Penulis, Peneliti dan Pendidik di Akademi Gajah, Kota Mataram.

Kebudayaan Industrial dan Padamnya Kegairahan Petani

AS Rosyid

3 min read

Saya punya pertanyaan: mengapa kebanyakan petani hari ini tidak terlihat bergairah?

Saya melihatnya demikian. Rasanya sudah sering saya melawat ke banyak desa dan beruluk sapa dalam seperminuman kopi dengan warga yang seorang petani pemilik, petani penggarap atau buruh tani. Saya melihat mereka kelelahan, lebih dari sekadar fisik. Di Lombok, petani menjual sawah ladangnya secara sukarela. Mereka ingin menikmati janji-janji investasi.

Bila petani terpaksa menjual tanah, mungkin itu lain cerita. Banyak petani miskin terpaksa menjual sepetak dua petak sawahnya karena butuh uang sekejap. Sebagian terpaksa menjual karena tidak kuat menghadapi proyek pembangunan dan agenda industrialisasi. Ruang hayat harus dikorbankan negara demi pertumbuhan ekonomi. Petani mengalami kriminalisasi.

Petani juga terpaksa menjual tanah mereka karena hasil yang tidak menjanjikan. Ternyata, ada para pemain yang mengambil untung sangat banyak di balik pertanian tanpa perlu mengayunkan satu pacul pun. Mereka mengendalikan harga dan sanggup merugikan petani. Hasil tani seringkali terlalu murah dan tidak sepadan dengan modal yang petani keluarkan. Namun, itu soal lain.

Saya mempertanyakan kegairahan. Ia memudar secara dominan di kalangan petani kita hari-hari ini―dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun, menurut pembacaan saya atas sejarah.

Apa itu kegairahan? Binar mata saat mengerjakan pertanian karena suatu ideologi. Hanya sedikit petani yang menikmati percumbuan dengan tanahnya bak umat beragama dengan rumah ibadahnya. Hanya sedikit petani yang melihat pertanian sebagai bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan sekaligus. Artinya, melihat pertanian sebagai kebudayaan luhung.

Dengan visi semacam itu, petani mungkin tidak akan mudah menjual tanah demi satu dua keperluan jangka pendek. Dengan kegairahan seperti itu,  petani mungkin bersedia hidup mati melindungi tanah dari ancaman korporasi. Kini, seolah-olah kegairahan petani tidak terletak di atas tanahnya. Seolah-olah, petani sedang mengejar kegairahan lain. Tanah hanyalah alat produksi, tak lebih dari sarana untuk mencapai kegairahan lain itu.

Apa motif petani bertani, hari ini? Demi tujuan apa petani bertani? Seberapa berharga pertanian itu, menurut petani, dan kenapa? Bila pertanian tidak lagi berharga dalam dirinya sendiri, maka apakah yang lebih berharga bagi petani dan layak dikejar―selain hidup sehat dan keluarga bahagia, tentu saja? Dan bila yang berharga bukanlah pertanian itu sendiri, apa konsekuensinya?

***

Saya percaya, ada satu masa ketika kegiatan bertani dipenuhi kegairahan. Itu adalah masa ketika pertanian disangga oleh kebudayaan. Sebelum era industri, kebutuhan manusia tidak banyak. Kebutuhan yang tidak banyak itu menyatu dengan budaya. Bertani secara langsung memberi akses dan kemudahan kepada kebutuhan raga, jiwa dan rohani.

Kebutuhan jasadi manusia era pertanian berupa pangan, obat-obatan, papan dan sandang. Mereka memenuhinya dari apa-apa yang disediakan oleh tanah. Petani tidak hanya menanam padi, tapi juga keperluan dapur. Kebutuhan juga dipenuhi dengan gotong royong. Obat-obatan juga demikian. Paman saya pernah hampir putus jempolnya karena salah tebas. Dengan ramuan tumbukan daun ketujur atau turi, ia sembuh dalam dua minggu.

