jengkal aspal
dan menolak santun bahasa
menebar ketakutan-ketakutan
di pintu-pintu rumah petani
seperti gerombolan-gerombolan
menebar dogma
Poci-poci kosong
dan sungguh, di dalam pekat kabut
lereng jalan ini
tak ada teh dituangkan
Begitu panjang
umur kehampaan
(2023)
–
Ke Barat Sebelum Petang
Lelah yang meraja,
ini tubuh lusuh
menuju Barat. Rumah
segala penat
Sebelum petang
dan usai kicau manyar
kita sudahi laju
kenangan kita padamkan
Semudah itu
seperti kantuk datang
pada puncak lelah
kita menyerah
Memang semudah itu.
(2023)
–
Di Rumah Makan
Kita selalu dikejutkan waktu
sebelum, ketika, dan sesudahnya
tapi kita menolak khianat
pada rasa lapar
Semesta ini, saudaraku
kumpulan makhluk-makhluk
yang kelaparan
dan rakus berujung kematian
Kita berhenti di sini
perut kita telah bernyanyi
kokok ayam jantan
pagi-pagi
(2023)
–
Setelah Perjalanan
aku butuh
tubuhmu yang kuncup
di pucuk malam
berpeluh kita
di titik hentian
mengalir air Citanduy
di tengah tubuhmu
kuhirup aroma Galunggung
dalam wangian purba
oh, mari kumekarkan
engkau di muara
sekelebat pandang
dari Segara Anakan
kita berpuas memandang
lepas penat perjalanan
dipeluk mite-mite
dalam tembang karuhun
(2023)
–
Kita Ngaso di Kota Ini
Kota ini adalah luka-luka
yang bekasnya kita belai
sambil kita tarik dan embuskan
asap kretek di emperan mini market
Jemari kita lihai menari
mengutip gerak bibir pesohor
di layar gawai
dan air mata telah surut di hulu
dalam buku-buku sejarah
yang enggan kita jamah
(2023)
–
Kita Pasti Berhenti
Kepastian adalah masa lalu
seperti tempat-tempat
yang telah kita singgahi
dan peristiwa kita kekalkan
Tujuan kita adalah kemungkinan-
kemungkinan yang inci demi inci
kita jalani dalam ngeri-kecemasan
sebelum kita benar-benar berhenti
Oh, kita adalah musafir
yang meniti garis-garis kemungkinan itu
dengan pertanyaan-pertanyaan
nasib yang padanya kita berkelit
dengan jawaban, “telah kita upayakan!”.
Lalu, semudah itu kita tutup
perbincangan dengan satu pertanyaan:
“Apakah kita telah sampai?”
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA