Emil Cioran, Penderitaan, dan Kapitalisme

Angga Pratama

3 min read

Mengutip Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Kebebasan manusia merupakan permasalahan yang substansial. Ketika manusia tidak mendapatkan kebebasan, ia akan menderita karena terkurung. Sebaliknya, ketika manusia mendapatkan kebebasan, ia akan berubah menjadi monster yang cukup menakutkan. Manusia yang bebas cenderung bersaing terhadap sesamanya. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Pepatah tersebut cukup masuk akal ketika kita melihat banyak orang menindas orang lain demi mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Di bawah bendera kapitalisme, penindasan sering dianggap lumrah karena itu adalah cara setiap orang mencari keuntungan dan kekuasaan agar dapat bertahan di bawah kultur kapitalistik. Penderitaan merupakan masalah klasik kapitalisme. Penderitaan tidak jarang dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Masyarakat enggan membicarakan penderitaan dan menutup mata mereka dengan kebahagiaan yang sebenarnya bersifat sementara. Ketika kebahagiaan sudah tidak dapat dirasakan lagi, penderitaan akan senantiasa menyambut kita untuk sementara waktu. Tapi manusia dengan egoisnya melupakan penderitaan sebagai bagian dari kehidupan individual atau kolektif.

“Tidak mempunyai bukanlah sekadar suatu kategori. Ia adalah suatu realitas yang paling memprihatinkan; dewasa ini orang yang tidak mempunyai apa-apa adalah bukan apa-apa (tidak berarti) … ”Karl Marx & Friedrich Engels, Keluarga Suci (1844)

Ketidakpunyaan dan Penderitaan

Tidak memiliki apa-apa merupakan salah satu bentuk penderitaan major. Hal tersebut digunakan manusia sebagai bukti bahwa ia tak bisa lepas dari ketiadaan harta. Hal itu juga digunakan manusia untuk berpasrah diri, menunggu seseorang mengulurkan tangan dari langit ke-8 agar membuatnya mampu memiliki suatu pembeda dari orang yang masih dalam ketiadaan harta benda.

Baca juga:

Tentu saja fenomena ketiadaan harta benda merupakan masalah klasik yang timbul akibat pergesekan kelas. Efisiensi kerja dan persaingan terbuka di sektor perekonomian dalam kapitalisme menimbulkan potensi bertambahnya kelas proletar dari kapitalis kecil atau sedang yang gagal mempertahankan posisi dalam persaingan ekonomi. Akibatnya kesenjangan sosial akan semakin terasa. Dan tidak jarang kita akan menemukan orang-orang yang tidak mampu melawan, sebab mereka harus mementingkan diri sendiri agar kebutuhan primer tetap terpenuhi. Perlawanan agar mampu keluar dari bayangan kapitalisme dikesampingkan. Mereka memilih tetap hidup di dalam penderitaan selama masih mampu bertahan dari belas kasih sang penindas.

Emil Cioran dan Pemikiran Negatif

Kebahagiaan dapat manusia rasakan ketika dapat menemukan penderitaan di dalam hidup. Jika penderitaan tidak ditemukan atau dirasakan, sudah tentu makna dari kebahagiaan saat ini akan berbeda. Dan bisa jadi kebahagiaan dianggap sebagai kebetulan belaka. Emil Cioran dikenal sebagai salah satu filsuf yang erat dengan pemikiran negatifnya (pesimisme, nihilisme, kehampaan, absurdisme). Cioran melihat seseorang yang enggan membahas penderitaan tidak mampu menemukan dan berdamai dengan penderitaan itu sendiri. Legitimasi penderitaan adalah metode yang ditawarkan Cioran agar kita dapat melepaskan budaya dan tabu untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari hidup.

“We can endure any truth, however destructive, provided it replaces everything, provided it afford as much vitality as the hope for which it substitutes.”Emil Cioran, The Trouble with Being Born (1976)

Seseorang punya kemampuan menerima rasa sakit yang cukup besar. Oleh karenanya, mengakui penderitaan selayaknya mengakui kebahagiaan adalah hal yang relevan dan sangat dianjurkan. Ketika penderitaan tidak dilegitimasi dan diabaikan begitu saja, tentu kebenaran tidak akan pernah tercapai. Penderitaan sejatinya termasuk kebenaran, di dalamnya tergambar kejujuran peradaban yang lebih nyata dibandingkan dengan kebahagiaan, khususnya kebahagiaan kapitalisme yang berasal dari penindasan dan destruksi ekonomi.

