Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Hidup Bersama Raksasa Kebun Karet Kalimantan Barat

Ach. Ghifari

2 min read

Buku Hidup Bersama Raksasa yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang antropolog, Tania Murray Li dan Pujo Semedi. Mereka melakukan penelitian sejak tahun 2010 sampai 2015 dengan terjun langsung ke lapangan. Di mana tempat penelitiannya berlokasi di area perkebunan, tepatnya di Kecamatan Tanjung, Kalimantan Barat.

Buku ini mengajak pembaca untuk menyelami lanskap kapitalisme dalam kehidupan agraria Kalimantan Barat. Bagaimana lahan tanah yang membentang itu menjadi hak milik perusahaan besar. Termasuk pula terjadinya perampasan tanah, dukungan negara terhadap kolaborasi antara perusahaan nasional dengan perusahaan asing yang menimbulkan berbagai macam kerusakan lahan pertanian yang dijamah habis-habisan, dan sistem pengelolaan perusahaan yang sewenang-wenang terhadap para pekerja.

Penelitian tersebut ditulis menggunakan dua jalur pendekatan. Pertama, melalui pendekatan ekonomi-politik yang ditarik kembali ke dalam teorinya Marx, yang mengkritisi bagaimana trik modal, tanah, dan para pekerja, yang dibentuk memiliki karakter meraub laba, sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Kedua, pendekatan teknologi-politik yang ditarik melalui pemikiran Foucault, yaitu mengenai produksi subjek, pemerintahan wilayah, dan populasi.

Sedangkan lokasi yang dijadikan fokus penelitian dalam buku ini adalah perkebunan Natcho dan Priva. Perkebunan Natcho adalah perkebunan yang berkonsentrasi di bagian perusahan negara. Perusahaan ini cenderung “semi tertutup” dengan luas tanah 5.000 hektar. Seorang manajer selain bertugas di bagian produksi dan mengais laba, juga dituntut untuk mengontrol ketat para pekerjanya yang hidup di area perkebunan. Natcho memiliki corak yang mengusung mandat sosial utopis sebagaimana kota belahan dunia di abad 20, seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Zambia. Sementara itu, perkebunan Priva adalah perkebunan yang dikelola perusahaan swasta dengan luas tanah 39.000 hektar. Perusahaan ini lebih sedikit mengusung misi tujuan sosial dan sebagian dari para pekerjanya diambil dari desa-desa sekitar.

Sistem perusahaan kelapa sawit tersebut ternyata menerapkan praktik kapitalisme yang begitu besar. Mendayagunakan para pekerja untuk mengais penghasilan yang ujungnya berdampak pada pemilik perusahaan sebagai pemeras keuntungan besar.

Misalnya pasangan suami istri Monah dan Godril. Mereka adalah imigran yang sudah lama bekerja sebagai karyawan di Natcho. Mereka begitu kesal terhadap tindakan manajer yang seenaknya sendiri dan hanya untuk kepentingan dirinya semata. Termasuk dalam mengambil kebijakan yang kerap dapat membunuh para pekerja secara tidak langsung. Tidak heran apabila perusahaan tersebut mengalami krisis ekonomi akibat banyak melakukan korupsi.

Monah dan Godril sudah muak melihat kalimat motivasi yang ditempel di setiap sudut perkebunan. “Perusahaan Sehat, Karyawan Sejahtera”. Itu semacam paradoks guna mendorong semangat kerja karyawan. Bahkan ketika para manajer dan staf kantor mendapatkan perintah membantu tenaga kerja lapangan, hadirnya mereka sama sekali tidak ada gunanya. Sebab mereka tidak akan tahu cara kerja yang dilakukan di perkebunan. (hlm. 115-116)

Tidak hanya itu, pada tahun 1980 di saat perusahaan Natcho menguasai 12.000 hektar konsesi yang habis masa berlakunya. Mereka dengan leluasa menanam kelapa sawit tanpa sepengetahuan warga sekitar. Karena perusahaan Natcho berpandangan bahwa dirinya tidak perlu meminta izin langsung kepada warga. (hlm. 60-61)

Hal yang paling miris adalah di saat perusahaan mengganti rugi atas lahan yang diambil, mereka menjanjikan akan menggantinya berupa pohon karet dan buah-buahan tanpa lahan tanah. Kemudian mereka mendatangkan buldoser untuk menumbangkan pohoh karet dan tanah, dengan dijaga ketat oleh anggota polisi bersenjata. Warga tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanyalah dipandang sebagai orang yang bodoh, primitif, tidak berkembang, dan dijadikan sebagai ancaman pembangunan. Pihak perusahaan leluasa memonopoli sektor pertanian di sana. (hlm. 61)

Tentu ketimpangan sosial pun terjadi, dan masyarakat sebenarnya ingin melakukan perlawanan terhadap Natcho. Karena warga sekitar yang berada di pinggiran perusahaan sudah kehilangan mata pencaharian dan melihat kemakmuran perusahaan semakin jaya. Sedangkan mereka tidak memiliki akses atas tanah mereka sendiri.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Ach. Ghifari
Ach. Ghifari Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email