Sebelum agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hadir, sudah ada agama-agama yang lebih dulu dianut oleh masyarakat Indonesia. Penganut agama-agama tersebut adalah yang sekarang kita kenal dengan sebutan penghayat kepercayaan. Ini mengindikasikan bahwa agama adalah entitas yang keberadaannya tidak bisa lepas dari sejarah panjang perjalanan kehidupan bermasyarakat hingga saat ini.
Secara definitif, agama dapat diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan yang mengatur tentang bagaimana peribadatan kepada Tuhan yang diimani. Lalu, apakah suatu hal yang dipercayai dalam agama adalah suatu kebenaran?
Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut, tampaknya kita harus melakukan analisis filsafat agama atau refleksi filosofis atas gagasan-gagasan keagamaan. Filsafat agama hadir untuk menjawab banyak pertanyaan filosofis yang penting dalam konteks agama. Sebab, agama bukanlah sebatas peribadatan saja.
Baca juga:
Lebih dari itu, menurut filsuf dan teolog Chad Meister, agama memberikan makna dan tujuan tertinggi dalam menjalani kehidupan. Secara garis besar, ruang lingkup kajian filsafat agama terbagi menjadi dua. Pertama, menganalisis dasar-dasar agama yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa ajaran agama bukanlah sesuatu yang tabu dan tidak bertentangan dengan logika. Kedua, memikirkan dasar agama dengan tidak terikat pada suatu agama tertentu dan membenarkan ajarannya.
Ruang lingkup penjelasan filsafat agama memantik untuk mempertanyakan apakah agama tidak bertentangan dengan logika. Kemudian, dari situ pertanyaan bisa dilanjutkan dengan mengapa masih banyak manusia yang hidup menderita?
Sebagai manusia beragama, kita tentu sepakat bahwa dengan adanya agama berkaitan dengan mempercayai adanya Tuhan.Di kalangan penganut agama monoteistik, ada keyakinan bahwa Tuhan adalah zat yang maha tahu, maha kuasa, dan sepenuhnya baik dalam segala hal. Bila menggunakan asumsi rasio, kita harus secara menyeluruh menggunakan akal untuk dapat memahami kebenaran segala hal; termasuk jawaban atas apakah suatu hal yang dipercayai oleh agama adalah kebenaran yang mutlak.
Lain halnya bila kita menggunakan asumsi iman. Kita akan mendasarkan pemikiran kita dengan keyakinan bahwa hanya dengan percaya atau iman kita akan bisa menemukan kebenaran dari agama dan benar-benar memercayainya. Mungkin kita masih bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kebenaran agama, tapi ada iman sebagai pengikat kerangka berpikir dan landasan asumsi.
Selain itu, Chad Meister menulis pula bahwa terdapat dua posisi berseberangan para filsuf agama terhadap konsep kebenaran dalam wacana keagamaan. Yang pertama adalah realisme; sesuatu itu benar apabila ada rujukan aktual tentangnya. Kedua, non realisme, yakni klaim agama bukanlah tentang realitas yang melampaui bahasa, konsep, dan bentuk sosial manusia.
Kedua pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan tertentu. Posisi realis lebih mengutamakan pada asumsi iman atau disebut juga sebagai fideism oleh Marhaeni Saleh. Sementara itu, non realisme berpegang pada asumsi rasio atau naturalis. Pandangan non realis hendakmengembangkan rasio secara totalitas; tidak boleh terbatasi oleh asumsi-asumsi lain.
Lantas, apa fungsi iman dan rasio dalam keseharian kita? Sehari-hari, kita menyaksikan bagaimana manusia yang beragama sekalipun banyak mengeluhkan bahwa mereka telah, sedang, atau akan mengalami penderitaan. Saya membagi penderitaan manusia dalam dua jenis, yakni penderitaan jasmani dan penderitaan rohani.
Penderitaan jasmani adalah sakit yang timbul pada dan dirasakan oleh fisik, misalnya kelaparan. Untuk mengakhiri penderitaan jasmani, manusia perlu mengedepankan fungsi akal untuk berpikir bagaimana caranya bekerja guna mengakhiri kelaparan tersebut. Namun, bukan berarti iman tidak berfungsi, iman turut andil agar manusia tidak seenaknya dalam bekerja untuk mengakhiri kelaparan tanpa memikirkan baik atau buruknya pekerjaan tersebut.
Sementara itu, penderitaan rohani adalah rasa sakit yang timbul pada dan hanya dapat dirasakan oleh jiwa, misalnya depresi. Agar seseorang bisa lepas dari depresi, hanya menggunakan akal saja tentu tidak cukup. Dalam permasalahan ini, tentu lebih baik mengedepankan iman sebagai sarana untuk keluar (dan sarana pencegahan) depresi. Sebab, penderitaan rohani seperti ini tidak akan menemukan jawaban yang rasional bila hanya dinalar menggunakan akal.
Baca juga:
Filsafat agama sebagai sebuah refleksi filosofis yang tidak berkaitan dengan agama tertentu memberi jawaban bahwa agama tetap memiliki jasa yang mungkin tidak dijangkau oleh akal, tetapi kehadirannya sangat terasa oleh jiwa atau kehidupan kerohanian. Penerimaan kita terhadap kehadiran agama dan memercayai adanya Tuhan berdasarkan pada asumsi iman; argumentasi lain hanya merupakan konfirmasi dari sisi rasio.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa rasio dan iman adalah dua hal yang keberadaannya sangat penting bagi manusia dalam memahami agama. Pada setiap penderitaan yang hadir, agama memiliki peran dalam menyelesaikan masalah tersebut melalui jalur keimanan.
Pandangan ini memang berlawanan dengan pendapat Sigmund Freud yang menganggap bahwa agama adalah ilusi. Itulah mengapa penting untuk tidak memahami agama secara akal saja agar tidak terjebak dalam hal yang memaksakan sesuatu agar rasional. Sebab, kebenaran sejati dari apa yang dipercayai agama, termasuk mengenai keberadaan Tuhan, hanya bisa diyakini sepenuhnya bila Tuhan sendiri yang menyatakan diri-Nya dan bukan berasal dari hasil olah pikir manusia yang terbatas.
Editor: Emma Amelia