Legitimasi Penderitaan Manusia

Manusia dengan permasalahan hidup yang cukup kompleks terkadang punya sisi optimistik. Ia percaya akan mencapai kebahagiaan setelah melewati permasalahannya. Seperti dua sisi mata uang, sifat optimistik punya sisi baik dan buruk.

Sisi baik optimisme adalah ketika masih mampu memberikan kekuatan bagi manusia untuk terus berjuang. Sementara sisi buruk optimisme adalah ketika sudah kehilangan daya dan secara brutal berdampak pada tindakan destruktif seseorang yang tidak lagi menemukan alasan untuk terus hidup. Cioran melihat seseorang yang optimis adalah orang yang justru paling berpotensi untuk bunuh diri.

Mengapa demikian? Seseorang yang optimis akan merasa tidak berguna ketika ia tidak lagi memiliki semangat. Bagi Cioran, bunuh diri merupakan perilaku yang tidak disarankan dan sia-sia, sebab dapat membunuh kekuatan kreatif manusia yang seharusnya mampu dimanfaatkan. Legitimasi penderitaan ini bertujuan untuk menerima, mengakui, membicarakan, menganalisis, dan hidup di dalam penderitaan selayaknya hidup di dalam kebahagiaan. Penderitaan selalu melekat dalam kehidupan manusia. Proses kehidupan manusia sendiri sudah cukup menjadi bukti untuk menyatakan bahwa penderitaan adalah anugerah untuk tetap hidup.

Penderitaan sebagai anugerah manusia untuk bertahan hidup adalah sebuah premis yang terdengar komikal dan radikal. Seperti yang sudah kita bahas, seseorang yang optimis berpotensi tinggi untuk mengakhiri hidupnya, dan seseorang yang terbiasa dengan penderitaan cenderung bertahan hidup di dalam kebenaran yang destruktif.

Baca juga:

Manusia harus mengakui bahwa penderitaan sama pentingnya dengan tindakan memenuhi kebutuhan dasar. Penderitaan sama pentingnya dengan kebutuhan dasar adalah premis yang layak untuk dipertimbangkan. Penderitaan mesti diakui agar seseorang tidak membunuh kreativitas yang mereka miliki. Tindakan ini cukup relevan di tengah bayangan kapitalisme dan menjadi salah satu cara yang cukup efisien bagi seseorang ketika terus dihujam penderitaan.

Ada banyak jenis dan kompleksitas penderitaan. Akibatnya, ketika kita mampu menerima diri atas penderitaan yang ada, kita akan menyadari bahwa penderitaan yang diciptakan kapitalisme tidak terlalu buruk. Kita masih memiliki kemampuan kreatif agar penderitaan yang ada teratasi melalui cara-cara efisien bagi diri kita. Ketika suatu penderitaan diterima dengan layak, kita tidak akan termanipulasi oleh kebahagiaan ciptaan kapitalisme yang menuntut manusia untuk terus menggunakan seluruh kemampuan dan harta benda agar selalu merasa bahagia. 

Mengapa Kita Sulit untuk Menerima Penderitaan?

Penderitaan yang dikeramatkan, dialienasi, dan disangsikan oleh masyarakat merupakan budaya ciptaan kapitalisme. Budaya ini akan membawa manusia pada pencarian tanpa akhir atas kesenangan-kesenangan temporal yang justru menipu mereka. Penipuan diri ini adalah metode para kapitalis untuk membuat seseorang merasa takut atas penderitaan dan tidak menerimanya sebagai bagian dari kehidupan. Tentu saja tujuannya untuk melanggengkan penindasan dan menghipnotis seseorang agar terus mengonsumsi komoditi dan kebahagiaan palsu. Akibatnya, seseorang akan terus mencari kebahagiaan lainnya agar tidak terjun ke dalam penderitaan yang sebenarnya sudah begitu dekat.

Tentu saja Cioran melihat tindakan ini sebagai kehidupan yang kurang bermanfaat, meski Cioran sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana manfaat dari kehidupan yang sesungguhnya. Ia erat dengan kesia-siaan, dan tentu saja menganggap kebahagiaan palsu dari kapitalisme sebagai kesia-siaan yang sia-sia. Tentu kita lebih baik menerima penderitaan yang penuh kebenaran dan kejujuran ketimbang jatuh ke dalam kebahagiaan palsu kapitalisme.

 

Editor: Prihandini N

Angga Pratama

2 Replies to “Emil Cioran, Penderitaan, dan Kapitalisme”

  1. Hidup ini adalah penderitaan. Kebahagiaan hanya ada pada mahluk yang nihil. Akhiri saja hidupmu, itu lebih baik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email