Pada laga final Piala Dunia 2022 yang mempertemukan Prancis dengan Argentina, Mbappe tampil begitu mengesankan hingga mampu mencetak hattrick. Meskipun tampil gemilang, pada akhirnya ia harus menelan pil pahit mana kala di akhir laga tendangan pinalti rekan satu timnya gagal membobol gawang Argentina yang dijaga oleh Emiliano Martinez. Tampaknya takdir Mbappe untuk menjuarai ajang bergengsi tersebut separuhnya ada di kaki pemain lain yang bahkan mungkin Mbappe sendiri tidak terlalu dekat dengannya.
Lain hal dengan Ronaldo. Ia pulang lebih dulu setelah dikalahkan Maroko 1-0. Cita-cita Ronaldo untuk mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola dengan membopong trofi piala dunia harus kandas, padahal ia sudah berusaha setengah mati lewat serentetan latihan yang ketat. Apa mau dikata, bermain atau tidaknya ia dalam pertandingan tetap bergantung pada keputusan pelatih. Selain itu krisis kepercayaan teman satu tim terhadap dirinya membuat Ronaldo terlihat kesusahan mencetak goal.
Jangan lupakan pula perjuangan Neymar sewaktu melawan Kroasia. Berkat Neymar Brazil unggul 1-0 pada menit-menit akhir dan hanya perlu bertahan untuk memastikan kemenangan. Sayangnya rekan satu tim Neymar terlalu berambisi mencetak gol sampai akhirnya melakukan blunder, Kroasia pun mampu melancarkan serangan balik cepat dan menyakaman kedudukan. Brazil pun pulang lewat drama adu penalti.
Manusia dan Kekecewaan
Kekecewaan seperti ini begitu akrab dengan manusia. Ungkapan bahwa hasil tidak pernah menghkianati usaha nyatanya mampu membuat manusia hancur di akhir. Mimpi yang diyakini akan tergapai lewat berbagai macam usaha serta kerja keras justru berbuah masam. Banyak hal di luar kuasa diri yang tidak bisa diprediksi. Terkadang hal itu menguntungkan, walaupun seringnya merugikan.
Baca juga:
Rasanya begitu Absurd ketika seseorang yang sudah berusaha sekuat tenaga menyumbang pikiran serta doa, harus nemerima kenyataan pahit sebab sebagian takdirnya bergantung pada kehendak atau kemampuan orang lain. Meskipun dalam situasi yang berbeda, fenomena seperti ini berulang kali terjadi pada diri kita. Agaknya manusia memang berjalan di sebuah lintasan bernama absurditas.
Keabsurdan manusia tidak pernah sampai pada makna ultim dari sebuah kehidupan. Di luar dari kaitannya dengan ajaran agama yang memercayai alam sesudah kematian yang bersifat abadi, hidup manusia di dunia memang hanya berpindah dari satu makna sementara ke makna sementara yang lain, dan itu pun sangat subjektif.
Kenapa sementara? Segala sesuatu yang ada di dunia masihlah terikat dengan waktu, dan apa-apa yang terikat dengan waktu sifatnya tidak abadi. Manusia sering meletakkan makna dengan harapan akan merasakan kebahagiaan pada sesuatu yang masih terikat dengan waktu, seperti status sosial, benda (mobil, motor, smartphone, dll), jabatan, pencapaian, interkasi dengan orang lain, dan sebagainya. Oleh karena itulah hidup manusia menjadi absurd.
Ada dua kemungkinan ketika manusia meletakkan makna pada sesuatu yang masih terikat dengan waktu. Satu, jika ia gagal, ia akan terperosok dalam jurang kekecewaan. Dua, jika ia berhasil, akan ada kebahagiaan yang terasa sesaat saja.
Setelah masa bahagia habis, manusia akan kembali kosong, lalu mencoba mencari makna pada sesuatu yang lain. Begitulah manusia, ia terus berjalan pada lintasan absurditas: mengulang kekecewaan, mengulang kebahagiaan sesaat, mengulang lagi kekosongan.
Perlu dipahami, selama masih hidup menusia tidak akan pernah bisa menolak absurditas. Manusia hanya bisa menerima absurditas sebagaimana adanya, sebab selagi masih hidup manusia akan selalu terikat dengan waktu, serta sukar terlepas dari pemaknaan subjektif.
Mengelola Rasa
Kesadaran akan absurditas akan membawa seseorang pada pemahaman bahwa kehidupan hanyalah sebuah perulangan rasa sedih, bahagia, haru, sepi, dll. Semua itu berkaitan erat dengan respons kita terhadap makna sementara. Ketika seorang paham bahwa hidup hanyalah pengulangan, ia akan lebih bijaksana dalam mengelola rasanya.
Andai seseorang berhasil mencapai makna sementara yang seringkali disebut tujuan, impian, hasrat, atau apapun itu, ia tidak akan menyombongkan diri ataupun hanyut dalam euforia. Ia tahu kebahagiaan yang ia capai serta miliki saat ini, pada suatu waktu akan memudar atau bahkan hilang tak berbekas.
Kemudian, jika ia gagal dalam mencapai makna sementara itu, ia tidak akan larut dalam kesedihan. Ia hanya perlu mencari makna sementara pada sesuatu yang lain. Toh apa pun hasilnya (tercapai atau tidak) segala impian, hasrat, pencapaian, dsb tidak akan selamanya ada bersama dirinya.
Baca juga:
Absurditas yang terkadang dipandang sebagai ketidakberartian hidup ternyata memilki sisi lain. Sisi yang menyediakan ruang kesadaran bagi manusia agar sejenak mengistirahatkan ambisi-ambisi atas makna sementara. Menghirup nafas panjang sembari memahami bahwa segalanya tak abadi. Segalanya punya batas waktu. Segalanya berjalan terkadang di luar dari rencana serta harapan.
Absurditas mengajarkan manusia untuk tidak menghukum diri atas kegagalan tercapainya kebermaknaan subjektif yang mereka ciptakan, sebab beginilah kehidupan yang begitu absurd dan sangat tidak menentu.
Lewat tokoh bernama Mersault, dalam novelnya yang berjudul Mati Bahagia, Albert Camus menuliskan dengan cukup runtut fenomena absurditas yang terjadi pada diri manusia. Mersault yang mencoba mencari kebahagiaan lewat pemaknaan subjektif yang ternyata selalu berakhir dengan kejenuhan, apa yang ia sangka sebuah makna ternyata kosong belaka.
Ketika kejenuhan itu kian memuncak dan kematian terasa begitu dekat, Mersault sadar akan absurditas yang menyelimuti dirinya. Bersama kesadaran tentang absurditas itu, Mersault menarik suatu kesimpulan, bahwa manusia tidak perlu memaksakan diri untuk membentuk irama hari agar sesuai dengan keinginan hati, namun bagaimana caranya menata hati agar sesuai dengan irama hari.
Manusia harus tetap menjalani hidup walaupun tanpa pemaknaan-pemaknaan subjektif. Sebagaimana Sisyphus yang menjalani hukuman dengan sadar dan penuh kebahagiaan.
Editor: Prihandini N
Transisi yang unik🤕
terimakasih,