Kebutuhan jiwa manusia era pertanian berupa permainan dan kesenian. Di masa saya kecil, anak-anak membuat bledokan dari bambu dengan benih jambu air sebagai pelurunya. Nenek merautkan untuk saya gasing dari kayu jambu batu dan membuatkan alit-nya dari kulit pelepah pisang. Nenek memelintir alit di antara telapak tangan dan paha, hingga pahanya memerah. Alat musik tiup dan petik, perkakas wayang, diperoleh dari alam.

Kebutuhan rohani manusia era pertanian berupa ritual dan pendidikan. Ritual adat dan agama menggunakan anasir-anasir alam yang didapat dari sawah ladang, hutan dan mata air. Pendidikan dilangsungkan di ruang hayat, dengan kurikulum pengetahuan tentang kekayaan alam dan cara mengolahnya. Tentu saja ada momen khusus generasi tua mewariskan budaya pada generasi muda.

Untuk memenuhi kebutuhan itu manusia tidak butuh banyak uang. Mereka hanya perlu giat bertani dan telaten merawat hubungan sosial.

Hari ini berbeda. Petani punya skala kebutuhan yang lebih kompleks dan semua itu ia harus penuhi dengan cara membeli di pasar. Akses non-pasar yang biasanya dipenuhi dengan gotong royong berkurang. Anak-anak petani main game online yang membutuhkan ponsel pintar dan pulsa. Saya pernah melihat petani Hindu membeli bunga untuk keperluan sembahyang. Petani tua harus pergi ke puskesmas untuk disuntik karena sakit remeh temeh.

Kebutuhan akan pendidikan cukup menarik. Kebutuhan ini menawarkan semacam ilusi untuk mengantisipasi masa depan. Seberapa stabil dan pasti masa depan itu? Perubahan terjadi gila-gilaan. Manusia selalu dituntut untuk belajar hal yang baru. Untuk mengantisipasi ketidakpastian itu, petani harus membayar mahal. Uang seragam. Uang buku. Uang praktikum. Uang bangunan. Pertanyaannya, dari mana ilusi itu datang?

Saya percaya, kebutuhan baru petani didapat dari hasil rekayasa panjang dunia industri. Budaya massa yang diciptakan oleh kapitalisme global memengaruhi imaji petani tentang rumah yang bagus, baju yang bagus, kendaraan yang bagus, konsep sukses-terbelakang, dll. Budaya massa menyerang petani dari dalam, dari kebudayaannya.

Selain budaya massa, serangan datang justru lewat lembaga pendidikan. Di sana, generasi muda petani belajar menghadapkan wajah pada dunia yang bukan dunia bapak ibu dan kakek nenek mereka: cara pakaian, cara berpikir, dan cita rasa masa depan khas kelas menengah. Petani tua merestui petani muda menyongsong dunia baru yang berlawanan dengan kebudayaan tani.

***

Kegairahan hilang karena kebudayaan tani yang dikembangkan bangsa petani di era pertanian diubah menjadi kebudayaan industrial. Petani terseret dalam logika untung rugi khas urban, demi memenuhi kebutuhan hidup ala urban. Persepsi mereka diubah dan mereka bertani demi ekspektasi baru. Untuk mengembalikan kegairahan petani, perjuangan kebudayaan dibutuhkan.

Namun, perjuangan kebudayaan pun tidak mudah. Kita berhadapan dengan zaman yang telah berubah. Berubahnya zaman berarti berubahnya the whole aspects of life. Petani adalah produk era pertanian dengan kebudayaan yang khas, namun mereka terjebak dalam era industrial dengan kebudayaan yang sangat berbeda. Bagaimana kita menentang arus itu?

Saya percaya perubahan harus dicicil. Tidak peduli cicilan itu berlangsung ratusan tahun dan dengan tangan, kaki, keringat, darah dan air mata jutaan orang. Inti perjuangan kebudayaan adalah perlahan memalingkan wajah petani dari basa-basi kehidupan era industrial. Bagaimana caranya agar kelestarian alam dan nilai-nilai kebudayaan bisa terasa lebih berharga di hati, daripada imajinasi hidup dan mode konsumsi ala kelas menengah. []

AS Rosyid
AS Rosyid Penulis, Peneliti dan Pendidik di Akademi Gajah, Kota Mataram.

2 Replies to “Kebudayaan Industrial dan Padamnya Kegairahan Petani”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email