Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Tokoh yang Menawar Rasa Lapar

Rizki Muhammad Iqbal

3 min read

Novel Lapar karya Knut Hamsun, seorang penulis asal Norwegia yang mendapatkan hadiah nobel pada 1920 menyajikan suatu catatan yang miris tentang realitas keseharian tokoh aku. Terlihat jelas bagaimana mahirnya Knut Hamsun dalam menggerakkan tokoh aku untuk terus menulis meskipun diterpa oleh wabah kelaparan yang mengharuskan dirinya untuk mengakui kekalahan dalam hidup. Bahkan penulis agung yang dikagumi Hamsun, Bjornstjerne Bjornson, pun memberinya nasihat:

“Jangan membuang waktu untuk menulis buku! Andaikan bertubuh tinggi kekar dan rupawan, lebih baik jadi pemain drama!”

Gaya bercerita Knut Hamsun dapat membuat pembaca seakan-akan turut merasakan penderitaan yang dialami tokoh aku. Hamsun berhasil menarasikan detail-detail yang ada berdasarkan persepsi tokoh aku secara baik. Namun tetap saja, bagi sebagian pembaca yang lain, mungkin, gaya bercerita seperti ini akan terkesan membosankan.

Di sepanjang novel kita hanya akan disuguhkan tentang bagaimana tokoh aku terus memeras otak sambil terus menahan rasa lapar yang tidak bertepi. Tokoh aku hanya ingin memenuhi kehendaknya untuk menulis, dan mendapatkan sedikit uang yang hanya mampu untuk membeli sedikit makanan yang dapat membantunya menahan lapar beberapa hari ke depan.

Dengan nuansa eksistensialisme yang kental, novel ini sekaligus menjadi gambaran realitas masyarakat Norwegia pada tahun 1850-an. Tokoh aku saat itu hidup di salah satu kamar dari rumah induk semangnya di Kristiania, sebuah kota yang sekarang berubah nama menjadi Oslo, ibukota Norwegia.

Di sepanjang perjalanan ceritanya, aku sering berpindah-pindah tempat karena tidak mampu membayar uang sewa kamar. Bahkan beberapa kali uang untuk makan pun harus didapatnya dari melucuti satu persatu apa yang dia punya untuk digadaikan, mulai dari jas, kancing baju, kacamata, bahkan selimut hijau milik temannya.

Kelaparan yang dideritanya bukan hanya mampu membuatnya lebih peka dan waspada terhadap lingkungan di sekitarnya, namun juga dapat membuat hati dan pikirannya berubah-ubah secara ekstrem. Ketika sedang lapar, aku dapat berbuat sesuatu yang mampu menyenangkan dirinya— setidaknya berusaha menghilangkan sakit perut luar biasa akibat belum makan selama berhari-hari. Aku pernah mengganggu dua orang perempuan yang sedang berjalan dengan hanya berdiam sambil terus mengikutinya. Ketika aku telah mendahului mereka berdua, aku menyebut bahwa buku yang mereka bawa itu terjatuh, secara berulang-ulang, padahal mereka tidak membawa buku. Mungkin rasa lapar yang luar biasa mampu membuat kesadaran manusia menurun drastis hingga membuat efek mabuk seperti yang diakibatkan oleh alkohol.

Fleksibilitas Moral

Secara umum, prinsip dasar yang dipegang oleh tokoh aku adalah wujud perilaku yang luar biasa baik. Dia juga rela melawan penderitaannya yang paling akut hanya untuk memenuhi kehendaknya yang paling agung. Di tengah musim dingin yang ekstrem, aku bisa tertidur di bangku taman setelah sekian lama berusaha untuk terus menulis sambil menahan rasa lapar. Bahkan pada kegilaannya akibat lapar, aku dapat berkeliling kota untuk mengetuk satu persatu pintu rumah yang disinggahinya secara serampangan sambil membual cerita-cerita yang tidak dimengerti oleh para pemilik rumah tersebut. Rasa puas dan senang yang didapatnya dari melakukan hal-hal yang tidak perlu itu semata-mata untuk mengabaikan rasa laparnya.

Dia mengumpat, bahkan merampas kue milik nyonya penjual di depan apotek yang pernah memberinya uang secara cuma-cuma, kemudian menyisakan satu kue untuk seorang bocah yang menangis karena diludahi oleh seseorang. Kemudian aku juga pernah berjalan di belakang seorang tua renta yang tergopoh-gopoh sambil memakinya kuat-kuat dalam hati. Karena tidak sabar, aku memegang pundak tua renta itu, dan tiba-tiba tua renta itu meminta sedikit uang untuk membeli susu—sebab dia belum makan selama seharian. Dengan segera, aku bergegas menuju pegadaian untuk menggadai jas miliknya hanya untuk satu setengah krone. Lalu semua uang yang didapatnya itu diberikan pada tua renta tadi, padahal aku juga belum makan selama berhari-hari!

