Sebuah Pengantar untuk Khayalan
Waktu bukan milik siapa-siapa,
ia tak peduli kepada siapa ia
ingin bergerak dan berdetak.
Waktu bukan dirimu
yang akan menyesali masa lalu,
ia tak akan menoleh meski suaramu
keras memanggil namanya hingga
ia mulai terasa begitu cepat ketika
langkah kakimu kian melambat.
Kuberitahu, selalu ada sosok
yang bisa menembus ruang
dan waktu. Dia mencintai beruang
dan ensiklopedia. Dia tak akan bertanya
kapan kita berpisah tanpa mengucapkan selamat tinggal. Dia tak akan memberitahu apa yang akan terjadi di masa depan
tapi dia berhak menyampaikan
sesuatu yang sebelumnya
tak pernah terjadi dan kau tahu?
Dia tumbuh setiap satu detik seusai
kau selesai membaca puisi ini.
–
Di Ujung Mata A. F N D
Kita dada lapang terbuka,
pada jalan
yang terhapus jejaknya
sebab hujan hingga—
ada hal-hal yang berhak
kita lupa serta lepaskan.
Tak ada bahasa baku
dalam perpisahan,
aku jari-jari gemetar
bila kau tangkai pohon
yang gagal kugenggam
sebelum bersikeras kau
melepas dan mengempas diri.
–
Lima Jalan Pintas Menuju Kematian
1.
kau menatap dirimu lewat
sepasang mata anak kecil,
kenyataan memaksamu berpaling
dari kebenaran ketika
bunuh diri merupakan jalan
terakhir menuju kesalahan.
2.
dalam perjalanan jauh,
ibumu tetap ibumu yang nyaris
kau lupa—bahwa terjal paling sulit
di dunia adalah keluar dari rahimnya
3.
aku membeli kompas Amscud Wrist
demi sebuah jalan menuju pintu rumahmu,
ingin kuketuk pintu rumah itu
setelah tiba di hadapannya
meski kutahu,
tak ada siapa-siapa di baliknya.
4.
warisan dari ibuku cuma nyali,
yang kuserahkan semua kepada ayahmu saat ia memintaku
mencari wanita lain.
5.
sesaat kau pahami,
satu detik yang pergi bisa jadi
satu tahun yang akan kau sesali
dan satu tahun yang kau sesali adalah
satu detik setelah kau melewati bagian
dari puisi ini.
–
Melupakanmu
Aku hanya memahami,
masa depan cuma upaya keras
untuk melupakan masa lalu,
tetapi tak pernah semudah bahasa
menemukan kalimat utuh atas itu.
Melupakanmu,
seumpama—membuatku butuh
perjalanan yang paling jauh.
–
Kasih Sayang Ibuku adalah Diam
Sekali lagi,
kota ini memaksaku jadi pecundang
saat bahasa cuma permainan kelas kata
namun gagal kukalimatkan.
Bila suatu hari kau pergi tanpa kuucapkan apa-apa,
maaf—sekali lagi,
sebab aku hanya pecundang yang diam,
seumpama cinta ibuku kepada bapak
begitu kutanya:
mengapa kesetiaan ibu kepada bapak
tak terhingga sepanjang masa?
Ibuku cuma diam. Jawaban ibuku
adalah diam—
ketika bahasa tak pernah cukup menjelaskan sekaligus menyatakan.
*****
Editor: Moch Aldy MA