Paradoks kemiskinan sebagai kekayaan yang tak tergantikan.
“Dahulu sekali, selama delapan hari, pernah aku bermewah-mewah dengan pelbagai hal di dunia ini: tidur tanpa atap, di sebuah pantai, hanya makan buah-buahan, dan menghabiskan separuh waktu di dalam air. Saat itulah aku belajar sesuatu yang membuatku menerima—dengan ironi, ketaksabaran, dan terkadang rasa gusar—tempat yang mantap dan nyaman … Aku tak tahu bagaimana memiliki.” —Albert Camus
Konflik pikiran manusia dengan kenyataan hidup begitu kerap terjadi. Misalnya, cita-cita menjadi dokter namun kenyataan menjadi dukun menimbulkan perasaan absurd bagi Camus.
“Yang kongkret” terutama menurut Camus mencakup tubuh “daging”. Ketika filosof Prancis, Jean Wahl, yang menulis Vers le concert (1932), sebenarnya telah mengajak warga negerinya merapat ke pandangan Heidegger, sepuluh tahun sebelum esai Camus berjudul Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus) terbit.
“Ateis sejak muda dan paru-parunya rusak oleh TBC sejak berumur belasan tahun membuat Camus sadar akan kematian.” (Mohamad, 2021)
Di masa perjuangan kemerdekaan Aljazair, Camus dikecam sebagai pendukung kolonialisme, dan hubungannya dengan Sartre pun putus. Itu sekitar tahun 1960-an. Sikapnya yang menentang kekerasan—yang kemudian meletakkannya dalam posisi yang sulit (dan membingungkan) dalam menghadapi Revolusi Aljazair, pergolakan di negeri tumpah-darahnya.
Muter-muter, mbolak-mbalik, membicarakan, mendebatkan sesuatu yang sudah pernah terjadi di ribuan tahun lalu dan menjadi Mitos Sisifus. Adalah bukan karena ide yang relevan membuatnya masih berguna di zaman sekarang, tetapi karena kita saja yang tidak naik kelas.
Maka yang harus dilakukan oleh manusia yang tengah terkungkung absurditas kehidupan menurut Camus adalah melakukan pemberontakan.
Definisi umum tentang pemberontakan paling sedikit bisa dimengerti dari dua definisi; Pertama, orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah; kedua, orang yang sifatnya suka memberontak atau melawan.
Untuk dua definisi di atas, pemberontak bisa dipersepsikan negatif atau sebaliknya. Pada umumnya, kebanyakan orang memberikan stigma kurang baik kepada pemberontak. Meski sebenarnya masih banyak ruang untuk memperdebatkan semuanya.
Itulah yang dipirkan Camus, pemberontakan baginya adalah cara untuk melepaskan diri dari absurditas hidup. “I rebel; therefore I exist” —Albert Camus, The Rebel (1951). Artinya, aku memberontak; maka aku ada. Boleh jadi pemikiran Camus dipengaruhi permenungan eksistensial René Descartes, “aku berpikir maka aku ada” dari bahasa Latin “Cogito Ergo Sum”.
Setiap orang, agar terbebas dari kungkungan absurditas kehidupan caranya adalah melalui pemberontakan. Maka pemberontakan bagi Camus adalah cara untuk menemukan eksistensi dalam diri.
Pemberontakan menjadi suatu penjungkirbalikan yang utuh (Albert Camus, The Rebel, 1951). Ia mencontohkan seorang budak yang bertindak di bawah ancaman cambuk majikannya. Tiba-tiba ia berbalik dan menghadapi majikannya. Ia menghadapi apa yang ia kehendaki atau senangi dan apa yang tidak.
Pemberontakan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai. Meski menurut Camus, tidak semua nilai memerlukan pemberontakan, tetapi setiap tindakan pemberontakan secara diam-diam meminta suatu nilai.
Seorang budak memaksakan dirinya untuk berontak ketika dia sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa suatu perintah telah melanggar sesuatu yang ada dalam dirinya yang tidak cuma menjadi miliknya saja, tetapi sesuatu yang menjadi dasar bersama di mana semua orang—bahkan orang yang menghina dan menekannya—memiliki komunitas alamiah.
Berdasarkan argumen ini, Camus mendapatkan dua observasi pendukung. Pertama, suatu aksi pemberontakan bukan tindakan egoistik. Pemberontakan tidak hanya muncul di antara mereka yang tertekan, tetapi pemberontakan dapat juga disebabkan oleh represi yang spektakuler di mana orang lain menjadi korban.
Kedua, sebaliknya. Sering terjadi di mana kita tak sanggup menanggung melihat siksaan-siksaan yang dilakukan kepada orang lain di mana kita sendiri telah menerimanya tanpa sebuah pemberontakan. Untuk argumen ini, Camus memberi contoh pada aksi bunuh diri massal yang dilakukan para teroris Rusia di Siberia yang merupakan protes menentang pencambukan terhadap teman-temannya.
Tujuan pemberontakan, kata Camus, adalah menuntut sesuatu yang telah ia miliki dan telah ia kenal sebelumnya. Jika kita elaborasi lebih jauh pernyataan Camus ini, “sesuatu yang telah ia miliki dan telah ia kenal sebelumnya” adalah selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Sesuatu yang ia kenal sebelumnya, bisa merupakan sesuatu dalam wilayah yang dicita-citakan.
Salah satu contoh adalah pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda. Selain memperjuangkan sesuatu yang telah dimiliki sebelumnya—yakni kemerdekaan—juga memperjuangkan nilai-nilai yang dicita-citakan, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Namun, kadang—sama seperti diungkap Max Scheler—pemberontakan kerap dikaitkan dengan kemarahan dan dendam. Padahal jauh dari itu, pemberontakan adalah laku terpelajar yang sangat menghormati hak-haknya.
Editor: Moch Aldy MA
pemberontak dan pemberontakan itu absurd. bukankah bagi camus, sang pemberontak jika ditanya akan menjawab iya sekaligus tidak? pemberontakan sebagai eksistensi manusia, menurutku kurang tepat jika disandingkan dengan peristiwa “revolusi fisik indonesia-belanda”, terlebih ditubuhkan dengan preambule uud 1945. bukankah camus tidak menghendaki revolusi? dan pemberontakan maupun revolusi adalah dua hal yang berbeda? lalu, apakah betul orang indonesia sebelum peristiwa tersebut “memiliki” kemerdekaan? dan apa itu cita-cita? bukankah absurditas camus menekankan dimensi merayakan hari (sekarang) yang absurd ketimbang optimis terhadap “cita-cita” masa depan? atau karena masnya sebagai “pemimpi pagi” sehingga menganggap imajinasi camus kepada sisifus juga sebagai mimpi? selain itu, bukankah pemberontakan juga bersifat egoistik? (lihat kembali analisis camus terhadap sade, stirner, atau nietzsche, di the rebel). tapi entahlah, semoga “kenirmaknaan” merangkul masnya, hingga kita dapat merayakan keabsurdan dengan pemberontakan. karena pada kenyataannya, pemberontakan jauh melampaui suatu tuntutan (claim) maupun makna atau keterselubungan nilai-nilai. terakhir, jangan lupa ngopi maszeh agar tidak bunuh diri :))