Petani Milenial: Meringis di Negeri Agraris

Elis Nurhayati Hart

3 min read

“Sekarang ini generasi muda sangat sedikit yang terlibat di dunia pertanian. Dalam jangka panjang, tentu ini akan membahayakan karena pertanian termasuk salah satu pemasok kebutuhan pokok berupa penyediaan pangan.” (Qomarun Najmi, Sektimuda)

 

Mengapa anak muda enggan kembali ke desa untuk membangun kampung halaman seusai merantau untuk belajar dan bekerja di kota? Jawabannya lugas dan sederhana: tidak semua anak muda punya privilege dan akses terhadap sumber daya. Mungkin saja orangtua mereka sudah habis-habisan menjual aset lahan untuk biaya kuliah. Menjadi buruh tani adalah nasib yang tak diinginkan oleh orangtua bagi dirinya dan keturunannya. Juga, ada anggapan bahwa pulang ke desa hanya bagi mereka yang kalah dan tak mampu bersaing di kota.

Banyak anak muda yang membayangkan kehidupan seindah ini: Bekerja sebagai petani di siang hari, membaca buku dan mengamati bintang di malam hari, dengan sesekali nyambi sebagai Youtuber dan content creator, semata romantisasi “cottagecore”. Kenyataannya, bertani adalah pekerjaan berat dan hasilnya tidak sebanding dengan modal waktu, tenaga, biaya, dan pikiran – termasuk harus berkorban perasaan.

Ayah dan adik saya adalah saksi hidup ketidakpastian nasib petani. Mereka bertani sayur dan beternak ikan di Garut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap bulan mereka tetap membutuhkan suntikan dana tambahan untuk membeli kebutuhan tani, entah itu bibit dan benih, atau pupuk dan pakan, atau bayar upah pegawai harian yang membantu di lahan milik keluarga. Saat panen tiba, bukan laba yang dituai sebagai imbalan setelah bekerja membanting tulang, melainkan rasa dongkol karena harga jual hasil panen tak sebanding dengan modal yang keluar. Pengalaman pahit keluarga saya juga menimpa banyak petani di negara yang membanggakan diri sebagai negara agraris ini.

Setidaknya, ada tiga penyebab utama di balik kenyataan pahit yang harus diterima petani Indonesia.

Pertama, kebijakan pemerintah yang mengakibatkan ketergantungan kita terhadap impor produk pertanian. Produk gandum yang kita tidak kuasai cara menanam dan teknologinya justru kita impor hingga 18,9 persen dari pangan nasional. Selain itu, banyak warga tidak lagi mengenal pangan lokal seperti ganyong, gembili, sorgum, sagu, sukun, dan berbagai jenis umbi, yang dulunya dipergunakan sebagai sumber pangan utama atau produk cadangan dan substitusi pangan nasional.

Kedua, pergeseran pola konsumsi dari produk pangan lokal menjadi produk pangan dari luar, yang dapat mengakibatkan kerawanan dan perebutan sumber daya. Pangan lokal kian hari kian terpinggirkan. Kebijakan penyeragaman makanan pokok berupa beras yang sistematis, terstruktur dan masif dari Sabang sampai Merauke, membuat kerawanan pangan semakin mengancam. Lihat saja bagaimana tahun 2005 terjadi bencana kelaparan di Yahukimo, Papua yang merenggut sekitar 128 nyawa. Tragedi kemanusiaan ini diduga akibat cuaca buruk dan gagal panen. Namun perubahan kebiasaan makan beras sejatinya merupakan akar masalah kerawanan pangan karena sebelumnya warga menanam dan mengonsumsi umbi-umbian yang tumbuh subur di sini.

Ketiga, budaya agraris mulai ditinggalkan. Hari Tani Nasional, yang rutin diperingati setiap tanggal 24 September, menjadi pengingat bahwa nasib petani Indonesia masih jauh panggang dari api. Petani sejak awal dikonstruksi untuk menghasilkan pangan sebagai komoditas, sebagai penyangga pangan nasional, bukan semata pemenuhan kebutuhan subsisten perorangan.

Saat ini, sekitar 62% petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara para milenial lebih memilih beragam profesi yang mentereng di kota, sebagai profesional di perusahaan, pegawai negeri di kantor pemerintah bahkan menjadi selebgram. Bagaimana mengubah pola pikir bahwa bertani itu keren dan prospeknya menjanjikan? Jika generasi muda enggan menjadi petani, siapa yang akan jadi penyedia pangan bagi 270 juta orang Indonesia?