Inilah kekurangan tokoh aku. Prinsip moral yang dibawanya memang baik dengan semangat altruisme yang luar biasa. Namun tetap saja dia harus kembali menahan rasa perih di perutnya sendiri akibat lapar yang tak berkesudahan.

Sebagai seorang protagonis, aku mampu melakukan aktivitas filantropi yang naif—sebuah aksi kemanusiaan tanpa memedulikan diri sendiri. Pada sisi antagonisnya, dia bisa membual cerita-cerita yang tidak ada hanya untuk mendapatkan kedudukan terhormat ketika menginap di pos penginapan tunawisma.

Aku juga mengambil uang yang bukan haknya ketika dia membeli lilin karena pelayan toko secara tidak sadar memberinya uang kembalian, padahal aku belum sempat membayarnya. Namun pada akhirnya aku kembali ke toko tersebut dan memaki-maki si pelayan karena tidak sadar bahwa dirinya sudah ditipu oleh aku. Aku mengaku secara terang-terangan kemudian pergi begitu saja. Bahkan aku juga memaki-maki Tuhan dengan sumpah serapah akibat penderitaannya yang tidak kunjung membaik.

Sebagai seseorang yang menderita, seharusnya aku mampu berpikir sedikit lebih panjang dan berlaku egois untuk sementara waktu. Dia bisa saja melucuti prinsip moralnya yang kaku itu untuk membenahi dirinya sendiri—setidaknya dengan menghemat uang yang didapatnya lebih lama agar bisa terus mengisi perut sambil menulis dan mengumpulkan uang. Ketika kondisinya sudah stabil, barulah dia bisa melanjutkan prinsipnya sebagai seorang altruis yang dermawan. Lebih baik begitu, daripada dia harus kembali mengemis sebuah tulang dari sisa daging yang dipotong mentah untuk digigit-gigit bagian sisinya, atau memakan kayu-kayu kecil untuk mengisi perutnya, atau bahkan menggigit jarinya keras-keras hingga terluka!

Diperlukan sebuah fleksibilitas moral dalam hal seperti ini. Kita tidak perlu bersikap terlalu serius pada idealisme yang kaku, namun juga perlu menyesuaikan moral pada keadaan yang sedang mencekik kehidupan. Bagaimanapun juga, seseorang perlu memedulikan dirinya sendiri sebelum memedulikan orang lain yang sama-sama menderita. Ketika aku tidak menolong seseorang yang terlihat menyedihkan baginya, bukan berarti aku adalah sosok yang jahat atau antipati pada kemanusiaan.

Di perjalanan menuju akhir cerita, tokoh aku tinggal di sebuah rumah dari induk semangnya yang baik hati karena tetap memberikannya sarapan roti, padahal aku belum membayar uang sewa kamar selama beberapa minggu. Aku berjanji akan membayarnya penuh—bahkan memberinya bonus—ketika naskah drama tentang Abad Pertengahan yang sedang ditulisnya itu selesai. Ketika datang seorang pelaut yang bersedia membayar uang tunai untuk kamar aku, aku-pun diberi instruksi untuk tidur di ruangan keluarga induk semang.

Bukannya mencoba menahan diri untuk berdiam diri sementara waktu agar tidak diusir dari situ, aku secara mekanis membela kakek tua lumpuh (orang tua induk semang) yang meludahi dua anak induk semang yang terus mengganggunya dengan sebatang rumput kering yang ditusuk-tusukkan pada telinga dan mata sang kakek. Karena kejadian itu, induk semang marah besar karena aku berani ikut campur urusan keluarga, dan mengusirnya secara kasar.

Pada akhirnya, aku harus mengakui kekalahannya lagi. Dia kembali menjadi seorang tunawisma kelaparan yang tidak kunjung mendapatkan situasi yang baik untuk menulis. Aku harus bersepakat dengan keadaan. Dengan kondisi yang menyedihkan, ditambah rasa lapar yang menggerogoti perutnya yang kurus, aku merobek-robek naskah tulisannya yang belum selesai dan merajuk pada seorang nahkoda untuk bisa bekerja sebagai apa saja—demi uang; demi makanan; demi kehidupan.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email