Aku bertemu Handry Satriago dan berkenalan pertama kali saat kami berdua diundang untuk menulis di buku Surat dari dan untuk Pemimpin (2012), produksi Tempo Institute yang dieditori Mardiyah Chamim, Amarzan Loebis, dan M. Taufiqurohman. Ada lebih dari 100 seniman, pengusaha, pemimpin, olahragawan, rohaniwan yang diundang untuk menulis di buku itu, salah satunya Handry.
Di malam peluncuran itulah saya mengenal Handry dan juga Koh Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Dua tokoh itu menjadi teman saya. Saya jarang hangout dengan Koh Ahok karena beliau lebih sibuk, tapi dengan Handry jadi sering sekali. Tempat hangout favoritnya adalah Roti Bakar Eddy. Kenapa? Saya juga tak tahu. Tidak buruk, sih, tapi saya hanya ke sana kalau diajak Handry. Sebetulnya bukan tipikal tempat hangout saya, tapi sekarang jadi punya kenangan indah.
Baca juga:
Setelah Handry wafat, saya baru searching banyak tentangnya di internet. Saya baru tahu bahwa orangtuanya berasal dari Payakumbuh. Waktunya terasa pas, bulan depan saya bakal ke Payakumbuh untuk pertama kalinya, diundang oleh Payakumbuh Poetry Festival 2023. Kalau Handry masih ada, pasti dia bakal kasih tahu tempat makan yang enak di sana (atau mungkin dia juga tak tahu karena sudah lama sekali tinggal di Jakarta, dan sulit untuknya untuk bepergian kalau tak perlu-perlu amat).
Sosok yang Kuat
Handry Satriago, yang ulang tahunnya hanya beda tiga hari dari saya itu, adalah sosok yang membuat definisi “disability” menjadi rancu. Saya yang bisa jalan bahkan lari ke mana-mana tak bisa mengerjakan 70% dari apa yang bisa dia kerjakan.
Pertama, kemampuan sosialnya tinggi sekali. Dia bisa ngeklik dengan semua orang dan lapisan. Kedua, kemampuan organisasionalnya. Pasti tak mudah menjadi CEO General Electric! Ketiga, dan ini banyak yang tidak menyangka, adalah kemampuan fisiknya. Dia kuat betul! Well, kursi rodanya itu manual, bukan mesin, jadi dia sendiri yang mendorong rodanya. Itu berat sekali, saya tahu karena pada tahun 2012 saya pernah patah tulang telapak kaki dan sempat menggunakan kursi roda.
Persahabatan Lewat Musik
Pengalaman kami yang paling berkesan adalah saat saya meminta dia untuk menjadi narator di karya saya, Malin Kundang. Itu karya untuk orkes dan narator. Konser ini diadakan di Gedung Ciputra Artpreneur pada tahun 2018. Malin Kundang di babak pertama, sedangkan di babak kedua adalah karya saya Marzukiana, satu seri concerto untuk solois piano, biola, dan harpa dengan para solois Anthony Hartono (pianis pemenang Ananda Sukarlan Award 2014), Finna Kurniawati, dan Jessica Sudarta. Soprano Mariska Setiawan (pemenang Tembang Puitik Ananda Sukarlan 2011) juga menyanyi di situ. Semua concerto ini menggunakan tema dari lagu-lagu Ismail Marzuki.
Ini bermula ketika Handry menonton karya orkes saya The Voyage to Marege pada tahun 2017. Katanya ia terkesan dan ingin sekali bikin sesuatu dengan saya. Padahal biasanya saya bekerja sama dengan penyanyi dan pemusik. Waduh, kalau saya minta dia nyanyi, penonton bisa bubar. Apalagi musik saya, kan, begitu deh, intervalnya ke mana-mana, ritmenya tak lazim, modulasi unpredictable, dan semuanya harus akurat biar bunyinya bisa dimengerti.
Baca juga:
Kami latihan di Gedung Yamaha. Hari-hari itu Handry sedang kesakitan di bagian punggung, yang katanya sering terjadi karena memang sudah seumur hidup duduk terus. Jadi tiap kali rehearsal, selalu ada ritual minum painkiller dulu. Pengalaman baru buatnya, di mana seorang narator harus mempelajari alur musik, selain harus mendalami teksnya. Teksnya itu sebetulnya dongeng Malin Kundang yang kami ambil dari internet, dan kemudian Handry sendiri yang mengeditnya untuk memberikan efek dramatis di sana sini.
Pada hari pertunjukan, Handry bilang bahwa dia minum dosis painkiller dua kali lebih banyak daripada biasanya. Buat saya itu menyeramkan, tapi saya tak komentar apa-apa. Ini memang pengalaman pertama bagi Handry terlibat dalam konser, artinya ia harus membaca dengan akurat, berinteraksi dengan orkes dan ritme yang benar. Dia tidak mengeluh. Dan konser berjalan dengan amat sangat lancar. Selama 20 menit dia sangat fokus, sangat menggelegar dan memukau. Dia seketika menjadi audience’s darling!
Handry memang bukan seniman, tapi hidupnya adalah esensi dari apa itu poetry. He is the real poetry of life. Seni lahir dari sesuatu yang melukai kita. Semakin kita terluka, semakin tinggi nilai seninya dan semakin menginspirasi banyak orang, sama seperti kerang yang membentuk mutiara untuk memulihkan luka dari kerikil atau pasir yang masuk.
Karena kekurangan dan keterbatasan fisiknya, Handry menjadi inspirasi baik untuk dirinya sendiri, dan yang lebih penting untuk banyak orang. Kuliah motivasinya tidak seperti para motivator pada umumnya. Kuliahnya diambil dari pengalamannya sendiri dan ia sudah membuktikan bahwa nothing is impossible.
Handry banyak menulis kutipan berkesan. Salah satunya ia tulis di buku Surat dari dan untuk Pemimpin:
“Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan bahkan dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup.”
Mimpimu untuk Indonesia yang lebih baik akan selalu hidup. Dan kita semua akan terus menjalankannya.
Ananda Sukarlan. Pianis, komponis, dan seorang teman.
Editor: Prihandini N