Pemerintah sudah menyikapi risiko kerawanan pangan dengan berbagai strategi, mulai dari program pembukaan lahan sejuta hektar tanaman pangan hingga bantuan insentif untuk petani, terutama generasi milenial. Ditargetkan akan lahir 2,5 juta petani milenial pada tahun 2024. Staf Khusus Presiden RI perwakilan generasi milenial asal Papua, Billy Mambrasar pun mengusung program petani milenial sebagai jawaban atas kerawanan pangan di Papua.

Namun, sekalipun ada program pemerintah berlabel “Petani Milenial”, belum tentu anak muda mau dan mampu menjadi petani. Dengan akses informasi, generasi muda dapat membandingkan nasib petani generasi terdahulu yang miskin di atas lahannya sendiri dan malah menjadi buruh di lahan yang pernah menjadi miliknya.

Masalah ini coba diatasi oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, sebuah provinsi yang sebagian penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian. Pemprov Jabar berusaha merekrut 5.000 petani muda dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, dengan janji meminjamkan lahan subur seluas 2.000 meter persegi dan menyediakan modal bertani oleh Bank BJB.  Hasil panen pun akan ditampung untuk dipasarkan kepada pembeli dengan harga yang kompetitif.

Ini sebuah inisiatif yang baik. Hanya perlu diingat, penanganan persoalan pertanian tidak bisa instan dan tambal sulam. Pemberdayaan petani harus dilakukan berkelanjutan dan melibatkan penggerak-penggerak lokal. Banyak petani Indonesia beralih jadi buruh tani akibat ketidakberdayaan mempertahankan lahan yang mereka miliki. Selain persoalan teknologi pertanian, petani Indonesia juga terjerat pada praktik monopoli dagang. Utang petani menumpuk, kemudian lahan yang dimiliki terpaksa digadaikan untuk melunasi utang tersebut.

Berkaca pada pengalaman keluarga di kampung halaman yang seolah berjudi dengan bertani – karena seringkali buntung, hanya sesekali untung — ditambah dengan pengalaman di organisasi konservasi yang melakukan pendampingan masyarakat guna memastikan bahwa komunitas dampingan punya sumber penghasilan alternatif, pemerintah perlu mengubah kebijakan dan pendekatan yang terbukti tidak efektif di lapangan. Juga perlu ada upaya edukasi terus menerus mengenai ketahanan pangan melalui pertanian yang berkelanjutan dan menyejahterakan.

Belajarlah dari kiprah Marzuki Mohamad, musisi pendiri kelompok Jogja Hip Hop Foundation, yang membantu para petani di Dusun Banjarsari, Klaten, Jawa Tengah, kampung halamannya. Sejak tujuh tahun lalu ia mendirikan kelompok petani muda desa sebagai wadah belajar bersama metode baru pertanian dan pengembangan usaha produksi beras dari hulu ke hilir. Kini sudah ada unit produksi UD Anarkisari dengan produksi beras jenis C4 yang dibanderol Rp 12.500 per kilogram, relatif lebih tinggi dan menguntungkan petani, karena memotong rantai distribusi. Prinsip Marzuki: “Desa harus kuat biar tidak ditinggal oleh anak-anak mudanya, pun, pertanian menjadi gaya hidup yang menyenangkan bagi mereka”. Tanpa dijadikan komoditas dan jargon politik, petani muda terbukti bisa berdaya di desa.

Bertani harus berkelanjutan secara ekonomi dan ekologi. Pemberdayaan pun tidak bisa dilakukan dengan program-program top down, melainkan harus berdasar pada assessment di lapangan (bottom up), sehingga sesuai dengan kebutuhan petani.

Lebih dari lip service, jadikanlah hasil tani lokal menjadi primadona di negeri sendiri. Stop kebijakan impor bahan pangan yang meruapkan aroma rente dan merugikan petani.

Terakhir, daripada memberikan bantuan sosial yang bersifat derma berupa barang, sebaiknya pemerintah menyediakan fasilitas pinjaman berupa Kredit Usaha Rakyat/KUR dengan skema yang jelas dan menguntungkan.

Jangan sampai petani milenial meringis di negeri agraris. Yuk bisa yuk, yang muda yang bertani di Indonesia.

 

Elis N Hart, mantan Direktur Komunikasi WWF-Indonesia, anak petani di dusun kaki Gunung Cikuray

 

Elis Nurhayati Hart

2 Replies to “Petani Milenial: Meringis di Negeri Agraris”

  1. Boleh ditambah yg ke empat. Saatnya pemerintah berpihak ke petani-buruh tani. Hentikan inpor komoditi pertanian. Gerakan kampanye pakai pupuk organic. Terapkan harga beli aneka podak tani, dengan harga salin untung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email